Laman

Rabu, 17 Februari 2010

Suamiku Bukan Untukku


Meski jauh kulangkahkan hati,..
Namun ku telah menyerahkan hatiku padamu
Hingga ku lupa bagaimana fajar datang menyergap
(the last concubine)


Aku tak bisa menyalahkan persepsi orang lain tentang diriku. Tapi bukan berarti pula aku senang diberi label demikian. Jika bisa memilih tentu aku tak ingin memiliki masalalu yang demikian memalukan. Bukan suatu kebanggaan, bukan pula suatu hal yang harus disesali seumur hidupku. Cukuplah hikmah yang kutemukan di balik ini semua.

Tak ada yang perlu aku banggakan dengan pernikahanku. Aku menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki istri dan dua orang anak. Banyak yang menyebutku wanita penggoda, wanita yang mengambil suami orang. Sebenarnya hatiku sangat perih mendapatkan julukan itu, tapi aku tak boleh marah itu semua keputusan yang pernah ku ambil dulu di masa laluku.

--------

“Bukankah seorang yang terpelajar harusnya berlaku bijak?? Lihat dirimu apa yang telah kau lakukan pada hidupmu gadis muda??” Ayah meradang meledak-ledak di hadapanku. Aku hanya diam dan diam bersama air mata yang menetes di pipiku. Jika itu bukan ayahku mungkin ingin sekali aku mengajukan kata-kata pembelaan. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya, jangankan mengeluarkan sepatah kata menatap matanya saja aku gentar.

“Bagaimanapun wanita yang dekat dengan laki-laki yang sudah beristri selalu dianggap negatif nak” ibuku turut menimpali pula. Mungkin kau hanya bersikap biasa saja, tapi laki-laki terkadang salah menafsirkan sikap ramah tamah seorang wanita. Ibu minta menjauhlah dari laki-laki itu. Ibu menatapku dengan kabut di matanya. Hatiku semakin renyuh.

Semenjak menyelesaikan pendidikanku di sekolah kejuruan tata boga, aku memutuskan pulang ke rumah orangtuaku. Pulang ke kampung halamanku di sebuah kota kecil di ujung pulau Sumatra. Berbekal ilmu tentang tata boga aku diterima bekerja di sebuah hotel keluarga tapi itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Namun penyakit bosanku kumat dengan banyaknya aturan, atau mungkin aku bukan type senguin suka dengan keteraturan. Akhirnya aku memilih mendirikan rumah makan kecil-kecilan sebagai pekerjaan tetapku.

Rumah makan kecilku itulah tempatku bertemu banyak orang yang menjadi langgananku.
Sebagai seorang pemilik rumah makan, rasanya wajar saja jika aku bersikap ramah dan memberikan pelayanan yang prima untuk pencinta makananku. Walaupun ku akui dalam bisnis makanan yang utama adalah cita rasa selanjutnya harga baru kemudian pelayanan. Aku memang melayani pelangganku dengan baik tanpa terselip niat ingin menggoda ataupun ingin digoda, perlakuanku sama tidak pernah berbeda laki-laki ataupun perempuan, tua atau muda semua bagiku sama.

“hai,..udah lama buka rumah makan di sini??kayaknya bakal banyak saingan neh? Laki-laki itu melirikku dengan ekor matanya, terselip sebuah senyuman di bibirnya. Sekilas kulihat lesung pipi menghiasi pipi kirinya sangat nyata ketika dia tersenyum, mungkin juga dia tahu bahwa itu salah satu sex appeal yang dimilikinya. Aku hanya mengernyitkan kedua alisku sembari mengulum senyum.

Namanya Hadi, tetanggaku masih satu RT di komplek perumahan kami. Akhir-akhir ini dia sering bahkan hampir setiap hari mengunjungi rumah makanku, terkadang hanya untuk bertegur sapa dan sesekali makan. Terkadang terselip juga tanya dengan sikapnya yang terang-terangan menunjukkan perhatian. Saking seringnya dia mengunjungiku sempat membuat aku sedikit risih dengan statusnya sebagai seorang suami dan ayah dari dua orang anak.

Terkadang dia datang padaku dengan muka kusut, lalu duduk dan memesan minuman.
Sesekali kutangkap matanya yang mencuri-curi sebuah lirikan ke arahku. Sebagai wanita aku merasa bahwa kondisi ini tidak wajar. Tapi tetap saja kuacuhkan sikapnya dan kembali bersikap sewajarnya.

------

“heh,..jangan kau pikir karena kau berpendidikan tinggi di desa kita ini, lalu bisa seenaknya saja merayu suamiku supaya sering mengunjungimu, apa kau tak tahu mencari laki-laki lain yang masih bujangan atau memang kamu doyannya ama yang udah jadi milik orang” wanita itu mengeluarkan sumpah serapah, caci makiannya kepadaku tepat di saat rumah makanku penuh pengunjung. Pada awalnya aku hanya diam memperhatikan tiap kata yang diucapkan wanita yang mengaku istrinya Hadi. Dia bukan hanya sudah menghinaku tapi sudah menganggu pekerjaanku.

“Apapun masalah anda dengan suami, jangan bawa-bawa kemari, apalagi sampai menuduh saya menggoda suami anda. Silahkan pergi, saya bisa saja mengusir anda dengan paksa jika anda masih tetap bersikeras dengan pendapat anda”. Kata-kataku sangat datar namun tegas, aku tak ingin nama baik rumah makanku menjadi kacau karena ulah wanita yang sedang bermasalah dengan suaminya ini.

Itu kali pertama wanita itu memuntahkan seluruh kosa kata yang kurang baik untukku.
Tak sampai dua hari wanita itu datang lagi dan melakukan hal yang sama. Tapi di sisi yang lain pula Hadi tetap rajin mengunjungi rumah makanku ataupun juga maksudnya mengunjungi aku walaupun kobaran api amarah istrinya masih meluap-meluap terdengar di ujung jalan sana.

Aku tak pernah sekalipun menjawab makian istrinya Hadi. Aku pikir tak ada gunanya bicara dengan orang yang sedang penuh amarah hingga dia bisa mengendalikan amarahnya kembali. Sekalipun aku akan berkoar-koar mengatakan bahwa tak ada apapun terjadi antara aku dan Hadi, tetap saja sang istri sudah terlanjur membuat persepsi tentang diriku “wanita penggoda”.

Aku memang marah dengan penghinaan ini tapi aku tak pernah menangis, aku tak pernah merasa dalam posisi yang disalahkan. Hingga hari itu tiba juga, seperti sebuah skenario besar yang telah merubah sudut kehidupanku menjadi 180 derajat berbalik arah. Aku tak pernah meminta tapi aku sulit mengontrolnya, akhirnya semua terjadi juga.

---------

Dia datang dengan segenap galau memenuhi hatinya. Biasanya hadi datang dengan segudang canda walaupun aku hampir tak pernah menggubrisnya. Namun kali ini dia datang dengan gundah yang membuncah-buncah dari dadanya. Sejenak ku tatap mata hampanya, mungkin laki-laki ini terlalu penat dengan warna warni dalam hidup.

“apa yang tidak aku lakukan untuk dia dan anakku, bahkan kepala nyaris kugantikan posisinya dengan kaki. Tapi tak sedikitpun dia berterimakasih, selalu dan selalu hanya kekuranganku yang ada di pikirannya. Harga diriku sebagai laki-laki sering kali tak berharga di matanya. Jangankan tersenyum mendapati suaminya pulang, malah disambut makian dan segala macam kecurigaan”. Kata demi kata yang keluar dari bibir Hadi begitu membuat aku miris.

“Jangan berkata apapun Annisa, aku hanya perlu bercerita melepaskan sejenak beban hatiku walaupun setelah ini aku akan menyandangnya lagi. Cukup dengarkan saja, itu lebih baik bagiku. Bukan berarti aku tak butuh saran darimu, terlalu banyak saran sudah memenuhi kepalaku, bahkan aku semakin takut menghadapi sikapnya yang sangat dominan terhadap diriku”.

Aku hanya diam mendengar permintaan Hadi, entah apa pula maksudnya menceritakan hal ini padaku setelah apa yang telah dilakukan istrinya padaku. Mengherankan bukannya berusaha menjauhiku, bahkan dia semakin mendekat padaku, semakin sering mengunjungiku.

“Maafkan sikap istriku padamu, aku malu atas sikapnya yang berlebihan itu. Yang ku harap dia berbenah diri atas sikapnya padaku, namun sebaliknya dia merasa yang paling benar di atas semua ini. Aku rasa semua orang akan menganggap sebuah kesalahan saat seorang pria beristri dekat dengan seorang perawan. Tapi aku juga yakin semua orang juga akan menganggap salah jika seorang istri tak pernah menghormati suaminya. Hadi menutup matanya sejenak, mungkin sedang meresapi makna sakit yang dipendamnya selama ini.

“entah apa pula yang ada di pikiranmu saat ini, saat kubagi elegi yang usang ini.

Jujur semakin dia sering memakimu, semakin dia sering melabrakmu, aku semakin menghormatimu atas kebesaran jiwamu. Maafkan aku telah banyak menyusahkanmu selama ini”. Sekarang hadi menatapku, matanya seakan bicara padaku mengirimkan pesan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Aku hanya diam saat Hadi berlalu dari hadapanku. Suami istri ini telah banyak menyita waktu-waktu potensialku untuk bekerja. Bahkan aku menyempatkan waktu khusus untuk bisa berbicara dari hati ke hati pada istrinya, sulit sekali bekerjasama dengan wanita satu ini akhirnya usahaku tanpa hasil apa-apa. Kali ini Hadi kembali mengusik waktuku, namun entah mengapa ku akui ada secercah kesedihan ikut menyelinap di hatiku saat ceritanya bergulir begitu saja.

----------

Tak terasa sudah setahun berlalu suami istri ini terus mewarnai hari-hariku.
Telingaku mulai kebal dengan segala bentuk kecaman dari istri Hadi. Di sisi yang lain pula telingaku mulai peka dengan semua keluh kesah Hadi saat melepaskan kesedihan yang terpendam untuk dibagi di sudut hatiku pula. Tak jarang aku menerima warning dari keluargaku untuk menjauhi Hadi tapi entah mengapa pula hatiku berani mengacuhkan peringatan dari keluargaku sendiri.

Yuni istri Hadi datang lagi, kali ini dengan nada yang sangat keras dan terdengar aneh. Jantungku sempat bekerja dengan sangat berat saat kata-kata wanita itu menghujam jantungku.

“Dengar wanita penggoda, aku ingin mempertaruhkan tanganku kali ini untukmu. Kau tak akan pernah mendapatkan suamiku, karena dia tak akan pernah meninggalkanku. Tapi jika suamiku meninggalkanku untukmu, aku bertaruh jari kelingkingku akan hilang”.

Aku menatap heran padanya, bukankah kata-kata ini sangat aneh kedengarannya. Apa gerangan dia harus mempertaruhkan jarinya untuk sesuatu hal yang tak ia inginkan. Jika aku mengangguk mengatakan ya, itu sama saja aku telah melakukan kesepakatan dalam perjudian untuk mendapatkan laki-laki yang bernama Hadi. Aku hanya menangkap sesuatu yang buruk mungkin saja baru terjadi dalam rumah tangga mereka.

Kuusap dadaku yang terasa sakit, entah mengapa kali ini aku terpancing untuk marah.
Entah mengapa pula aku begitu kesal dengan ucapan Yuni. Dia bukan hanya menghinaku dengan sebutan yang dilekatkan di dadaku, tapi juga telah sangat meremehkan aku sebagai wanita yang tak pernah berniat apapun pada suaminya.

Ucapan Yuni begitu membuat kesabaranku diuji dalam taraf tingkat tinggi. Mengapa dia membebankan semua masalahnya di pundakku. Bukankah rumah tangga mereka tak pernah harmonis bahkan sebelum Hadi sering mengunjungiku. Tapi seolah-olah akulah yang harus bertanggung jawab atas semua ini, oh ini sungguh terlalu. Wanita itu telah menorehkan luka yang perih di hatiku.

------------

Aku bertanya pada Tuhan, apakah yang sedang bergejolak dalam hatiku?? Apakah Tuhan sedang merencanakan sesuatu dalam hidupku. Setiap kali aku menolak dengan rasa itu, setiap kali itu pula aku semakin merasakan sesuatu yang tidak biasanya. Berulang kali aku hilang kendali atas perasaan yang hadir dari hari ke hari, mungkin telah di pupuk dengan sangat telaten dengan penuh kesabaran.

Akhirnya aku merasakan getar-getar itu juga, getaran yang terkadang membuat mata tak mampu terpejam, getaran yang membuat semangat berkobar menjadi kendor atau pun sebaliknya. Getaran yang tak mampu dilukiskan oleh kata-kata. Ternyata aku mulai menyukai Hadi karena sering bersama. Aku sempat merasakan bahagia itu, tapi logikaku berontak apa kata keluargaku, apa yang akan dilakukan oleh keluarga Yuni padaku. Aku yakin mereka semua tak akan tinggal diam.

Hadi menghampiriku lagi sore ini. Dengan wajah yang sangat ceria dari biasanya. Aku tak ingin menebak, aku juga tak mau mengungkapkan semua rasa yang baru hadir di hatiku.

“Aku telah menceraikannya, ucap Hadi sungguh-sungguh.

“Yuni yang memaksaku lanjutnya lagi, dia menantangku untuk menikahimu. menurutnya aku tak akan mungkin menikahimu, menurutnya kau tak pernah menyukaiku. Ku pikir dia tak pantas lagi terus-terusan menghinaku sebagai suaminya”. Hadi bercerita dalam amarah.

“Hari ini aku telah bebas dari wanita itu, walaupun kau tak menyukaiku tak mengapa, aku tak perlu membuktikan apapun padanya. Aku hanya merasa lega atas keputusan ini.
Setelah kata-kata Hadi yang terakhir selesai, entah mengapa aku semakin takut akan hal ini. Takut jika perasaanku akan semakin berkembang setelah Hadi menjadi duda.

Aku membeku, ku telan ludah yang menggantung di mulutku, aku tercekat antara merasakan bahagia jatuh cinta dan akibat yang akan datang selanjutnya dalam hidupku jika ku tak mampu menahan perasaanku.

-------

Seminggu sudah perceraian Hadi dan Yuni, Hadi jarang terlihat lagi mungkin dia sibuk mengurusi surat perceraiannya. Selama seminggu itu pula setiap hari aku mendengar orang-orang di desa menggunjingkan aku. Terkadang mereka tertawa, terkadang pula menghujatku karena sebagian besar menganggap bahwa perceraian hadi dan Yuni murni tanggungjawabku.

Tak ada apapun yang bisa aku ucapkan. Bahkan pada keluargaku, mereka sudah terlanjur menjudge bahwa akulah yang bersalah, bukan karena akumulasi masalah rumah tangga hadi dan Yuni yang sudah terpendam tanpa solusi selama bertahun-tahun. Aku menarik nafas dalam-dalam mencari kejernihan pikiran dan hatiku dalam kebisingan di sekitarku.

“aku akan melamarmu” hadi berbisik di hadapanku sesaat setelah dia memesan makanannya. Tubuhku kaku, tanganku mendingin membeku. Bagaimana dia begitu yakin aku menyukainya. Aku tak berani menatapnya sedikitpun. Entah perasaan apa yang menjelma di hatiku saat ini, ku akui aku bahagia tapi di sisi lain bagiku ini terlalu cepat, berarti semakin cepat pula gunjingan setiap orang itu terbukti bahwa akulah penyebab semua ini.

“Hadi, aku pikir kita harus bicara. Aku mendatangi mejanya, tapi Hadi tetap terlihat tenang.

“duduklah di depanku, biar aku bisa melihat ekpresi wajahmu” hadi kembali tersenyum membuat semua kata-kataku menjadi buntu.

“kenapa kau harus bersembunyi selama ini, kenapa kau pura-pura tak acuh padaku. Hadi masih tetap menatapku, aku yakin wajahku putih membeku seketika.

“kau tak bisa berbohong lagi, kau juga mencintaiku kan.

Laki-laki ini sepertinya begitu faham bagaimana menaklukkan hati wanita, tapi mengapa tidak pada Yuni istrinya. Oh Tuhan,..perasaan ini mengapa kau titipkan pada hamba?? Aku bertanya dalam hati diantara beratnya menjawab pertanyaan Hadi. Aku tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala bahwa aku memang telah jatuh cinta padanya.

------

Semua hening, tak ada yang berbicara. Bahkan aku tak mampu melangkahkan kakiku keluar kamar untuk menemui Hadi yang tiba-tiba berkunjung ke rumahku untuk menemui Ayah dan Ibuku. Seketika aku ingin sekali waktu dipercepat saja, atau berhenti sejenak karena aku takut melalui fase yang satu ini.

“Saya kemari untuk melamar Annisa, saya mohon ijinkan saya menikahinya”

Kata-kata Hadi tanpa basa basi seperti kebanyakan oranglain, dia masih menunggu jawaban dari ayah dan ibuku. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah ayah dan ibu mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Hadi. Ku harap mereka tidak murka.

“nak Hadi, kami tidak mengerti maksud nak Hadi. Bukankah nak Hadi baru saja bercerai sekarang hendak melamar anak kami pula. Bukannya kami tidak mau menerima lamaran ini, tapi alangkah baiknya difikirkan dengan seksama tanpa memperturutkan hawa nafsu. Ayah diam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya.

“kami sudah memperingatkan annisa agar tidak berhubungan denganmu, ternyata dia bukan anak manis yang penurut lagi. Sekarang akibatnya seperti ini, walaupun kami menyadari perselisihan antara nak Hadi dan Yuni sudah berlangsung lama, tapi kehadiran annisa menjadi gong perceraian kalian. Ibu mendehem beberapa kali saat ayah mengakhiri kalimatnya.

“Saya berjanji akan membahagiakannya Pak, bu…saya tak akan menyia-nyiakan putri bapak dan ibu. Hadi memang termasuk orang yang persisten, dia akan berusaha untuk mendapatkan restu dari kelurgaku bagaimanapun caranya, sesulit apapun langkah itu.

Ayah dan ibu diam, aku tahu mereka tak punya pilihan selain memintaku yang memutuskan. Aku masih diam di dudukkan dihadapan semua keluarga. Kakak-kakak iparku dan dua orang abangku sudah duduk pula menunggu jawaban yang akan ku berikan.

Aku mengangguk minta ijin untuk dinikahkan. Aku yakin berpasang-pasang mata sedang memelototiku. Ayah dan ibu tercinta maafkan aku desahku dalam diam. Sungguh ini diluar kemampuanku untuk mengontrol perasaanku yang telah lama kutahan, ah,..apa peduli mereka jika ku berbicara atas nama cinta.

Malam ini kalian akan kami nikahkan, besok segera urus surat-surat pernikahan. Setelah itu pergilah jauh dari desa ini. Karena pernikahan kalian akan menjadi masalah besar untuk beberapa keluarga di desa kita ini. Kamu tahu kan Nisa,..keluarga Yuni sangat arogan dalam hal ini, mereka tak akan tinggal diam melihat kalian menikah.

Aku dan Hadi kaget dengan pernyataan dari abang pertamaku. Aku merasa seperti dikucilkan, tapi aku tahu makna tersirat di balik kata-kata tegas seorang abang, bahwa sebenarnya mereka ingin aku bahagia tapi mereka juga khawatir dengan akibat yang terjadi dengan pernikahanku.

Malam itu kami menikah disaksikan keluarga inti dan seorang penghulu yang didatangkan dengan diam-diam agar tidak menjadi berita di desa. Aku melihat ibu yang tak henti-hentinya menangis, aku menatap ayah yang sedari tadi diam. Sungguh ini bukan pernikahan yang aku harapkan, aku ingin menikah dengan dihadiri sahabat, didoakan banyak orang dan menjadi kebahagiaan keluarga. Namun apa yang mau dikata
semua telah terjadi.

-----

Kami pergi keluar kota tepat empat hari setelah pernikahan. Ternyata berita pernikahan kami cepat tersebar di desa. Aku hanya mendengar sayup-sayup cerita bahwa keluargaku diteror oleh keluarga Yuni. Mereka bahkan mengecam akan menyengsarakanku karena telah berani membuat Hadi menceraikan Yuni. Hatiku miris, airmataku tiada henti selama di perjalanan. Hadi terus saja memelukku, menguatkan aku atas keputusan yang kami ambil.

“percayalah sayang, aku akan selalu menjagamu. Hadi berbisik di telingaku, menumbuhkan damai sejenak di hatiku.

Dua tahun hidup di kota yang berbeda membuat aku sering merindukan keluargaku. Entah
bagaimana kabar ayahku yang sudah mulai sakit-sakitan, atau ibu yang sering menangis mengingat putri satu-satunya berulah hingga harus jauh darinya. Betapa rindunya aku pada mereka, ingin sekali aku memperkenalkan gadis kecil kami pada kedua kakek dan neneknya. Oh,..betapa rindu ini semakin membumbung tinggi.

“sayang…mungkin sudah saatnya kita pulang, aku ingin melihat ayah dan ibu, tak
sekalipun selama dua tahun ini kita bertemu mereka.

“Bersabarlah,..kalau kondisi di desa sudah kondusif, pasti kita akan pulang sayang”

Aku menarik nafas panjang menyadari kemungkinan itu kecil terjadi, hampir setiap minggu aku bertanya apakah kondisinya sudah kondusif untuk kami pulang. Hingga akhirnya di suatu sore dengan lagit berwarna jingga, berita dari abangku sangat menyejukkan hatiku bahwa kami sudah boleh melangkahkan kaki kembali di desa.

------

Ayah dan ibu dalam pelukanku, tak kuasa ku menahan air mata yang terus saja mengalir dengan tenang, sungai-sungai kecil itu memenuhi pipiku. Betapa rindunya aku pada mereka. Betapa indahnya pertemuan yang syahdu ini.

“Ayah ibu aku tak akan pergi lagi, aku tak akan menyakiti hati kalian lagi karena ulahku”…dalam tangisan terisak-isak aku mengucapkannya.

Keluarga Yuni memang tak bergeming, bahkan mereka nyaris diam seolah-olah tak terjadi apapun dengan kedatangan kami. Aku dan Hadi kembali membuka usaha rumah makan yang sempat aku tinggalkan begitu saja dulu. Ternyata di balik sikap yang tak reaktif itu tersembunyi maksud yang lain. Aku masih ingat kata-kata itu bahwa mereka akan membuat hidupku sengsara. Aku pikir itu hanya ucapan ketika marah, namun memang itu terjadi.

Entah dari mana mulanya aku menangkap sikap yang aneh dari Hadi. Sudah tahun ke empat pernikahan kami, dia masih bersikap setia dan manis padaku. Di tahun kelima ketika putri kedua kami lahir, hadi mulai menunjukkan gejala yang tidak biasanya. Dia sering menghilang tiba-tiba, bahkan jarang membantuku di rumah makan lagi.

“ingat, kami tak akan pernah diam. Kami hanya menunggu waktu yang tepat” laki-laki itu berlalu dariku, aku akhirnya menyadari bahwa laki-laki itu pamannya Yuni mantan istri Hadi. Oh Tuhan, apa yang mereka rencanakan untuk hidupku, aku yakin jika Allah belum berkehendak semua juga tak akan terjadi seperti yang mereka inginkan.

“Nisa,…apa kau tak lihat kemaren Hadi bertemu Yuni di terminal bis, aku yakin semua orang bisa melihat mereka, rasanya janggal bertemu di terminal yang justru semua orang bisa melihatnya”. Sepupuku berbisik prihal kedekatan Hadi dengan Yuni di luar sepengetahuanku.

Hatiku bisu, apalagi bibirku tak berucap apapun. Mengapa Hadi berubah di saat aku sangat membutuhkannya. Anak-anak yang butuh seorang figur ayah yang shaleh. Mengapa hadi harus menyakitiku lagi demikian dalamnya.

Aku mulai merasakan gelagat itu. Hadi bahkan berani berkata hal yang bisa membuat emosiku memuncak. Entah apa yang terjadi padanya. Apakah begitu mudah laki-laki jatuh cinta semudah dia menghempaskannya pula hingga hancur berkeping-keping.

Apakah ini yang dirasakan Yuni dulu, begitu sakitkah dikhianati. Orang-orang di desa mengatakan bahwa Hadi kena santetnya keluarga Yuni. Tapi aku tidak percaya tentang hal itu, menurutku Hadi memang masih mencintainya. Hadi menunggu hingga Yuni berubah menjadi lebih baik. Lalu aku,..dianggap apakah aku ini oleh Hadi dan Yuni.

Kuhembuskan perlahan napasku yang terasa berat. Detak jantungku terasa terdengar jelas di tengah malam yang gulita. Aku masih menunggu Hadi pulang, tak sedikitpun rasa kantuk merayapiku. Ini semua harus selesai, apapun yang terjadi aku sudah siap.

“kalau kau masih mencintainya mengapa tidak jujur saja padaku, katakan saja jangan bertemu dia di belakangku, aku malu pada semua orang yang mengetahui tingkah polah kau dan Yuni. Aku cukup sabar jika kau menceraikanku dengan baik-baik tapi tidak menyelingkuhiku apalagi wanita itu Yuni, mantan istrimu”.
Hadi menatapku. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Dia menggaruk kepalanya yang kurasa sama sekali tidak gatal. Dia berjalan maju mundur di depanku, sehingga membuatku geram.

“ada apa denganmu, aku tak percaya telah menikah dengan laki-laki sepertimu, aku minta kau kembali berubah, atau ceraikan saja aku. Kedua-duanya akan baik untuk kita dan anak-anak.

Gigiku bergemeretak menahan amarah, tidak pernah aku begitu menyesali dengan hidupku kecuali saat ini. Menyesal karena aku tak berfikir panjang dulu, menyesal karena belum dewasa mengambil sikap. Menyesal juga akhirnya tak memberi solusi apapun.

----

….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkah mereka hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka biayanya, dan musyawarahkanlah diantara kamu segala sesuatu dengan baik…..(Ath-thalaaq : 06).

Ku tatap dua pasang mata dua gadis kecilku, mereka tanpa ayah sekarang. Hanya aku ibunya seorang yang akan mencintai mereka seumur hidup. Melangkah seorang diri sungguh terasa berat, apalagi membawa beban yang terasa berat di pundak.

Tak genap sebulan perceraian kami, Hadi kembali rujuk dengan Yuni. Semenjak itu hadi seperti tak mengenaliku lagi, bahkan dia mangkir dari kewajibannya untuk membiayai sekolah dan kebutuhan anak-anaknya. Biarlah, mungkin dia telah melupakan bahwa ada memory tentang aku dalam pikiran dan hatinya. Aku tak ingin berurusan lagi dengan suami istri yang sempat mengacaukan hidupku ini.

Ternyata, sesuatu yang sangat sulit untuk kita gapai bahkan tak mungkin semakin membuat kita tergila-gila untuk meraihnya. Tak akan pernah setara saat kita telah mendapatkannya. Sama halnya yang terjadi antar aku dan Hadi. Begitu menggebu-gebunya dia dulu meyakinkanku, namun ketika semua telah didapat dariku, lalu dia pergi meninggalkan luka yang menganga di hatiku.

Aku belajar banyak hal tentang hal ini, aku belajar menjadi dewasa, aku belajar menjadi tangguh dan aku belajar menjadi orang yang bertanggung jawab atas keputusan yang ku buat, bukan menjadi korban atas keputusan yang telah kubuat.

To. My lovely aunty
Cinta tak hanya dia,
Beranilah meraih bahagia,..

Jakarta 18 February 2010
Aida.m.affandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar