Laman

Selasa, 16 Februari 2010

Aku Harus Tetap Hidup


“Di tiap jengkal kehidupan,….
sang hujan memang harus tercurahkan.
Kadang hari-hari memang harus dilalui
dalam selingkup awan kelabu dan kedukaan.”
Bagaimana Rasanya cinta jika hidup tanpamu,..
Kurasakan waktu tertatih-tatih memapahku,..


Aku masih menatap sebidang tanah yang ditumbuhi rumput Manila hijau yang sengaja di tanam di tanah seluas 100 m x 50 m. tanah ini tanpa jajaran nisan hanya plakat kecil ditempatkan di pintu utama yang bertuliskan “Kuburan massal Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Di sini dimakamkan 46.718 jiwa korban tsunami pada tanggal 26 Desember 2004. Semoga arwah mujahid diterima Allah.’’

Tsunami itu telah memisahkan banyak hati yang merana. memisahkan ibu dari anaknya, memisahkan istri dari suaminya, memisahkan sanak keluarga, memisahkan sahabat dan teman. Tsunami itu telah banyak menyisakan kenangan dan kisah yang memilukan dalam tiap diri kami yang menjadi saksi hidup di hari itu. Gempa berkekuatan 9,0 skala reacter itu telah menghentakkan bumi rencong, mematahkan lempeng bumi di dasar laut yang ingin memuntahkan material lumpur-lumpur hitam yang dihantarkan bersama gelombang yang maha dahsyat itu.

Begitu tiada berkuasanya manusia untuk mengetahui kapan kematian mengambilnya. Begitu pula aku manusia yang ternyata lemah, menjadi setengah gila karena kematian itu memisahkan aku dari orang yang sangat aku cintai. Namun kematian itu telah mengajarkanku tentang makna ketegaran dan mencoba memberikan arti yang nyata dalam hidupku dan anakku.

------------

Ku coba membetulkan letak kacamata hitamku, berharap tak ada lagi tetesan airmata yang mengalir. Sejenak aku terdiam, memandang gadis kecilku yang terlihat bingung saat kuberitahu bahwa weekend kali ini kita berziarah ke kuburan ayahnya.

/”Tiara sayang,…di sini papa Tiara dikuburkan, sekarang kita berdoa semoga papa selalu disayang Allah”/ Tiara kecil langsung menengadahkan tangan, walaupun rasa heran masih jelas terlihat dari sorot mata beningnya yang lucu. Aku menyegerakan ziarahku kali ini, usai menyiramkan air dan membacakan doa buat suamiku dan arwah-arwah korban tsunami yang lainnya. Aku bergegas membawa Tiara, aku tak ingin dia melihat bahwa aku masih amat terpukul dengan kepergian papanya.

Airmataku sungguh tak dapat terbendung, wajah Tiara yang begitu mirip dengan Indra suamiku semakin membuat rindu ini padanya menggebu-gebu hingga ke ubun-ubunku. Sepanjang perjalanan pulang, bibirku tak semenitpun berhenti untuk memberikan jawaban kepada Tiara yang juga tak pernah berhenti bertanya. Kenapa papa dikubur di situ, kenapa papa pergi ninggalin tiara. Tiara masih berusia 4,5 tahun, banyak hal yang ingin dia ketahui, beribu pertanyaan mungkin di kepalanya saat ini, namun aku selalu mencoba memberikan penjelasan sederhana untuk anak seumuran Tiara.

Kulihat Tiara terdiam sama sekali tidak bertanya lagi, aku melirik ke arahnya. Kecerdasan Tiara semakin jelas terlihat saat dia sedang berfikir tentang sesuatu, dengan mimik wajah yang begitu serius, kedua alisnya terlihat mengkerut dan hampir menyatu, sesekali bola matanya yang cerdas berkedip-kedip lalu dia tersenyum.

/”Bunda, Papa Tiara pasti orang baik…makanya Allah cepat-cepat bawa papa Tiara ke Syurga, karena Allah sayang ama orang yang baik kayak papa Tiara…betul kan Bunda??.. kata bu guru kalo orang baik itu masuk syurga Bunda,..”/ aku tak mampu mendengarkan lagi celoteh gadis kecilku yang semakin membuat perasaan sedih dan rinduku pada Indra berkecamuk. “Sayang,….aku sungguh sangat merindukanmu”.

------------

…………Tiap-tiap ummat mempunyai ajal, apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak pula mendahulukannya (Yunus : 49)

Baru 3 bulan ini kami memilih membeli sebuah rumah kecil di komplek perumahan Kajhu di kecamatan Baitussalam Aceh Besar, setelah sebelumnya sempat mengontrak rumah di daerah kota. Biasanya untuk mencari lauk yang segar bukanlah hal yang sulit di sini. Pantai hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari perumahan. Sungguh pemandangan yang sangat elok. Selain alasan lebih dekat dengan tempatku bekerja, alasan view juga menjadi pilihan kami memilih komplek perumahan ini.

Kehamilanku saat itu memasuki trimester ke 3. Syukurnya selama hamil aku tidak pernah mengalami morning sickness seperti ibu hamil pada umumnya. Namun hal itu terjadi pada Indra suamiku. Persis seperti wanita yang sedang hamil, pagi-pagi serasa mual dan ingin muntah, belum lagi selalu kepingin ngerujak. Terkadang aku tersenyum jika melihat tingkah indra saat menyantap pedas asemnya rujak, matanya akan terpejam dalam hitungan detik, bibirnya akan mengerut saat mengecap rasa asam, bahkan sampai-sampai membuat air liurnya menetes. Aku pasti akan tertawa geli jika mengingat saat indah dan aneh itu.

Selama hamil aku memang rajin memakan seafood, sudah menjadi rahasia umum kadar omega 3 yang terkandung pada ikan begitu baik untuk janin, sepertinya tiada hari tanpa melahap segala jenis masakan ikan dan kepiting. Syukurnya Indra salah satu dari sekian banyak suami yang cukup punya andil dalam perkembangan calon bayinya. Indra juga rajin membelikan ikan bakar atau sop ikan untukku, terkadang dia sering memasakkannya untukku. Dalam hal yang satu ini aku selalu mengacunginya dua jempol karena bangganya aku memilikinya.

Ini merupakan kebiasaannya setiap weekend, pagi-pagi sekali setelah menikmati kopi dan sepotong roti bakar sebagai sarapan pagi, indra berkemas-kemas untuk mulai menjelajahi boat-boat kecil yang baru pulang melaut. Biasanya aku juga ikut serta, namun kali ini pinggangku begitu nyeri. Rasanya tak betah duduk berlama-lama di sepeda motor. Aku memilih beristirahat di rumah saja.

/”Kamu yakin ga mau ikut sayang??,..baiklah kamu istirahat saja ya, aku tak akan lama”/indra berjanji tak akan pulang terlalu siang, karena aku sendirian di rumah. Kami memang sudah membuat kesepakatan baru akan mengambil pembantu jika anak kami telah lahir. Untuk sementara ini aku dan indra saling bekerjasama menghandle semua pekerjaan rumah.

/”anak papa,..jaga bunda ya, papa pergi sebentar. Hari ini kita makan kepiting yang lezaattt sekali”/ seperti biasa Indra selalu berbisik di perut buncitku, berkomunikasi dengan bayi kami yang tak lama lagi akan lahir. Indra menciumku lembut sambil mengucapkan kata I love u sebelum lepas dari pandanganku.

Selepas indra pergi, rasa nyeri di pinggangku tiba-tiba berangsur hilang. Lima menit lagi menunjukkan pukul 8 pagi. Perasaanku tiba-tiba dikerubuti kegundahan. Indra baru saja pergi sekitar 15 menit yang lalu. Aku merasa aneh dengan gerakan bayiku yang lebih aktif dari biasanya di pagi ini. Apakah sesuatu yang akan terjadi pikirku dalam hati. Kegundahan itu semakin menjadi tatkala bumi yang kupijak bergerak-gerak perlahan mengguncangkan tubuhku. Bunyi derit pintu dan jendela semakin membuat pikiranku kacau untuk berfikir tenang dalam kesendirianku.

/”Astaghfirullahal adzhimmm,… bibirku tak berhenti melafazkan kalimat istiighfar itu. Mataku berkunang-kunang, kepalaku mulai pusing. Rasa mual menggerogotiku. Aku merangkak perlahan-lahan ke luar rumah, berusaha menghindari pintu dan jendela. Ternyata di luar sebagian besar penghuni rumah di komplek juga sudah berhamburan keluar dengan wajah panik kami duduk meringkuk sambil berpegangan tangan.

Kulihat matahari yang masih bersinar terang dan mulai menyengat tubuh. Tidak ada yang berbeda masih terlihat dari arah Timur. Kulihat ke sekelilingku semua orang masih menyebut Asma Allah. Oh, ternyata ini bukan pertanda akan kiamat bisikku dalam hati. Aku ingat bahwa salah satu tanda kiamat adalah tatkala matahari terbit dari Barat dan orang-orang tak punya kemampuan lagi menyebut nama Allah.

Ku pegangi tanah yang penuh rumput tempat aku terkulai terduduk. Aku khawatir jika tanah ini mulai retak karena gempa yang sangat kuat ini belum juga berakhir. Kepalaku semakin berat, aku betul-betul lemah serasa semua isi perutku ingin keluar. Seolah-olah aku berada di tengah lautan yang didera badai topan, sementara aku sendirian dalam biduk kecil terhuyung-huyung kesana kemari, mencoba mencari pegangan namun tetap merasakan goncangan yang justru semakin hebat.

Gempa mulai reda setelah 10 menit kami terombang ambing ke sana kemari bahkan berdiri saja bisa langsung jatuh. Kupegangi perutku yang bergerak-gerak karena tendangan bayi kecilku. Mungkin dia juga merasakan kepanikan yang aku rasakan. Ku tarik nafas untuk menenangkan diriku. Ya Allah,..Indra dimana?? Hatiku sungguh diserang gundah.

Rumah yang belum sempat aku rapikan tadi, sekarang semakin amburadul. Pecahan gelas yang jatuh bertebaran di lantai dapur. Aliran listrik yang mati seketika begitu juga dengan jaringan telpon selular. Entah mengapa kondisi ini membuat aku merasa berada di tempat yang asing dan jauh.

/”Ya Allah,…dimana Indra, bagaimana keadaannya. Aku tak bisa menghubungi nomer telponnya sama sekali, aku semakin kalut. Tiba-tiba aku sangat menyesal tidak membalas ucapan I love u yang diucapkan indra sebelum pergi tadi. Perasaanku semakin tidak tenang, aku juga tak bisa menghubungi keluargaku di Meulaboh (Aceh Barat), Oh Tuhan,..aku benar-benar berada di posisi yang sangat tersiksa dengan kekhawatiran ini, namun aku juga yakin Indra pasti sangat mengawatirkanku”/

Kurapikan kerudung hitamku lalu kumasukkan dompet dan handphoneku ke kantong celana panjang. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada Indra. Dadaku masih berdegup kencang bahkan serasa hampir copot saat sebuah suara dentuman yang begitu dahsyat menggelegar di telingaku. Agak tergesa-gesa aku keluar dari rumah saat mendengar semua orang berteriak dan kegaduhan dimana-mana. Kepanikan semua orang semakin membuat hatiku kalut.

/”Ie laot pasang,..Ie laot pasang. Air laut pasang, air laut pasang, semua orang berteriak, dengan teriakan yang sama memberikan kabar pada yang lain agar segera menyelamatkan diri. Aku sungguh tidak mengerti mengapa air laut pasang hingga sampai ke perumahan?? Seberapa besar pasang itu datang. Tapi aku tak sempat menjawab semua pertanyaan di kepalaku saat itu. Kata-kata tentang tsunami belum begitu familiar di telingaku. Aku hanya mengira-ngira bahwa ini pasang gelombang yang besar.

Aku tak sanggup berlari, dalam desakan beribu manusia yang mengambil jalur yang sama, seperti berada pada garis start perlombaan lari maraton setiap orang berusaha berada paling depan , berlarian ke sana kemari, bukan hanya dengan sekumpulan manusia namun juga bersama sekumpulan hewan-hewan ternak yang memiliki feeling tentang marabahaya alam. Sandalku pun putus terinjak-injak motor yang berkali-kali menabrak kakiku, telingaku berdenging-denging mendengar suara mobil yang berkali-kali membunyikan klakson mereka, seolah-olah tak mau kalah bahkan semakin bersahut-sahutan agar kami yang berlari tanpa kendaraan memberi mereka jalan. Ternyata benar ketika saat situasi kalut kebanyakan orang hanya memikirkan keselamatan dirinya masing-masing.

Kakiku terasa perih, terluka kena goresan kerikil-kerikil tajam karena jalan yang kami tempuh bukan lagi pada jalur yang semestinya, jalan itu secara spontan saja dilewati yang penting sejauh mungkin menjauh dari arah laut. Aku tak sanggup berlari lagi, dadaku susah untuk bernafas, sebagian orang sudah mulai memanjat pepohonan. Lalu bagaimana dengan aku?? Belum sampai aku menaiki atap rumah yang agak tinggi tiba-tiba suara gemuruh air itu semakin dekat di telingaku, persis di belakangku, mengejarku dan air itu menyapu kami yang merangkak naik ke atas atap rumah.

Peganganku yang kuat mampu terlepas oleh satu hentakan gelombang yang datang menghantam tubuh dan pemukiman kami. Aku terhuyung-huyung antara sadar dan tidak. Hanya suara badai angin disertai air yang masih bergemuruh ke arahku dan beberapa orang yang juga berpegangan pada kusen plafon rumah yang berlantai 3. Kecepatan air tsunami pada pusat gempa saat itu mencapai 700 km/jam namun menjalar ke pemukiman bisa mencapai 60 - 80 km/ jam sama dengan kecepatan saat Indra memboncengiku dengan motor bebeknya.

Aku melawan sekuat tenagaku. Bencana besar ini datang kepada kami. Menyapu tubuh kami seketika. Memisahkan kami dari keluarga-keluarga kami. Menghancurkan semua kesombongan kami. Aku masih meraba kusen jendela rumah yang telah hancur seketika itu. Beberapa orang lelaki yang berada lebih dulu di atas membantuku untuk naik ke atap rumah. Aku duduk bersama dua orang wanita muda, satu anak-anak dan dua orang lagi laki-laki yang menyelamatkanku tadi. Aku khawatir dengan kehamilanku, tubuhku kedinginan basah kuyup. Air itu begitu hitam bercampur lumpur dan berbau. Bahkan sempat masuk ke dalam tubuhku karena terminum saat tenggelam tadi. Aku seperti berada di salah satu adegan film the end of day, coba kamu bayangkan dadaku bisa berpacu sepuluh kali lebih kencang daripada saat aku mengikuti adegan di film itu.
Hening seketika saat itu. Gemuruh suara dan kepanikan tadi hilang tanpa suara. Semua diam, gelombang besar itu diam tak bergejolak lagi.

Gelombang itu kembali surut memenuhi dasar-dasar laut membawa semua yang dilewatinya. Aku menghela nafas panjang. Aku hanya diam di atap rumah yang mulai ringkih ini, ingin rasanya aku mencoba menolong yang lain tapi aku tak punya kekuatan sama sekali. Ku perhatikan sekelilingku rumah-rumah yang telah hilang ditelan air, bahkan atap rumahku pun tak kelihatan lagi. Pepohonan yang ambruk terbawa kesana kemari seiring komplek perumahan kami yang telah menjadi lautan air dan sisa-sisa hancuran bangunan hanya dalam hitungan menit.

Ternyata tidak hanya sampai di situ. Gempa susulan itu masih terus terasa, semakin kencang, aku hanya pasrah bersama linangan airmata yang terus mengalir di pipiku. Suara gemuruh itu terdengar lagi persis di hadapanku gemuruh air yang hitam mengejar keberadaan kami lagi, gelombang itu datang lagi. Aku tak sanggup melihat gerakan air yang kencang dengan posisi vertikal tingginya mencapai 10 meter melebihi tinggi sebuah pohon kelapa itu mengejar kami. Seperti hantu yang begitu besar berlari dengan cepat dan menakuti siapapun yang ada di hadapannya.

Seorang lagi wanita paruh baya meminta tolong pada kami agar di bantu naik ke atap, aku sungguh tak sanggup melihatnya. Ku tutup mataku rapat-rapat saat tangan wanita paruh baya itu terlepas dari genggaman seorang laki-laki yang berniat membantunya. Sungguh malang wanita itu bukan hanya terseret gelombang tapi kepalanya juga ikut terpisah dari tubuhnya karena terkena sayatan atap rumah yang terbuat dari seng. Pemandangan yang sangat mengenaskan terjadi di depan mataku. Airmataku seolah-olah tak mengering, aku terus menangis bukan karena kesendirianku saja tapi karena aku merasa begitu kerdil dibandingkan dengan setitik bencana dari Allah.

Gelombang itu kembali menghantam kami, kami saling berpegangan tangan saling menguatkan saling membantu. Mungkin karena sama-sama mengalami musibah, sehingga membangkitkan rasa kepedulian kami berlima yang selamat di atas atap rumah ini. Tak satupun dari kami yang tidak menangis, menangis karena merasa begitu kerdil di hadapan Allah. Menangis karena tak mampu menyelamatkan yang lain. Menangis karena merasa dalam ketiadaan dan kehilangan.

---------

/”Ayo,..kita mencari pertolongan ke tempat lain, mungkin ke daerah yang jauh dari daerah pantai akan lebih aman ”/kata salah seorang laki-laki di antara kami. Namun perasaanku masih ingin tetap di sini mencari tahu keadaan Indra. Berat sekali aku menuruni atap rumah ini, dengan tubuh dalam keadaan basah kuyup dua orang laki-laki itu membantu kami turun satu persatu. Akhirnya gelombang itu pun mulai surut. Laut kembali terlihat tenang setelah melepaskan amarahnya dalam waktu kurang dari 60 menit saja. Hanya kami yang selamat masih terus menangis tanpa henti melihat kekuasaan Allah yang telah terjadi di depan mata kami.

Puluhan orang yang selamat dari ribuan orang yang memukimi daerah ini terlihat bergerak menjauh dari tempat ini. Banyak yang terluka, tubuh penuh sayatan sangat perih pastinya saat bersentuhan dengan air laut yang asin. Anak-anak yang menangis terpisah dari ibu bapaknya. Sebagian terlihat tanpa pakaian mungkin terbawa arus yang kencang, sebagian lagi terlihat compang camping. Tapi aku bersyukur bahkan kerudungkupun tidak terlepas dari kepalaku.

Pikiranku tak mau berhenti memikirkan Indra, selamatkah ia ayah dari anakku itu??,..sepanjang jalan menuju ke tempat yang lebih aman aku tak henti-hentinya membolak balik tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat. Setiap kali itu pula aku menangis karena usahaku sia-sia menemukan Indra. Feelingku sebagai seorang istri mengatakan bahwa Indra ada di sekitarku mungkin dalam keadaan sekarat membutuhkan pertolongan.

/”kalian pergilah lebih dulu, aku masih ingin mencari suamiku ucapku pada teman-temanku yang selamat satu atap denganku tadi. Mereka terlihat khawatir dengan keadaanku yang tengah hamil besar dan sendirian. Namun ku yakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja. Mereka juga butuh mencari sanak keluarga mereka yang lain, ku pikir aku tak mungkin menggantungkan diri pada orang yang juga sedang dalam kesusahan.

Hampir 4 jam, aku tak lelah bersusah payah membolak balik tiap tubuh yang kujumpai di jalan, di atas atap rumah, yang tersangkut di cabang pohon, di sela-sela runtuhan bangunan. Namun tetap nihil, aku kelelahan karena pemukiman itu masih penuh dengan genangan air, seperti sungai kecil dadakan tercipta. Aku sama sekali tak menemukan indra bahkan jasadnya.

Sepanjang jalan ke tempat pengungsian semua orang yang kujumpai dalam keadaan menangis, melakukan hal yang sama denganku membolak balikkan tubuh-tubuh yang telah kaku tanpa nyawa, ada yang mengangkat mayat anaknya sambil tak henti-hentinya meraung. Anak-anak kecil yang menangis mencari ibunya. Akhirnya aku terdiam tak mampu menangis lagi, melangkah gontai berharap indra mencariku di pengungsian.

Gempa-gempa susulan yang terus datang bertubi-tubi tak menyurutkan niat kebanyakan orang untuk mencari sanak keluarganya. Saat itu sudah lewat pukul 12 siang, kucoba cek kembali signal handphone ku, malangnya handphoneku terendam air sehingga tidak bisa dihidupkan sama sekali, mungkin saja sudah tak bisa dipakai lagi karena terendam air asin yang bercampur dengan material lumpur hitam dari dasar laut.

-----------

Andai hidup puncak perpisahan,
biarlah mati menyambungnya semula.
Namun seandainya mati puncak perpisahan,
biarlah hidup ini membawa arti yang nyata


Aku duduk tanpa suara di tangga masjid kampus syiah kuala, masjid ini menjadi salah satu tempat pengungsian terdekat dan relatif lebih aman dari tempat tinggalku. Ratusan orang yang selamat berkumpul di sini. Aku mulai memperhatikan tiap mayat yang digotong beramai-ramai, lalu di letakkan di samping masjid. Sudah hampir satu jam aku duduk di sini, beberapa orang kenalan yang kujumpai tetap tidak tahu menahu atau melihat dimana keberadaan indra.

Hopeless,..mungkin itu yang aku rasakan. Hari semakin senja, sebentar lagi malam tiba. Tapi indra tak juga kutemukan. Ku kuatkan hatiku, mungkin dia belum tertolong atau mungkin dia mengungsi di tempat yang lain, beribu kemungkinan untuk menguatkan hatiku sendiri. Walaupun ku tahu cemas itu semakin menyiksaku. Menyiksa tubuh, hati dan janin yang sedang ku kandung saat ini. Sejuta harap pula ku junjung setinggi harapan jiwaku yang sangat membutuhkan kehadiran indra untukku dan calon bayi kami.

Aku masih duduk diantara jejeran mayat yang ditemukan hari ini. Mataku tak lelah memperhatikan tiap lekuk tubuh, bentuk wajah tubuh-tubuh yang tak bernyawa itu. Wajah mereka mulai sulit untuk diidentifikasi, bentuk wajahnya sudah tidak jelas lagi karena tertutupi oleh lumpur hitam dan sisa-sisa kotoran yang menempel di sekujur tubuh, selain itu juga karena lama terendam di dalam air sehingga sebagian besar tubuh dan wajah mereka menjadi bengkak dan menggelembung. Aku berharap tak menemukan mayat indra, aku tak kuat jika pada kenyataannya indra telah tiada, mungkin juga aku akan gila jika benar harus menghadapi kenyataan seperti itu.

Di sampingku duduk seorang wanita muda, entah berapa lama ia telah duduk di depan dua mayat balita kembar yang tak lain adalah anaknya. Wanita itu hanya diam, aku hanya melihat tetes demi tetes airmata yang berjatuhan di pipinya. Di sela-sela tangisnya aku sedikit mendengar gumamannya yang menyayat hatiku. “pakon jeut meuno,.. mengapa bisa begini, mengapa tangan ibu tak kuat memeluk kalian, mengapa kita harus berpisah dalam keadaan yang menyakitkan, sungguh ibu merasa bersalah atas perpisahan ini. Aku sesenggukan mendengar jerit bathin wanita yang telah ditinggal pergi dua balitanya sekaligus ini. Mungkin aku tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun jika berada di posisinya.

Puluhan orang hilir mudik di hadapanku, aku tahu dalam hati tiap mereka yang kujumpai hari ini menyimpan berbagai macam perasaan. Beragam pula cara mereka menata hati masing-masing. Namun bagiku musibah ini menjadi sebuah refleksi diri, tak ada satupun yang mengetahui hikmah di balik semua ini. Rahmat sering datang kepada kita dalam bentuk kesakitan, kehilangan dan kekecewaan; tetapi kalau kita sabar, kita segera akan melihat bentuk aslinya.

Sudah tiga hari aku terlunta-lunta di sini bersama puluhan orang yang juga bernasib serupa. Tidur tanpa alas, makanan yang tidak tersedia, pakaian satu-satunya yang melekat di badan saja. Uang menjadi tidak berharga karena tak ada makanan yang bisa dibeli. Belum lagi harus tidur di antara aroma mayat yang belum dikubur karena menunggu keluarga si mayat yang mungkin datang untuk menguburkannya. Indra tak kunjung datang memelukku, jangankan berharap menemukannya berjalan menghampiriku, tubuh tanpa nyawanya saja tak kutemukan. Berulang kali aku melongok tiap mobil ambulance yang mengangkat mayat untuk dimakamkan atau korban tsunami yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Namun hasilnya tetap nihil.

-----------------

Dimanakah kau cintaku,…aku bersama gelisah menantimu untuk menatap mata coklatmu yang teduh

Dimanakah kau pujaanku,..aku bersama gundah mengharapkan uluran jemari hangatmu….

Dimanakah kau belahan jiwaku,..apa kau tak melihat siang dan malam aku terpekur
dalam bayangan kasihmu,…menggantungkan rinduku dalam derit cabang pohon yang ditiup angin malam,..

Dimanakah kau pahlawanku,…dalam robohan tonggak kujelajahi resahku, dalam bisunya puing-puing tsunami kurapatkan tiap jengkal kekuatanku,..

Dimanakah engkau separuh jiwaku yang lain,…aku akan tetap menantimu dalam setiap saat ketika mimpi indah menghampiriku,..


Menjelang seminggu di tempat pengungsian, sebagian pengungsi mulai sakit. Anak-anak yang kena diare, ispa, gatal-gatal di sekujur tubuh karena kekurangan air bersih sepertinya menjadi penyakit langganan di tempat pengungsian. Begitu juga dengan tubuhku semakin lemah tanpa bantuan makanan yang cukup untuk kebutuhan giziku sebagai wanita hamil. Tiada kabar dari Indra telah membuatku pasrah, namun tiada kabar dari keluargaku di Meulaboh juga semakin membuat hatiku perih. Kabar yang simpang siur di tempat pengungsian terkadang membuat hati harus lebih kuat berkali lipat daripada biasanya.

Satu persatu pengungsi di shelter kampus Syiah Kuala berkurang jumlahnya. Sebagian besar mereka yang berasal dari daerah utara dan timur aceh telah pulang ke kampung halaman mereka. Banyak adik-adik mahasiswa yang dijemput oleh keluarga mereka untuk pulang. Namun yang masih bertahan di shelter hanya orang-orang yang berasal dari daerah pantai barat selatan aceh, termasuk aku yang berasal dari Aceh Barat.

Kami tak sanggup menunggu lama lagi di sini, aku juga tak mungkin diam saja. Aku harus tahu bagaimana keadaan keluargaku di Meulaboh. Telah seminggu ini ku belajar mengikhlaskan kepergian Indra. Hingga di suatu pagi di hari ke tujuh aku berada di pengungsian, dengan sedikit terbata-bata seorang laki-laki bertubuh ceking dan berkulit hitam menghampiriku. sekitar pelipisnya masih terlihat luka yang dalam terkena goresan benda tajam. Kakinya sedikit pincang saat berjalan. Dia memandangku dengan cemas, memperhatikan tubuhku yang mulai lemah dengan perut yang membesar.
/”kak,..saya sempat berlari bersama bang Indra saat kejadian itu, tapi kami terpisah saat gelombang kedua menerjang kami lagi. Lalu bang Indra hilang tak terlihat lagi. Saya sudah berusaha membantunya tapi tangan kami terlepas karena tubuh saya pun lemah setelah berulang kali tenggelam. Saya khawatir mayatnya sudah terbawa arus di tengah lautan, jadi kemungkinan besar mayatnya tak bisa ditemukan lagi, maafkan saya baru bisa mengatakannya sekarang, sudah tiga hari saya mencari-cari kakak tapi baru sekarang saya bisa bertemu kakak setelah membaca di papan informasi daftar nama-nama pengungsi di sini,..maafkan saya, yang sabar ya kak,…”/

Aku hampir terjatuh dari sikap berdiriku, kabar itu sungguh menyayat hatiku. Tiba-tiba aku membayangkan anakku yang akan lahir tanpa ayahnya. Kakiku begitu lemah, tanganku gemetaran namun aku tetap bertahan dalam ambang kesadaranku. Mungkin tubuhku lemah, air mataku juga tak henti-hentinya mengalir. Tapi hatiku telah belajar banyak tentang kesabaran, hampir seminggu aku melihat wajah-wajah yang murung menanggung sedih, hampir seminggu aku terpekur dalam doa panjangku agar diberikan kekuatan berlebih untuk menerima guncangan jiwa yang hebat ini. Hampir seminggu pula aku hampir hilang pegangan untuk menggenggam hati lemahku, tapi aku yakin Allah Maha Tahu yang terbaik buat aku dan calon bayiku.

Kutarik nafas sejenak, laki-laki itu masih memandangku dengan sangat prihatin. /”terimakasih, sudah memberi kabar tentang Indra kepada saya,..”/ saya berencana pulang ke meulaboh, saya juga khawatir dengan kondisi keluarga di sana, karena kabarnya Meulaboh juga tak luput dari tsunami. Saya pulang bersama teman-teman yang juga akan pulang ke daerah Medan dan Aceh selatan.

-----------

Ahris nafsaka Aniitadbir, ringankanlah dirimu apa yang sudah menjadi kehendakNya. Berulang kali aku tertegun mengingat kalimat itu. Aku harus kuat, lebih kuat dari yang terlintas di pikiranku atau lebih kuat dari stereotype kebanyakan orang tentang kelemahan seorang wanita. Mungkin wanita terlihat begitu rapuh seperti barang fragile yang mudah hancur, namun aku yakin wanita jauh lebih tangguh dari yang terlihat.

Hatiku berteriak dalam diam, bahwa aku mampu bertahan. Seperti Cut Nyak Dhien yang tetap menjadi pejuang tangguh dan tegar mesti Teuku Umar telah tewas, aku harus tetap kuat seperti Laksamana Keumalahayati yang tak pernah gentar mengarungi selat Malaka dalam pertempurannya melawan pasukan portugis. Aku harus tetap kuat, demi cintaku pada Indra dan demi bayinya yang berada dalam kandunganku.

Aku duduk di sudut bus yang ukurannya lebih kecil dari bus yang selalu melintasi jalur timur Sumatra menuju Jakarta. Aku diam tak berbicara sepatah katapun setelah membayar ongkos bus seharga 100 ribu rupiah. Padahal sebelumnya hanya cukup membayar 70 ribu saja untuk sampai di Medan. Harga yang cukup melambung di saat kondisi genting seperti ini.

Beberapa kali aku menatap tajam ke arah orang-orang yang memanfaatkan situasi sulit ini, bagaimana mungkin begitu entengnya mereka meraup untung sebesar-besarnya di saat semua orang menderita?? Apa mereka sudah tak punya hati?? berulang kali aku bertanya dalam hati. Apa semua rasa kasih sayang sebagai seorang manusia itu telah musnah oleh nominal rupiah?? Yah, itulah fenomena yang kutemukan di saat masa-masa emergency di aceh.

Perjalanan ini terasa begitu lama, bayangkan saja kami harus mengambil jalur Medan baru ke Meulaboh, ke Medan saja sudah menghabiskan waktu 10 jam ditambah perjalanan Medan ke meulaboh bisa menghabiskan waktu 16 jam. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Bahkan sebagian orang untuk ke Meulaboh harus berjalan kaki karena tak memiliki uang sama sekali, merintis jalanan yang baru. Mendaki gunung, karena jalur Banda Aceh- Calang – Meulaboh sebagian besar telah menjadi lautan. Aku memang sengaja tak memilih rute perjalanan yang membutuhkan waktu berhari-hari itu. Aku yakin rute yang demikian jauh itu lebih melelahkan dan membutuhkan kekuatan fisik yang besar. Ditambah lagi saat itu kondisi iklim politik Aceh tidak kondusif karena masih dalam status darurat Militer karena perseteruan GAM dan RI.

Aku tak pernah menghadapi suasana yang begitu hening seperti saat ini. Semua mulut terdiam tak berucap kata, setiap kepala memikirkan bagaimana kondisi keluarga mereka masing-masing. Termasuk aku, kepalaku dipenuhi tentang ibu, ayah dan adik-adikku. Bagaimana keadaan mereka, aku tak ingin semakin terpuruk setelah kehilangan Indra, lalu harus menerima kenyataan bahwa keluargaku juga telah tiada. Oh Rabbi, dunia ini serasa kiamat di mataku jika hal itu terjadi.

------------

Kakiku terasa bengkak dan kaku karena terlalu lama duduk di dalam bus, pinggangku semakin terasa nyeri. Namun semangat untuk menemukan sanak keluargaku tak berangsur pudar meski tubuh lelah dan kesedihan luar biasa masih menerpaku. Aku harus menemukan mereka, tapi jika kenyataannya berbeda, aku akan ikhlaskan segalanya pada Yang Kuasa, bukankah dengan demikian hatiku akan menemukan titik ketenangan.

Air mataku bercucuran kembali, mataku tak henti-hentinya menatap pantai depan rumahku yang telah menjadi lautan, sesekali terlihat tonggak-tonggak rumah yang timbul tenggelam dalam gelombang yang pasang surut di depanku. Rumah itu telah hilang disapu ombak, semua kenangan masa kecilku di rumah itu hanya tinggal dalam pikiranku saja.

Ku menangis,…mengenang Indra yang telah tiada, mengenang keluargaku tercinta. Aku tak sanggup menahan air mataku yang berulang kali kuseka namun kembali terjatuh lagi. Ku tak sanggup menatap di sekelilingku, dunia ini serasa gelap. Namun ku tetap kuatkan hatiku untuk tetap berada pada ambang kesadaranku. Aku rindu sapaan lembut ayah ibuku, aku rindu lelucon kecil adik semata wayangku, aku rindu mata elang indra memandangku penuh cinta. Ternyata aku sangat merindukan mereka semua.

Aku duduk meratapi puing-puing rumah yang telah hancur, aku terdiam menangisi kesepianku. Aku menangis karena tidak sempat meminta maaf pada Indra dan keluargaku. Aku menangis karena merasa terlalu cepat kebahagiaan itu terengkuh dari sisiku. Aku menangis karena belum banyak berbuat untuk membahagiakan Indra dan keluargaku.

Sekarang aku tak sanggup menangis lagi. Sudah kucukupkan derita ini merambati hatiku, telah kucukupkan kesedihan ini menyiksa tubuh dan pikiranku. Semua harus dimulai kembali dengan kisah yang baru. Aku yakin Allah tak akan memberikan ujian di luar kemampuan hambaNya. Bagaimanapun keadaannya aku harus tetap hidup demi anakku dan cintaku pada Indra dan keluargaku.

Kullu Nafsin zaaikatul maut, Wa innama tuwaffuuna ujuurakum yaumal kiamah
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu
.

Faman zuhzikha ‘aninnarri wa udkhilul jannata faqad faa za. Wa mal hayatu ddunnyaa illa ma taa’ull ghururrri,…

Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Syurga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali-‘Imran 185)

Aku masih menekuri gundukan tanah yang masih basah, Ujoeng kareung tempat bersemayamnya ratusan mujahid tsunami di Meulaboh. Dalam diam dan isakan tangis yang keluar dari bibirku, ku titipkan beribu doa tulusku. Aku benar-benar ikhlas dengan perpisahan ini. Semoga orang-orang yang kucintai bersanding di syurga dalam kebahagiaan abadi. Amiennn…

Mengenang 5 tahun Tsunami di Aceh
26 Desember 2004 yang lalu,…
Kisah pilu itu masih membekas di hatiku,..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar