Laman

Kamis, 25 Februari 2010

Permintaan Dari Hati


Terkadang Tuhan menyembunyikan matahari
Dia datangkan petir dan kilat
Kita menangis dan bertanya-tanya kemana hilangnya matahari,
Rupa-rupanya Tuhan hendak memberi kita pelangi….


Langkah kakinya kecil-kecil saat melangkah, wajahnya yang sumringah mampu membius setiap orang yang menatapnya. Alisnya tumbuh dengan lebat dan hampir bertaut satu sama lainnya. Hidungnya tinggi dan sedikit lancip. Bibirnya merah dan penuh sangat cocok dengan wajahnya yang putih bersih seperti salju. Sikapnya sangat santun, bahkan membuat aku merasa kurang memiliki manner sebaik dirinya. Aku merasa sedang berhadapan dengan seorang lady atau dayang utama pada zaman kastil edo. Satu kata untuk wanita itu cantik.

Sesekali dia melepaskan pandangannya keluar restoran lewat jendela yang berada di samping kami yang saling duduk berhadapan. Aku hampir hilang rasa percaya diriku.
Bagaimana tidak, aku menatap kedatangannya dari atas hingga ujung kakinya. Rambutnya tertutup oleh kerudung berwarna merah muda, dipadupadan dengan baju putih berbunga pink kecil, bawahannya dibalut dengan rok panjang berwarna senada,wanita ini sangat anggun di mataku. Aku rasa wanita itu punya segalanya yang didambakan seorang pria termasuk suamiku.

Aku diam sejenak, wanita itu masih memandangku menunggu apa yang ingin ku utarakan padanya. Alisnya bergerak ke atas seperti membentuk bukit. Aku tak berani memandang mata coklatnya yang bening. Hilang semua keinginanku untuk bermarah-marah ria. Wanita ini mampu menaklukkan emosiku yang sedang naik turun.

“saya baca email dari teh Dina buat mas Arie…akhirnya aku membuka bicara, berat bibirku berucap, kelu rasanya lidahku. Ku dengar desahan nafas yang berat milik wanita itu. Antara saya dan mas Arie memang sangat terbuka, apalagi untuk hal yang satu ini karena kita ingin menjaga satu sama lainnya ucapku ringan.

Ku lihat wanita itu kembali diam, tak berbicara satu patah katapun. Ku lihat matanya yang tak sejernih tadi lagi, genangan air menutupinya. Aku bisa menangkap perubahan wajahnya yang terjadi secara tiba-tiba. Perlahan dia menatapku lagi.

“Maafkan saya dek ,..ucapnya lirih. Hanya itu yang keluar dari bibirnya.

--------------

Karena bukan di telingaku kau berbisik, namun di hatiku
Karena bukan di bibirku kau mengecup, namun di jiwaku
(Judy Garland)


Arie memang seorang laki-laki yang sangat familiar di kampus. Tak jarang banyak yang menaruh hati padanya. Bukan hanya berwajah tampan, tapi juga memiliki nilai akademi yang di atas rata-rata, dan yang terpenting dari semuanya adalah dia laki-laki yang shaleh.

Aku sudah mengaguminya sejak dulu saat masih aktif di lembaga dakwah kampus. Beberapa kali mencuri pandang dan menyimpan harap jika suatu saat diberikan waktu untuk bisa lebih mengenalinya. Tapi niatku itu terhenti saat Arie mulai ta’arruf dengan salah seorang teman wanitanya.

Wanita itu bernama Ardina, sama dengan Arie dia juga wanita yang cemerlang. Semua setuju bahwa mereka pasangan yang sangat ideal. Entah apa sebabnya, atau memang mereka tidak ditakdirkan berjodoh, akhirnya taaruf antara mereka tak berlanjut ke jenjang pernikahan. Dina akhirnya menikah dengan ikhwan yang lain dan Arie menikah denganku.

Bayangan masalalu antara mereka terkadang masih membuatku cemburu. Tapi cinta Arie terlalu kuat untukku dan anak-anak kami, sehingga mengalahkan semua hal yang terasa tidak penting untuk difikirkan. Karena kehidupan kami memang sangat bahagia.

“Bunda,.. tolong buka emailnya ya,..ayah ngirim sesuatu buat bunda” begitu isi pesan singkat yang dikirim mas arie kepadaku. Mungkin harus segera dibuka pikirku.

Setelah mengantarkan anakku kayla ke sekolah aku mulai jelajahi situs-situs untuk bahan tulisanku dan mengecek deretan email yang mungkin penting untuk di baca. Ternyata benar mas arie mengirimiku sebuah email forward dari seorang teman pula.
Nafasku berhenti sejenak, merasakan sesuatu yang tidak biasanya. Mataku cemas membaca judul email itu “permintaan hati”.

Assalamua’laikum Arie….

Entah untuk beberapa lama aku menyimpan niat untuk mengirimimu pesan ini. Berulang kali aku kembali bertanya dalam hati, mudah-mudahan ini bukan hanya keinginan nafsu belaka melainkan keinginan untuk bisa beribadah bersama.

Kembali beraktivitas bersamamu, kembali mengingatkanku akan masa ta’aruf kita dulu. Allah memang selalu punya rahasia di balik semua ini. Begitu juga dengan statusku yang sekarang menjadi janda sepulang suamiku di sisi Yang Maha Kuasa.

Harus kuakui aku merasa kesepian tanpa anak dan suami. Aku butuh teman untuk berbagi banyak hal dalam hidupku. Mungkin karena aku telah terbiasa memiliki seseorang yang selalu berbagi segala hal bersama membuat aku merasa lemah dalam kesendirianku.
Arie maafkan aku sebelumnya, aku tak berniat menjaga atau bahkan memupuk perasaan ini. Namun berada di sampingmu dalam beberapa event telah memberikanku ketenangan yang hilang kurasakan sejak suamiku tiada.

Berulang kali aku bertanya pada Tuhan, mengapa Dia menitipkan cinta yang begitu dalam di hatiku pada seorang suami shaleh yang sangat mencintai keluarganya. Semakin ku coba melupakanmu, semakin aku merasakan bahwa aku memang telah jatuh cinta padamu. Aku mohon, maafkanlah keterusteranganku ini. Seperti kata Benjamin Disraeli “jangan pernah menyesal setelah anda mengungkapkan suatu perasaan, karena jika demikian, anda sama saja telah menyesali kebenaran”.

Aku tak ingin mengganggu ketenanganmu apalagi jika ini kemudian menjadi dosa di hatiku. Sungguh aku tak ingin melakukan itu semua. Katakan padaku apa yang harus aku lakukan untuk memadamkan cinta ini, sementara hatiku bersikeras tak ingin cinta ini pergi dari hatiku.

Arie hamba Allah yang aku cintai,..

Berulang kali aku membaca bagaimana tata cara polygami dalam agama kita. Aku yakin kau jauh lebih faham tentang hal ini. Kau dan istrimu adalah hamba-hamba Allah yang shaleh. Kalian sangat mengerti syariat agama, polygami tak pernah terlarang dalam agama kita. Jika istrimu mengijinkan, aku mohon nikahilah aku untuk menjadi istrimu. Aku yakin laki-laki shaleh sepertimu dapat menjalankan peran itu.

Jikapun tidak, maafkanlah jika aku masih tetap menyimpan cinta yang membara ini untukmu. Aku hanya menunggu sampai Sang Penitip cinta membalikkan hatiku agar berpaling darimu.

Semoga Allah memberikan kesempatan ini untukku…aminnn

Wassalamua’laikum wr. Wb

Ardina



Leherku terasa tercekat setelah membaca email dari Dina. Tiba-tiba kurasakan panas di kedua pelupuk mataku, air mataku pun jatuh perlahan seiring rasa takut kehilangan suami yang sangat kucintai. Aku yakin tak ada laki-laki yang mau menolak cinta seorang Dina. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan. Ku bertanya dalam hati dalam keadaan miris dan sepi.

“ayah,…bunda sudah baca email dari teh Dina” ku kirim pesan singkat itu ke Arie. Tak ada apapun yang mampu kutuangkan lewat sebuah pesan. Aku berharap saat ini Arie di depanku memelukku erat sekali, menghapus air mataku hingga membuatku tenang.

“ya sayang,..nanti kita bicarakan di rumah ya, ayah masih ada kerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Tenang ya sayang,..ayah akan selalu bersama kalian selamanya”
Kurasakan sendu merayapiku, menggetarkan tubuhku yang limbung dalam kelaraannya.

Entah berapa tahun yang lalu bayangan wanita itu sempat membuatku mundur teratur untuk mencintai Arie. Namun kini dia datang lagi mungkin tak berniat menganggu keharmonisan rumah tangga kami, namun pengharapannya yang besar, keterusterangannya semakin membuatku sesak. Seperti lupa aku akan rasanya cemburu, kini Dina mengajarkannya lagi padaku.

Kukumpulkan semua kekuatanku. Entah darimana datangnya rasa ingin mempertahankan apa yang aku miliki. Entahlah mungkin aku akan terlihat egois, namun hatiku benar-benar tak ingin berdusta karena perihnya mulai terasa. Tak mudah bagiku berjalan bertiga dalam satu perahu walaupun tujuan akhirnya adalah mengharapkan ridha Yang Maha Kuasa. Apapula indahnya jika malam dihiasi dua rembulan.

------

Masih berlinang airmataku, ku peluk Arie yang sedari tadi tersenyum melihatku menangis. Entah apa yang terselip di benaknya, Arie begitu tenang bahkan aku tak mampu menebak di balik ketenangan dan senyuman lembutnya.

“sekarang ayah ingin bunda yang menyelesaikan ini,…” arie menggenggam tanganku erat.

“ketika wanita yang berbicara dari hati ke hati, maka semua akan terlihat jelas karena sesuatu yang belum difahami laki-laki tentang perasaan seorang wanita akan terselesaikan dengan sendirinya jika dibicarakan oleh sesama wanita, bundalah yang harus berbicara dengan Dina”. Arie kembali tersenyum sebelum melanjutkan kata-katanya.

“ayah bangga memiliki bunda, ayah bangga saat bunda ingin mempertahankan ayah. Semua sekarang keputusan ada di bunda. Ayah serahkan semuanya pada bunda, karena ayah yakin cinta kita terlalu besar untuk dipisahkan”

Rasanya tiada hal yang lebih bahagia di dunia ini selain menyadari bahwa kita begitu sangat berarti. Bahwa kita begitu dipertahankan dan dicintai. Itulah yang aku rasakan dalam tiap kata-kata yang diucapkan arie malam ini.

-----------

Ku sodorkan sebuah amplop berukuran post card berwarna putih di depan Dina. Wanita itu menatap lekat benda yang ku geserkan ke arahnya. Seolah-olah belum pernah melihat benda yang berjudul amplop itu, Dina menatapnya sangat lama sebelum kemudian tangannya sempat ragu untuk meraihnya.

“ini apa dek Ifa ??,… Tanyanya dengan lembut.

“ini surat buat teh Dina dari saya, saya pikir ada hal-hal yang bisa diungkapkan lewat lisan namun juga ada hal-hal yang lebih baik diutarakan lewat sebuah surat. Kalo teteh tidak keberatan mungkin lebih baik membacanya ketika teteh sudah di rumah ataupun di tempat yang menurut teteh lebih tenang”.

“Maafkan saya tidak bisa menemani teteh menghabiskan minumannya karena saya harus menjemput Kayla pulang sekolah. Mudah-mudahan lain waktu kita bisa bertemu lagi untuk hal yang lain. Saya minta ijin pulang duluan,.. Assalamua’laikum” ucapku menutup pertemuan kami yang cukup singkat bahkan nyaris tanpa basa basi.

Ku bergegas pergi dari restoran tempat kami bertemu. Aku bahkan setengah berlari seolah telah berhasil melepaskan diri dari penjara ketidaknyamanan. Sama sekali aku tak membenci Dina karena meminta sesuatu yang belum mampu kupenuhi, bahkan aku telah memaafkannya bukankah setiap orang butuh dimaafkan??... Apalagi seorang Dina yang sangat faham syariat, jika bisa memilih tentu dia tak akan melakukan hal ini padaku. Ku layangkan pandanganku ke sekitar, ku tarik nafas dalam-dalam bismillahirrahmaanirrahimmm moga ini bukan sebuah kesalahan. Ampuni hamba ya Rabb,..doaku lirih dalam hati.

--------

Dina membuka perlahan surat yang telah diberikan Alifa padanya pagi tadi. Duduk di sudut ruangan kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas pekerjaan. Sore itu menunjukkan pukul empat sore, setelah shalat ashar Dina merapatkan tubuhnya ke jendela memperhatikan padatnya lalu lintas di luar sana dari jendela kantornya, sembari perlahan ingin mengetahui isi dari surat Alifa istri Arie.

Tangannya gemetar menarik perekat amplop yang tertutup rapat. Sebenarnya sudah dari pagi tadi dia sangat penasaran ingin mengetahui apa isi dari surat itu. Namun ketakutan merayapinya jika saja isi dari surat itu akan mempengaruhi pekerjaannya yang membutuhkan fokus taraf tinggi. Sehingga dia memilih mengacuhkan rasa penasarannya demi profesionalisme kerja.

Assalamua’laikum

Teh Dina Yang dicintai Allah,…

Dua hari yang lalu mas arie menforward email dari teh Dina ke saya. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa mengungkapkan perasaan saya. Setelah membaca email dari teteh akhirnya saya mengerti bagaimana rasanya ketika cemburu itu membuncah di dada saya. Ya, email teh Dina telah menghadirkan rasa cemburu di hati saya.

Entah bagaimana saya harus menyampaikan hal ini pada teteh. Saya tidak ingin merasa telah menzalimi hamba Allah yang lain karena maksud dan isi dari surat saya ini yang mungkin akan menghadirkan sebuah luka di hati.

Enam tahun yang lalu saya dan mas arie mendirikan bangunan pernikahan ini. Selama itu pula tak pernah ada hal yang begitu sulit untuk kami komunikasikan. sampai dengan saat ini, terus terang email teh Dinalah yang telah menghadirkan resah di hati saya sebagai seorang istri.

Teh Dina yang saya hormati,…

Sejak di bangku kuliah saya telah kenal baik dengan teteh, saya yakin banyak sekali kelebihan yang teteh miliki. Rasa-rasanya hampir tak ada laki-laki yang akan menolak cinta dari seorang wanita seperti teteh. Teteh bahkan punya segalanya yang didambakan oleh setiap laki-laki. Saya kenal betul teteh, bukan hanya saat ini tapi sejak dulu saat saya tahu bahwa pernah terjadi ta’aruf antara teteh dengan mas Arie.

Saya hanya seorang wanita sederhana yang mengabdikan hidupnya untuk suami dan anak-anak saya. Saya bahkan tak memiliki kelebihan yang teteh miliki kecuali suami yang sangat saya banggakan dan ternyata diam-diam teteh juga telah jatuh cinta padanya.

Hanya mas Arie yang saya miliki dan membuat saya bergairah untuk hidup beribadah pada Allah. Hanya mas arie dan anak-anak kami yang membuat saya benar-benar mensyukuri hidup.

Apa saya salah jika hati saya tak rela membagi mas arie dengan teteh?? Walaupun syari’at agama kita membenarkan untuk hal itu. Apa saya salah mempertahankan satu-satunya hal yang sangat saya banggakan dalam hidup saya??...

Maafkan saya teh dina,…hanya mas arie satu-satunya kelebihan yang saya miliki. Jika hal itupun teteh minta untuk dibagi bersama. Saya tidak tahu bagaimana hari-hari yang akan saya lalui. Maafkan saya, mungkin tanpa sengaja saya dan mas arie telah menyakiti perasaan teteh dengan menolak permohonan teteh.

Teh Dina yang dicintai Allah,…

Saya bisa merasakannya bagaimana ketika cinta itu datang tanpa diminta kehadirannya. Terkadang bukan cinta yang salah, mungkin juga kita salah mencintai seseorang.
Berulang kali saya mencoba untuk menenangkan hati saya berusaha untuk mengabulkan permintaan teteh. Tapi tiap kali itu pula saya gagal bahkan saya tidak bisa berpura-pura meluluskan permohonan teteh.

saya tidak meminta teteh harus melupakan mas arie. Tapi saya hanya meminta berilah kesempatan pada laki-laki shaleh lain yang di luar sana agar dapat hadir di hati teteh. Saya yakin banyak sekali laki-laki shaleh di luar sana yang siap untuk diajak beribadah bersama mengharapkan ridha dari Allah.
Sekali lagi maafkanlah saya, semoga Allah mengampuni dosa saya.

Wassalamua’laikum wr.wb
Alifa


Dina menangkupkan kertas putih yang berisi permintaan hati dari seorang istri. Di luar kuasa Dina pun menangis, menangis karena telah menyakiti wanita yang menjadi istri sah Arie, menangis karena dia tak mampu menahan perasaan yang semakin hari semakin merekah di hatinya bak bunga mawar yang malu-malu menunjukkan helai demi helai kuntumnya.

“Oh Tuhan,..aku kembali bertanya, mengapa kau hadirkan cinta di hatiku yang mampu membuat luka hati yang lain??” lirih Dina dalam doanya.

“Oh Tuhan,..Yang Maha membolak balikkan hati. Setelah kemaren aku tak berani meminta, hari ini kuteguhkan hatiku untuk memohon padamu, Jauhkanlah Arie dari hati hamba, padamkanlah cinta yang meluap-luap dari sisi jiwa hamba. Berikanlah hamba ketenangan dan keikhlasan untuk menerima ini semua”. Dina semakin terpekur dalam doanya yang mengalir bersama suara adzan magrib yang mendayu-dayu.

Di luar sana, di balik jendela langit mulai kemerahan. Lalu lintas semakin padat. Dina mendapati dirinya seorang diri kerdil tiada arti tanpa kasih sayang Sang Pencinta. Air matanya semakin deras mengalir ditemani suara Iqamat pertanda shalat magrib akan segera dilaksanakan. Dina bergerak perlahan, menguatkan hatinya untuk bertemu Sang pemilik hati.

“Hatiku memang sakit, namun aku yakin hati seorang istri yang diminta berbagi suaminya denganku jauh lebih merasakan sakit dari apapun yang kurasakan saat ini”….
Dina bergegas mendirikan shalat, bergegas pula menata hatinya kembali. Berharap Semoga Allah memberikan cinta yang lain di hatinya. Ya,..ini hanya sebuah fase yang harus dilalui oleh hati-hati di muka bumi ini every dark light is followed by a light morning, setiap malam yang gelap selalu diikuti pagi yang tenang. Semoga,…

Jakarta, 23 february 2010

Aida_affandi

Rabu, 24 Februari 2010

Aku dan Laki-laki itu


Masih kulihat di ujung sana,…

Seberkas sinar memberikanku terang,..

Untuk berani melangkah walaupun sesulit apapun,..

Aku tak akan berputus asa,..

Mataku nanar menatap lampu kamarku yang redup, kutatap sekelilingku bunga-bunga mawar merah dan melati masih bertebaran di lantai kamar pengantinku. Masih ku tatap wajahku yang penuh dengan make up selepas resepsi pernikahanku dengan Bima. Rasa bahagia masih sangat terasa, namun terkadang gundah sering merajai sudut hatiku yang karam dalam ketakutan.

Bima tersenyum memandangku, memberikan senyuman terindahnya untuk istri yang baru pagi tadi ia nikahi. Masih terasa syahdu kalimat ijab dan qabul yang memenuhi relung kalbuku, namun tiba-tiba sekelebat perih kembali membahana jiwa rapuhku. Bima masih tetap tersenyum sembari memijat lembut kedua bahuku yang terasa kaku.

//“Apa kau sangat bahagia dengan pernikahan kita sayang”//Bima memelukku sembari memberikan kecupan yang lembut di pipiku.

Aku hanya diam, masih tetap memandangnya dengan senyumanku yang sedikit kutahan. Pikiranku masih berlari ke sana kemari mencari sudut yang tepat untuk meletakkan terminal ketenangan itu. Bukankah kemarin aku telah berjanji bahwa terminal kedamaian itu ada pada Bima, yang mampu membuat aku lebih kuat dari hari ke hari.

Sudah lama kutetapkan hatiku untuk bangkit dari keterpurukan yang tak pernah aku inginkan, keinginan untuk menjadi kuat itu semakin ada dengan kehadiran Bima yang selalu menjadi sahabat yang penuh semangat dan cinta. Sekali lagi, aku tak ingin menjadi tiada dalam ada.

-----------

No matter how hard the past, you can always begin again,…

Tidak seperti biasanya aku mengendus sikap yang aneh dari bang Madi, laki-laki bertubuh kecil berperawakan aneh, yang paling ku ingat batang hidungnya yang sangat menonjol dari sekian organ di wajahnya persis seperti Petruk seorang tokoh dalam pewayangan. Tubuh kecilku berontak, melepaskan setiap genggaman kuat Bang Madi seorang penjaga sekolahku tepat di halaman belakang sekolah tempat aku sering memanjat pagar yang banyak ditumbuhi tumbuhan Passiflora quadrangularis L aku sering menyebutnya konyal atau buah markisa.

Kebun belakang sekolah adalah tempat favoritku di sekolah ini. Bahkan itu sudah menjadi rutinitasku berpamit dengan tanaman-tanaman sebelum menggayuh sepeda kecilku lalu pulang ke rumah. Rutinitas kali ini berganti dengan tragedi yang tak akan ku lupa seumur hidupku.

Tanganku terlalu lemah dan kecil untuk dapat melepaskan diri dari setiap kuncian tangan bang Madi pada setiap tangan dan kakiku. Entah bagaimana caranya dia mampu begitu cepat melumpuhkanku padahal aku telah berusaha sekuat tenagaku. Namun aku ingat aku hanya seorang anak kelas 1 sekolah dasar.

Aku berteriak tapi tanpa suara, bahkan aku nyaris tak mampu bernafas karena telapak tangan bang Madi yang besar memenuhi mulut dan hidungku yang kecil. Tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku yang dibungkam bang Madi.

/”sssssttttt,…tenang anak manis, bang Madi hanya mau bermain-main saja denganmu, kita ambil buah Markisa mau kan??”// dengus laki-laki berumur 30 tahunan itu di telingaku. Tubuhnya berbau keringat membuatku mual dan pusing. Rasanya hilang semua kekuatan dalam diriku, saat dia menggendong tubuhku ke kamar mandi belakang sekolah.

Kamar mandi itu berukuran besar namun di bagian atasnya terbuka lebar tanpa atap. Sekelilingnya hanya berdinding tembok tinggi. Di dekat kamar mandi itu hanya ada satu bangunan perpustakaan sekolah yang jika siang hari seperti ini akan sangat sepi. Laki-laki itu tak melepaskan tubuhku sedetikpun dari gendongannya. Aku menangis sesenggukan setelah lelah menangis sambil berteriak karena tak seorang yang mendengarkan jeritan histerisku.

Tubuh kecilku menggigil ketakutan di sudut kamar mandi menyaksikan bang Madi melucuti satu persatu celana panjang hingga pakaian dalamnya. Dia menatapku penuh gairah seperti bertemu wanita dewasa yang akan memenuhi nafsu birahinya yang membludak hingga ke ubun-ubunnya.

Aku tak pernah mengerti mengapa ada kelainan seksual seperti ini, aku yakin semua orang setuju dengan pendapatku bahwa kelainan seksual seperti ini sangat biadab karena korbannya adalah anak-anak yang masih sangat polos dan tanpa dosa. Bukan hanya saja biadab tapi sangat menghancurkan masa depan si korban secara kejiwaan. Aku tak bisa membayangkan generasi selanjutnya yang akan hadir dengan penyakit jiwa semacam ini.

“Ayo pipis dulu anak manis,..Bang Madi buka celana mu ya biar ga ngompol” tanpa persetujuankupun laki-laki itu memaksa melucuti celana dalam ku.

“Aku tidak mau pipis,…aaaku mau pulang,..Bunda pasti sudah menungguku” terbata-bata aku menyusun kalimat itu bahkan bibirkupun bergetar mengucapkannya. Bang madi hanya tersenyum namun ada sedikit gusar di bola matanya yang bercampur dengan keinginan bejatnya tadi, sehingga tatapan matanya membuatku takut yang luar biasa.

Bang Madi mulai menunjukkan aksi gilanya, dia menggendong tubuhku yang dingin menggigil. Dengan kejam dia memasukkan alat kelaminnya yang besar itu. Aku berteriak luar biasa sakitnya, mengapa ada orang gila seperti bang Madi yang menyiksa anak kecil seperti diriku. Pikiran anak kecilku tak pernah memikirkan bahwa dia mempunyai kelainan seksual. Yang ku tau bang Madi orang jahat yang suka menyakiti anak-anak seperti aku.

Jeritanku justru semakin membuat bang Madi bergairah, matanya terpejam merasakan sensasi yang dahsyat atas perlawanan yang aku lakukan. Nafasnya yang terus memburuku. Penyakit itu benar-benar telah menggerogoti dirinya, menyakiti kejiwaan dan pikirannya. Belum puas dengan itu dia memaksaku menyentuh kelaminnya. Aku benar-benar ingin muntah mencium aroma cairan yang keluar dari kelaminnya.

Kelaminku terasa sakit, sangat sakit seperti disayat pisau yang karatan, bang Madi melepaskan gendongannya dan membiarkan aku menangis menahan sakit di sudut kamar mandi. Bang Madi membelakangiku, setelah tak berhasil menghujamkan kelaminnya di antara selangkanganku. Sekilas aku melihat bang Madi melakukan sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya, dia seperti melakukan sebuah “pesta” besar dengan kelaminnya. Setelah dewasa aku baru tahu bahwa dia sedang masturbasi.

Aku menatap ke arah langit yang sedikit mendung, aku hanya ingat bunda,aku mau bunda menolongku. Allah Yang Maha Kuasa dengarkan aku begitu ucap bunda suatu kali mengajarkanku meminta pertolongan dariNya. Pintu kamar mandi yang tidak dikunci dan posisi bang madi yang membelakangiku memberikanku kesempatan untuk lari dari kenyataan yang menyakitkan ini.

Setengah mengendap-endap aku menuju ke arah pintu. Aku berlari sekuat tenaga ketika bang madi mendesah kencang merasakan orgasme. Tentu saja dia tak sempat menghadangku bahkan mengejarku karena posisinya yang tak mungkin untuk mengejarku. Dari kejauhan aku hanya mendengar bahwa dia mengancamku jika berani membuka cerita ini pada orang lain.

Sepeda kecilku oleng ke kanan ke kiri menahan bobot tubuhku yang linglung menggayuh sepeda. Jarak rumahku yang tak terlalu jauh dari sekolah terasa sangat jauh seperti melalui beberapa gunung dan bukit. Rasanya begitu jauh untuk memperoleh dekapan bunda.

Umurku baru 6 tahun merasakan kejadian yang luar biasa menyakitkan ini. Aku tak pernah menyangka Bang Madi akan berlaku sekejam itu padaku. Selama ini sikapnya sangat santun bahkan selalu baik dan menyenangkan anak-anak yang duduk sekelas denganku di Sekolah Dasar ini. Namun aku baru mengetahui begitulah seorang pedofil mendekati calon korbannya. Berusaha keras untuk mendapatkan kepercayaan dari orang-orang terdekat seperti guru-guru di sekolahku sebelum menjalankan aksi biadabnya. Bahkan usaha untuk memperoleh kepercayaan itu bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sepanjang jalan pulang aku sangat menyesal tidak mematuhi pesan bunda kalau selesai sekolah harus langsung pulang. Ternyata berakibat demikian beratnya padaku. Ku lempar saja sepedaku di halaman rumahku. Nafasku berderu sangat cepat memaksaku untuk duduk diam sejenak di depan rumahku. Masih kurasakan aroma keringat bang Madi yang ingin membuatku muntah. Takut, aku sangat ketakutan.

“Ada apa Kayla?? Dikejar anjing galak di simpangan jalan masuk ke komplek lagi??” bunda memelukku lembut sambil menyodorkan minuman dingin untukku. Keringat dingin membasahi tubuhku, wajahku pucat pasi namun aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan bunda.

Entah mengapa hilang keberanianku untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Bunda di kali pertama bunda menanyakan hal ini. Wajah bang Madi yang mengancamku sebelum aku lari sekuat tenaga tadi masih terlihat jelas di mataku, seolah-olah kejadian itu merupakan kesalahanku. Sekarang ketakutan justru mengalahkan keberanianku untuk mengungkapkan apa yang baru saja terjadi.

----------

“Ayo Kayla,..bangun anak pinter, kan harus sekolah jangan sampai terlambat loh” Bunda membangunkanku dari tidurku yang kurasa sama sekali tak nyenyak malam ini. Kepalaku sedikit pusing karena berulang kali terbangun serasa berada dalam mimpi buruk yang berkepanjangan dan tak pernah ada akhirnya.

“Bunda,..Kayla ga enak badan nih, kepalanya hanget neh” aku mencoba membohongi bunda supaya hari ini aku tidak ke sekolah lagi. Bunda meraba keningku yang sama sekali tidak panas. bunda mengernyit sejenak, mungkin sedang berfikir ada apa denganku yang biasanya sangat rajin ke sekolah tiba-tiba hari ini memilih di rumah saja.

“wajahmu memang agak pucat, tapi badanmu sama sekali tidak panas anak manis” bunda memastikan bahwa aku baik-baik saja, tapi ya sudah biar hari ini di rumah saja mungkin sehari istirahat sudah cukup, besok kamu harus sekolah ya pinter” bunda berlalu dari hadapanku, aku bersorak dalam hati hari ini aku tak akan melihat tampang laki-laki seperti hantu itu.

Aku beranjak ke kamar mandi, sedikit meringis dan mataku berkaca-kaca menahan sakit pada selangkanganku. Aku sungguh merasakan perih, aku tak sanggup menahannya. Aku menangis menahan nyeri yang semakin lama semakin perih ketika diguyuri air.

“Bunda,..pipis Kayla sakit,..aku merengek menangis mencari bunda. Saat merasa sakit seperti ini hanya bunda yang paling mengerti kondisiku. Aku menangis merengek di pangkuan bunda. Dengan cekatan bunda mencari sumber sakit yang aku rasakan.

Aku melihat dengan jelas wajah bunda yang berubah menjadi kaget begitu melihat kelaminku terdapat memar dan lecet dengan sigap bunda mengambil air hangat untuk mengompres lukaku. Rasa perihnya semakin menjadi saat bunda membersihkan lukaku. Sekilas kulihat wajah bunda yang panik dan penuh selidik ingin segera mengetahui apa sebenarnya yang terjadi padaku.

“Kayla,..ini lukanya tidak wajar sayang, cerita sama Bunda..apa kayla jatuh atau ada seseorang yang menyakiti kayla..Cerita sama bunda ya nak” bunda terlihat berkaca-kaca, ketika dewasa aku baru bisa membayangkan bagaimana perasaan khawatir dan sedihnya sebagai seorang ibu ketika sesuatu yang buruk terjadi pada buah hatinya. Aku masih tetap diam memandang bunda yang mulai menitikkan air mata. Berulang kali bunda meyakinkan aku, bunda akan selalu menjagaku.

Mulutku yang kemaren terkunci untuk menceritakan hal ini akhirnya mengeluarkan kata-kata yang membuat hati bunda semakin miris. Air matanya semakin bercucuran, namun dia berusaha menguatkan dirinya agar aku juga tidak takut untuk menutupi semua kejadian ini.

Bunda segera berganti pakaian, begitu juga dengan aku. Aku tak tahu hendak kemana bunda membawaku. Selama ini bunda memang menjadi single parent semenjak ayahku telah tiada. Aku baru tahu kalau bunda membawaku ke sekolah setelah memarkirkan motor bebeknya di parkiran sekolah. Jantungku langsung berdegub kencang. Aku takut jika harus bertemu dengan bang Madi lagi.

“kenapa kita harus ke sekolah bunda?? Aku tidak mau,…”aku menangis tidak mau turun dari boncengan bunda. Tapi bunda hanya diam dan mencoba bersikap setenang mungkin. Bunda menatap ke sekeliling sekolahku. Tidak terlihat bang Madi yang biasanya nongkrong di depan kantin sekolah untuk menyiapkan minuman untuk guru-guru.

Bunda menggendongku yang masih tetap menangis dalam pelukannya. Dadaku sesak, ku peluk bunda dengan sedikit gemetar. Bunda melangkah perlahan ke ruangan kepala sekolah dengan tujuan yang jelas. Aku bisa merasakan dada bunda yang naik turun menahan marah, sedih dan kekecewaan.

-----------

Ruangan itu beralaskan karpet hijau yang memenuhi semua ruangan, kipas angin yang berputar ke kiri ke kanan mampu menahan sedikit suhu yang panas hari ini. Namun aku tahu panas di hati bunda sama sekali tidak hilang.

“Saya hanya ingin sekolah melaporkan kejadian yang dialami Kayla, saya yakin anak-anak yang lain juga akan menjadi korban selanjutnya jika tidak segera bertindak. Bundaku tiba-tiba menjadi sangat tegas ketika melihat gelagat dari pihak sekolah yang tak begitu mau diributkan dengan masalah penjaga sekolahnya ini”.

Tolong,…apa Bapak bisa membayangkan bagaimana perasaan saya sebagai seorang ibu Kayla yang anaknya menjadi korban kebejatan Madi Penjaga sekolah ini. Saya hanya ingin bapak berganti sejenak 10 menit saja merasakan apa yang saya rasakan sebagai seorang ibu. Seharusnya anak saya di usia seperti ini bisa merasakan masa-masa bermain dan belajarnya, namun sekarang hidupnya penuh dengan ketakutan dan kecemasan”.

Bunda berlinang airmata saat menceritakan kejadian yang aku alami. Saat bunda menangis aku baru menyadari betapa besar cinta seorang ibu. Walaupun saat itu aku belum begitu mengerti bagaimana mengungkapkan kasih sayang, tapi aku sangat yakin air mata yang berlinang, emosi bunda yang meluap karena amarah merupakan salah satu bentuk besarnya cintanya padaku.

“Apa yang harus saya lakukan selain memberikan therapy untuk Kayla, saya tak ingin dia tumbuh menjadi anak yang merasa rendah diri, takut bahkan saya takut bisa berakibat fatal yang lainnya, tak jarang anak-anak korban pedofil menyayat tubuh mereka. Saya tak akan menuntut pihak sekolah, saya hanya minta sekolah melaporkan Madi ke polisi. Sementara urusan kejiwaan Kayla saya akan mengatasi sendiri” bunda mengeluarkan uneg-uneg di hatinya atas kekecewaan yang teramat sangat dirasakan.

Kepala sekolahku tak segan mengucapkan terimakasih untuk melaporkan kasusku, ternyata sekolah ini juga memikirkan nama baik sekolahnya dan anak-anak murid yang juga bisa menjadi korban selanjutnya.

Tiba-tiba saja bang Madi tidak hadir lagi di sekolah semenjak kejadian itu. Bahkan dia menghilang entah kemana, tak ada seorangpun yang tahu dimana keluarga bang Madi karena bang Madi sangat tertutup untuk hal-hal bersifat pribadi. Menurut Richard Von Kraft-Ebing seorang ahli kejiwaan dari Austria begitulah kebanyakan seorang pedofil, mempunyai sifat tertutup, hanya menyukai sex dengan anak-anak dan bukan dengan orang dewasa. Kehidupannya juga sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain mungkin karena diusir atau menutupi kedoknya. Pedofil terlihat sangat ramah pada anak-anak tapi kenyataannya mereka predatori yang akan mengejar korbannya kemanapun hingga mendapatkannya.

-----------

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar (Albaqarah : 153)

Betapa sulitnya bunda menghadapi keadaan ini sendirian, belum lagi melaporkan kasus ini ke polisi selalu saja harus berhadapan dengan sistem birokrasi negri ini yang bertele-tele dan memakan biaya dan waktu yang lama. Tapi aku tak pernah melihat kesabaran yang luar biasa dari seorang ibu seperti yang bunda lakoni sekarang ini. Keadaan ini semakin membuat aku mencintai bunda.

Aku yakin sekali banyak di luar sana yang mengalami hal seperti yang aku alami, tapi jarang yang mau melaporkan karena mungkin akan menjadi rumit jika harus melapor. Belum lagi hukuman untuk seorang pedofil hanya dijerat 15 tahun penjara dan denda 300juta rupiah, aku pikir itu tak akan sebanding dengan trauma yang dialami anak-anak sepanjang umurnya.

Entah berapa kali aku harus bolak balik ke dokter lalu bertemu dengan om yang berpakaian rapi dan sangat baik. Kata bunda aku sedang ditherapy, aku mengikuti saja ajakan bunda. Terkadang aku terbangun di malam hari karena mimpi buruk, aku tak mendapati bunda di tempat tidur bersamaku, tapi aku selalu melihat bunda dengan mukenanya dalam sujud yang dalam dengan linangan air mata. Begitulah bunda menjalani hari-harinya dengan shalat dan kesabaran.


-----------

People should always try to take the bad things that happen to them

in their lives and turn them into something good...


Bunda adalah ibu yang luar biasa, aku akui aku memang mengalami trauma dengan kejadian itu, namun aku tak menyangka mampu melewati masa kecilku dengan indah dalam artian tak jauh berbeda dengan anak-anak yang lain. Bunda selalu mengatakan bahwa aku anak yang kuat, bahwa aku anak yang berani menghadapi sesulit apapun kondisi dalam hidup ini. Aku sudah pernah terlatih dengan kehilangan ayahku di usia 3 tahun, padahal saat itu saat-saat yang indah bersama ayah. Sekarang aku terkuatkan oleh cinta bunda untuk menjadi kuat dan semakin kuat.

Setelah 22 tahun yang lalu, apa aku sudah melupakan kejadian itu?? Tentu saja jawabannya tidak. Aku sama sekali tidak melupakan kejadian yang sangat buruk itu. Tapi aku menghadapi ketentuan yang telah digariskan padaku untuk berani menghadapi dan menjadi pejuang sejati, bukan menjadi yang kalah. Jika aku bisa memilih tentu aku ingin masa kecilku dilalui dengan hal-hal yang indah, jika aku mampu menghapus kisah buruk itu tentu aku akan menghapusnya, tapi aku tak punya kekuatan untuk itu. Aku hanya punya kekuatan untuk melangkah ke depan menjadi orang yang bertanggung jawab atas masa depan yang aku dambakan.

Aku kagum pada Oprah Winfrey karena kegigihannya melawan kondisi yang serupa. Ketika berumur 9 tahun juga mengalami pelecehan seksual oleh sepupunya sendiri dan harus hamil di usia muda, tapi tak ada satupun yang menyangka bahwa ia bisa menjadi seperti sekarang ini, menjadi orang yang terkenal dan salah satu orang terkaya di dunia. Jadi, aku pikir tak ada satupun alasan untuk aku putus asa dengan masalaluku, aku harus kuat karena aku memang punya kekuatan untuk itu.

-----------

“Ayo,..ngelamunin apa neh” tiba-tiba Bima menepuk pipiku. Ternyata aku telah mendiamkannya cukup lama. Ini malam pengantin kami, bagaimana mungkin aku membiarkannya menunggu lama. Walaupun masih sedikit kaget, aku menyambut pelukan hangat suamiku tercinta.

“Apa kau masih teringat kejadian itu cinta? Bima memelukku dari belakang, memberikanku ketenangan. Aku bersyukur menemukan Bima untuk menjadi salah satu bagian dari sepanjang hidupku di dunia. Aku bersyukur memiliki bunda yang super perhatian, aku bersyukur begitu banyak orang-orang yang menyayangiku.

“kejadian itu memang masih ku ingat, tapi yakinlah semua itu tak memberi pengaruh apapun untuk kita di malam ini dan selanjutnya” Bima tersenyum setelah mendengar ucapanku yang penuh keyakinan. Aku rasa semua orang berhak untuk bahagia.

Yang kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (Alfurqan : 02)



Untuk semua paedophilia

Jangan hancurkan masa depan anak-anak kami

Senin, 22 Februari 2010

Kuijinkan Kau menikahinya


Wahai yang maha memiliki hati,..
Ikhlaskah aku membagi pujaan jiwaku pada yang lain,..
Wahai yang maha penyemat cinta,..
Ajarkan aku tentang keikhlasan,..


Kulepaskan mukena lebarku yang berwarna putih terang, sembari menatap sajadah coklat yang bergambar abstrak yang masih terbentang lebar di depanku. Pikiranku menerawang pada wajah suamiku tercinta. Wajahnya teduh, tatapannya sangat menyejukkan. Wajahnya tampan, hidungnya mancung, wajahnya putih bersih. Di sepanjang dagunya tumbuh lebat bulu-bulu halus yang semakin menambah ketampanannya. Suamiku sudah tidak muda lagi, umurnya pun sudah 40 tahun lebih. Namun kharisma dan ketenangannya mampu mengalihkan perhatian seorang wanita muda sekalipun.

Hari ini suamiku pujaan jiwaku menikah untuk kedua kalinya. Menikah dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dari usiaku. Terkadang sedih menyelinap pelan-pelan di sudut hati dan pikiranku. Mungkin keikhlasan itu begitu sulit saat berhubungan dengan kata cinta. Namun kemaren aku telah menetapkan hati membagi cinta antara aku, suamiku dan wanita yang lain.

-----------------

Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-nisa’ ; 03)

Suamiku Furqan, dia seorang Guru Pengajian di lingkungan tempat kami tinggal, kegiatan sehari-harinya mengajar di pondok pesantren khusus untuk bapak-bapak dan ibu-ibu yang kebanyakan pensiunan dan sudah lansia. Terkadang Furqan juga sering mengisi pengajian di beberapa tempat bahkan hingga keluar kota. Sebagai seorang istri, kegiatanku juga tak jauh berbeda dengan suamiku. Mengajarkan anak-anak usia sekolah mengaji dan belajar agama di rumah. Sesekali juga ikut mengisi pengajian ibu-ibu di komplek perumahan kami.

Tahun ini kami telah bersama dalam ikatan pernikahan selama 18 tahun. Tak ada yang kurang dalam pernikahan kami, semua indah dan terasa begitu menyenangkan hidup bersama Furqan dan kelima putra putri kami. Furqan sangat lembut dan santun. Tak sekalipun dia berucap kata-kata kasar bahkan menyakiti hatiku, malah dia memanggilku Cinta sebagai panggilan kesayangannya untukku. Sebagai seorang Ayah, Furqan juga selalu menanamkan nilai-nilai yang santun pada anak-anak kami. Furqan memang seorang
Imam yang bertanggung jawab dalam keluarga kami.

Di hari pertama kami menikah Furqan mengatakan sesuatu yang sangat membahagiakanku. Membawaku melambung tinggi dalam genggaman cinta yang meluap-luap antara kami. Memberikanku sebuah keyakinan bahwa kami hanya satu dan tak ada yang lain.

/” Sayangku, hari ini aku menikahimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Ijinkan aku menegurmu jika kau berbuat keliru, kuijinkan kau menegurku jika aku berbuat keliru pula. Jadilah pujaan hatiku, sekaligus istri dan sahabat untukku. Karena aku tlah berjanji dalam hatiku bagiku kau satu selama hidupku di dunia ini”/

Malam pertama kami begitu indah, Furqan selalu berwudhu terlebih dahulu sebelum mendekatiku. Berbisik membacakan doa di ubun-ubun kepalaku sebelum memberikanku kecupan yang lembut. Janji Furqan di malam itu begitu nyata dalam hidupku. Begitu damai terasa hingga di usia pernikahan kami yang ke 18 tahun.

Furqan sering pulang hampir tengah malam untuk mengisi beberapa pengajian di beberapa tempat. Terkadang dia menggendongku ke kamar karena aku ketiduran menunggunya pulang. Furqan sungguh suami yang romantis, sangat pengertian. Di tengah malam dia sering membangunkanku untuk tahajjud. Terkadang tak sungkan dia sudah menyiapkan sarapan buat kami saat aku merasa kelelahan. Pernah suatu saat dia membelai tanganku yang penuh luka karena alergi dengan zat kimia yang terdapat dalam deterjen, lalu keesokan harinya dia memberikanku hadiah mesin cuci. Terlalu banyak hal yang membuatku begitu bangga pada sosok suamiku.

Suatu Juma’t sore seperti biasa aku mengisi pengajian di pengajian mingguan komplek.
Dalam pengajian itu sudah berkumpul banyak sekali perempuan-perempuan yang masih remaja, dewasa bahkan sudah nenek-nenek. Aku hanya bisa mengingat wajah dan nama mereka yang agak familiar di mataku dan selalu rutin datang di pengajian. Selebihnya aku tak begitu ingat karena sering terlihat absen di pengajian. Setelah pengajian usai dan mulai sepi, kulihat salah seorang dari ibu-ibu pengajian menghampiriku.

/”Ustadzah Furqan, boleh kita berbicara empat mata untuk sesuatu hal yang saya rasa agak penting untuk ustadz Furqan”/ wajah wanita itu begitu serius menatapku. Wanita itu adalah Ummi Syathira, dia istri dari Ustadz Ridwan yang juga bersahabat dengan suamiku Furqan. Penuh tanya hatiku ingin mengetahui apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Ummi Syathira.

/”saya baru tahu dari suami saya yang ikut mengisi pengajian dengan ustadz Furqan tempo hari di depok. Katanya ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir ini, hingga salah seorang ibu dari anggota jama’ah pengajian menyampaikan hal ini kepada suami saya”/

Ummi Syathira begitu hati-hati menjelaskan seluk beluk cerita yang akan dia sampaikan kepadaku, malah terkesan jangan sampai ada yang ketinggalan, dikurangi dan dilebih-lebihkan. Ummi Syathira faham benar bagaimana ajaran agama islam mengajarkan ketika menyampaikan amanah sebaiknya tidak mengurangi dan tidak melebihkan isi dari amanah orang lain. Sehingga tidak ada hal-hal yang dapat merusak sebuah amanah. Aku diam sejenak dan memperhatikan arah pembicaraan Ummi Syathira yang belum aku fahami sama sekali.

/”Maafkan saya Ustadzah,..saya tidak tahu apakah seharusnya menyampaikan hal ini pada ustadzah, karena beberapa orang jama’ah pengajian yang di depok juga sudah mengetahui tentang hal ini, saya khawatir jika sekiranya sampai ke telinga ustadzah akan banyak suara-suara yang kurang baik nantinya”/

/”katakanlah Ummi,..Insya Allah saya siap mendengarkan berita apapun dari Jama’ah di depok”/ ucapku dengan penuh ketenangan walaupun wajahku tak mampu menyembunyikan gurat penuh tanya di hati.

-------------

Pikiranku benar-benar tak bisa tenang setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Ummi Syathira sore tadi, aku mulai bingung harus seperti apa menghadapi situasi seperti ini. Baru kali ini hatiku begitu gundah memikirkan suamiku Furqan, baru kali ini aku begitu resah menghadapi permasalahan hidupku. Dan masalah itu berhubungan dengan Furqan. Kata-kata ummi Syathira kembali terngiang-ngiang di telingaku, seperti kalimat yang terus menghantuiku.

Ustadzah,..wanita itu salah satu Jama’ah rutinnya ustadz Furqan, sudah hampir 1 tahun dia ikut pengajiannya ustadz Furqan di depok, sebagian besar jama’ah rutin depok melihat sudah banyak perubahan yang terjadi dalam diri wanita itu semenjak ikut pengajian dengan Ustadz, dia telah menggunakan kerudung dan menutup auratnya dengan baik, bukan hanya itu sikapnya dan cara berfikirnya juga jauh dari kata glamour. Sungguh perubahan yang sangat luar biasa. Menurut cerita dari pimpinan pengajian di sana, awalnya dia hanya mengagumi saja kewibawaan ustadz Furqan, Hingga sesuatu hal yang memprihatinkankan terjadi, beberapa bulan yang lalu wanita itu baru menyadari bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta pada ustadz Furqan.

Sampai di situ hatiku tiba-tiba berdegup kencang, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tak mampu menampik pesona yang dimiliki seorang Furqan. Furqan memang tipe laki-laki shaleh yang sangat Nice Guy sekaligus juga Womanizer, wajar saja banyak wanita bahkan ibu-ibu begitu menyukainya. Begitu juga dengan kasus wanita muda ini, Tentu saja mungkin aku tak perlu banyak memikirkan tentangnya jika dia hanya sekedar menaruh simpati dan jatuh cinta pada suamiku. Namun kata-kata Ummi Syathira selanjutnya begitu menyayat hatiku sebagai seorang wanita yang dinikahi oleh Furqan.

/”Ustadzah,..wanita itu sudah hampir 1 bulan ini sakit berat, semenjak terakhir kali bertemu ustadz Furqan di pengajian bulanan kemaren. Ternyata cinta telah sangat menyiksa dirinya, dia berusaha menahan perasaan cintanya karena dia tahu perasaannya salah dan tidak halal karena jatuh hati pada seorang pria yang sudah beristri, ternyata bukan hanya itu saja yang menyebabkan sakitnya semakin menjadi, pengharapannya terlalu besar untuk dapat menikah dengan ustadz Furqan. Tapi dia sangat kecewa ketika mengetahui bahwa ustadz Furqan tidak bersedia berpoligami, karena begitulah janji ustadz Furqan pada istrinya.

Jiwa wanita itu hancur seketika, jantungnya menjadi lemah dan tak berdaya untuk bekerja. Paru-parunya tersendat-sendat memberikan pasokan oksigen untuk tubuhnya. Pikirannya dipenuhi tentang ustadz Furqan, beberapa minggu yang lalu sebelum sakitnya semakin parah, ibunya menemukan beberapa amplop berwarna peach yang ditujukan kepada ustadz Furqan. Ternyata dia ingin sekali menyampaikan kata hatinya selama ini. Surat itu akhirnya tak pernah ia sampaikan, dia hanya menyimpan harapan, semoga suatu saat nanti Allah memberikan kesempatan padanya untuk berdampingan hidup di samping ustadz Furqan.

/“Ya Allah yang Maha Pengasih, apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin menyakiti orang lain, namun aku juga tak ingin kehilangan Furqan suamiku, apalagi jika harus berbagi cinta dengan wanita lain. Wahai Rabbi, hatiku begitu resah, ketakutanku semakin menjadi, pikiranku penuh kegalauan. Tolong tunjuki hamba jalan menuju pintu kebijaksanaan itu ya Rabb...

------------

Dua hari hatiku terus gundah gulana, kusimpan semua galau itu dipundakku. Tak ingin kuberi cemas di hati Furqan akan kegalauanku ini. Apalagi Furqan tak pernah berbicara apapun prihal seorang wanita yang jatuh hati padanya itu. Menurut ummi syathira, Furqan memang tidak mengetahui tentang kejadian yang ikut membawa namanya itu. Berulang kali aku menengadahkan tangan memohon petunjukNya, Aku ingin tenang dan setenang mungkin menghadapi kondisi sulit seperti ini. Entah mengapa aku memutuskan mengambil langkah ini semoga menjadi awal yang baik bagiku dan Furqan. Ku dial nomer telpon rumah Ummi Syathira.

/”Assalamua’laikum ummi,..

/”Wa’alaikumsalam ustadzah,..ada yang bisa saya bantu??

/“Ummi, tolong antarkan saya untuk melihat kondisi wanita itu. Saya pikir saya perlu bertemu dengannya untuk melihat keadaannya”/ ucapku lemah kepada ummi Syathira.

/”Baiklah,Insya Allah nanti sore saya jemput ustadzah, kita sama-sama melihat keadaan wanita itu”/

Aku memberitahukan Furqan untuk melihat teman pengajian yang sakit di depok. Aku menuju ke rumah wanita itu ditemani ummi syathira. Bersama pengurus pengajian di depok kami langsung melihat keadaan wanita itu. Sepanjang jalan aku hanya diam, sesekali ummi syathira mengajakku bercakap-cakap tentang Fiqh Wanita. Pengurus pengajian menceritakan kepada ummi syathira bagaimana wanita itu bisa sakit hingga sedemikian beratnya dengan panjang lebar, andai dia tahu bahwa yang datang bersama ummi syathira adalah istri dari ustadz Furqan mungkin dia akan memilih untuk diam saja demi menjaga perasaanku sebagai seorang istri Furqan. Tapi kupikir lebih baik begini, jadi aku bisa mendapatkan informasi yang objektif dan tanpa ada yang ditutup-tutupi.

------------

Kutatap wajah wanita itu, Masya Allah wajah wanita itu sungguh sangat menawan hati.
Kulitnya putih bersih, kornea matanya berwarna coklat, begitu dalam namun terlihat pilu, lingkaran hitam di kantung matanya terlihat sangat jelas, hidungnya tidak terlalu mancung namun serasi dengan bibirnya yang penuh. Tubuhnya mulai mengurus dan terlihat ringkih. Bibirnya begitu kering, dehidrasi akut menimpanya. Wanita itu hanya diam tak bergerak sedikitpun, hanya matanya yang sesekali berkedip lalu mengalir tetes demi tetes airmata di pipinya.

Seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya, wanita itu segera menyambut kedatangan kami. Tangannya gemetar saat menggenggam tanganku, dingin seperti es. Matanya menatapku penuh cemas. Perlahan dengan setengah berbisik dia mengucapkan salam dan memperkenalkan dirinya pada kami. Ternyata dia adalah ibunda dari wanita muda ini.

/“ini anak saya Maria Ulfa”/ namanya Maria Ulfa, umurnya baru 28 tahun, berbeda sangat jauh denganku kira-kira hampir 12 tahun.

/”mengapa bisa seperti ini”/ Ummi syathira memulai pembicaraan dengan keluarga Ulfa.
Aku tak pernah mengerti mengapa ada cinta yang mampu membuat jiwa menjadi begitu menderita. Begitu hebatkah kekuatan cinta sehingga membuat seseorang merana.

Biasanya aku hanya membaca dan mendengarnya dalam kisah cinta yang tragis dalam Qais dan Laila, Romeo dan Juliet, atau kisah historis tentang bertekuk lututnya seorang si jenius Julius Cesar pada Cleopatra. Namun hari ini tepat di hadapanku, aku menjumpai keadaan yang tak mampu dipikirkan oleh akal sehatku. Tak mampu dianalisis oleh persamaan matematika apapun.

Memang benar jika bicara cinta maka yang ada hanya hati dan perasaan yang berkata, segala macam analisis otak kiri tak mampu memberikan rumusan untuk jawaban penyakit cinta. Cinta mampu menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat. Dan cinta yang dirasakan Ulfa sungguh perasaan yang telah membuat pikirannya tak mampu memikirkan hal yang lain lagi kecuali cintanya pada suamiku Furqan.

Ulfa memendam perasaan kepada suamiku sudah berbulan-bulan. Segala hal tentang suamiku selalu membuatnya ingin tahu. Kegelisahannya semakin parah saat mengetahui bahwa Furqan telah memiliki anak dan istri. Dan lebih menyakitkan lagi baginya karena Furqan tak ingin berpoligami. Betapa malangnya gadis muda ini, ia tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada suamiku. Namun hatinya sungguh tak berdaya melawan perasaan yang semakin dilawan semakin mencoba memberontak sehingga menghancurkan tubuhnya.

Suatu hal yang amat menyakitkan jika cinta kita bertepuk sebelah tangan, namun lebih menyakitkan lagi saat kita tak mampu mengungkapkan perasaan cinta yang kita rasakan kepada orang yang kita cintai (Kahlil Gibran) mungkin itulah yang terjadi pada Ulfa. Hingga dia jatuh tak berdaya dalam penderitaan yang dalam. Sungguh suatu kondisi yang sangat menyiksa bagi orang yang pernah merasakannya.

Analisa dokterpun tak mampu menjawab segala teka teki derita Ulfa. Dia masih sangat muda untuk menderita, entah mengapa rasa iba itu tiba-tiba muncul dari dalam hatiku namun sisi hatiku yang lain bertanya mengapa dia membiarkan hatinya terluka dan tubuhnya menderita karena cinta, mengapa dia tak mencoba untuk tegar, mengapa harus aku yang harus memikirkan semua kondisi ini. Oh, ini sungguh tidak adil bagi hatiku.
Cintaku pada Furqan juga segalanya dalam hidupku, Bergejolak dan semakin dalam setiap harinya. Tak kuasa ku menahan pergolakan batin yang begitu menyiksaku ini.

Aku tak sanggup melawan sisi hatiku yang lain, aku tak mampu pula menafikan hati seorang Ulfa. Aku tak ingin menjadi orang yang tak mampu melakukan apapun, tak mampu memberikan pertolongan apapun, sementara di hadapanku telah berbaring tubuh yang setengah mati memohon pertolonganku. Aku tak mungkin diam saja, Walaupun hatiku sangat sadar, bahwa sebenarnya akulah yang paling menderita saat ini.

Airmataku tak sanggup terbendung lagi. Entah kekuatan darimana tiba-tiba merasukiku, ku beranikan memperkenalkan diri setelah menguatkan hati berulang kali. Ku lihat wajah ummi Syathira yang mulai mengkhawatirkanku. Kembali ku kuatkan hatiku untuk katakan bahwa aku kuat dan mampu menghadapi ini semua.

/”Perkenalkan Bunda, saya Alifa istrinya ustadz Furqan”/ mimik wajah ibu Ulfa mendadak tegang terlihat jelas bahwa dia sangat terkejut dengan ucapanku barusan, semua orang yang ada di ruangan itu juga terkejut dengan pernyataanku, lalu mereka diam menunggu kata-kata apa yang akan aku sampaikan.

/”saya minta maaf tidak sedari tadi memperkenalkan diri bahwa saya istri ustadz Furqan, saya memang sengaja memilih diam, saya ingin lebih mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Saya ingin mengetahui bagaimana keadaan wanita yang menderita karena cintanya kepada suami saya yang telah membuatnya seperti setengah mati”/ ku dekati tubuh Ulfa, ku genggam lembut jari jemarinya.

/”Ulfa, saya datang kemari sama sekali bukan untuk menghakimimu, atau membuat dirimu semakin tersiksa. Saya kemari ingin melihat kamu kembali sehat dan tersenyum seperti sebelum kamu bertemu dengan suami saya dan jatuh cinta padanya. Saya ingin kamu kembali ceria seperti sebelumnya, namun Saya hanya meminta, tolong berikan saya dan anak-anak saya waktu untuk lebih siap menerima keadaan ini”/

Ibunda Ulfa memandangku heran ia terlihat bingung dengan pernyataanku, semua yang ada di dalam ruangan itu termasuk ummi Syathira juga tak kalah bingung dengan kata-kata yang aku ucapkan barusan. Setengah berbisik mereka mendengar aku melafazkan kalimat bismillahirrahmaa nirrahhiiimm.

/”saya akan meminta suami saya untuk menikahimu Ulfa”/berat sekali kalimat itu terucap dari bibirku, lidahku terasa begitu kaku, airmataku tak mampu menetes.

Setelah itu tenggorokanku terasa tercekat tak mampu berkata yang lain. Kutarik nafas dalam dalam menenangkan dan mengontrol diriku. Ku perhatikan jari jemari Ulfa bergerak- gerak perlahan, airmatanya menetes perlahan. Namun dia masih tetap diam tak bicara sepatah katapun.

Ibunda Ulfa bergegas menghampiriku. tiba-tiba ia sujud di kedua kakiku diiringi tangisannya yang tumpah di sela-sela gamis hijau yang kupakai saat ini. Wanita paruh baya itu tak bergeser sedikitpun dari kakiku, memeluk erat kakiku seperti seseorang yang sedang memohon pengampunan.

/”jangan menyakiti hati anda sendiri ustadzah, anak sayalah yang salah telah membiarkan hatinya dipenuhi oleh cinta dan rindu kepada ustadz Furqan, saya dan anak sayalah yang seharusnya tahu diri karena telah menyakiti perasaan anda dan menyakiti diri kami sendiri. Maafkanlah anak saya yang telah lancang menyimpan cinta kepada suami anda, sungguh saya tak berkuasa melakukan apapun agar perasaan cinta Ulfa kepada suami anda hilang, sungguh saya tiada berdaya membantu Ulfa. Tolong maafkanlah kami ustadzah”/ Ibunda Ulfa samasekali tak melepaskan kakiku dari rangkulannya.

Hatiku semakin pilu berada dalam situasi seperti ini, apalagi mendengar permohonan maaf dari mulut wanita paruh baya itu. Airmataku terus berjatuhan tak mampu ku menahan kesedihan yang luar biasa menghantam ketegaranku selama ini. Hatiku sungguh sakit berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berfikir. Hatiku sakit karena aku harus bertaruh dengan hatiku sendiri. Aku tak tahu apakah moment ini menjadi jalan untukku belajar lebih dalam tentang makna keikhlasan.

----------------

Sebaik-baik istri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia menaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan menjaga untukmu harta dan dirinya. (HR. ibnu Jabir)

Perjalanan dari Depok ke rumah terasa begitu lama. Mataku masih terlihat sembab saat kami berpamitan pulang. Oh, betapa aku merindukan wajah Furqan, betapa aku galau ingin bertemu dengannya. Betapa besar pengharapan dan cinta yang kami pupuk selama ini. Namun harus diuji oleh seonggok hati Ulfa yang merana. Ya Allah Engkau yang menumbuhkan cinta antara kami, Engkau pula yang menghadirkan cinta di hati Ulfa. Hamba yakin hanya engkau pula tempat hamba memohon petunjuk untuk semua ketentuanmu ini ya Rabb….

Aku tak bisa mengatakan tidak, walaupun berulang kali aku coba untuk katakan tidak namun tetap saja sisi kemanusiaanku yang lain mengatakan bantulah Ulfa dan bagilah cinta ini dengannya. Kenyamanan percintaan yang aku rasakan selama ini bersama Furqan telah membuat aku tak sanggup memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan menguji cinta kami. Oh begitu berat perjalanan ini kurasa,…

Furqan duduk di sampingku yang menangis tersedu, tangan lembutnya menghapus airmataku yang berjatuhan, perlahan dia mencium keningku dan memelukku erat sekali. Menenangkan hatiku yang sedang gundah gulana, sejenak kemudian dia melepaskan pelukannya lalu menggenggam tanganku erat-erat.

/”Cinta,..katakanlah apa yang sedang mengganggu hatimu hingga tersenyum pun terlihat sulit bagimu sayang”/ Furqan membelai jari jemariku lembut sambil tersenyum menunggu jawabanku.

/”Sayang,…apa kamu sudah tahu tentang keadaan Maria Ulfa?? Aku menatap sedih wajah Furqan dalam keadaan sesenggukan. Kulihat Furqan mengangguk perlahan, ternyata dia telah mengetahui tentang kisah cinta ini.

/”lalu Apakah kau mau menikahinya??”/ Furqan mendadak kaget lalu melepaskan genggaman tangannya dariku. Wajahnya berubah pucat pasi dan tegang. Tapi hanya sejenak ku lihat perubahan di wajahnya, dia kembali tersenyum dan memandangku dalam.

/”Cinta,.. apa kau ingat, apa yang aku katakan di malam pertama kita dulu?? Aku tak akan memiliki yang lain lagi selama aku hidup di dunia ini, cukup hanya dirimu saja yang memenuhi seluruh relung jiwaku. Aku mohon biarkanlah aku hanya menikah sekali dan itu hanya denganmu cintaku”/

Tangisku semakin menjadi mendengarkan jawaban Furqan. Wajah Ulfa yang sedang sekarat kembali terlintas di kepalaku. Bagaimana mungkin aku begitu egois membiarkan seseorang begitu menderita karena aku dan suamiku?? Aku tak ingin menyesal membiarkan Ulfa pergi karena penderitaan bathin yang begitu hebat.

/”Sayang,…ku mohon, nikahilah ia untukku. Aku tak sanggup melihat tubuhnya yang mulai sekarat karena menanggung rindunya yang belum halal untukmu, Nikahilah ia untukku,..aku tak ingin menyiksa seseorang karena keegoisanku. Ku mohon sayangku,…”/
Furqan terlihat berkaca-kaca mendengarkan permohonanku padanya. Tak pernah ku lihat ia begitu muram di depan mataku, tapi kali ini cintaku menjadi galau karena permintaanku yang sebenarnya tak pernah sanggup ia penuhi. Permintaan yang sungguh bertentangan dengan hatinya.

/”cinta,…aku memilihmu karena begitu mulianya hatimu, tapi jujur ini hal yang sangat berat bagiku. Membagi hatiku kepada wanita yang lain, aku sungguh tak ingin menyakitimu…aku tak yakin akan mampu bersikap adil padamu dan padanya. Bukankah jika aku tak mampu adil maka sama halnya aku telah menganiaya dirimu dan dia?? Sungguh lemah hatiku menerima permintaanmu yang begitu berat untuk ku lakukan”/.

/”sayang,…apa kau tak melihat perubahan pada dirinya semenjak mengikuti pengajian denganmu. Dia berubah menjadi gadis muda yang shaleh, baik pula akhlaknya. Aku sangat yakin dia masih sangat membutuhkan bimbingan darimu. Percayalah sayangku, dia wanita yang baik, dia juga akan melayanimu dengan baik pula. Aku yakin kau mampu berbuat adil, karena ilmu agama yang baik telah kau miliki suamiku, waktu kita tidak banyak cinta, ku mohon lakukanlah ini untukku”/ berulang kali ku mantapkan hati Furqan, termasuk menguatkan hatiku sendiri. Ku lihat Furqan diam sejenak, mungkin mencerna maksud dari kata-kataku.

/”Baiklah sayang,..aku akan menikahinya lillahi taa’la”/ sebuah senyuman mengembang di bibir Furqan walaupun aku bisa menangkap sorot mata yang gundah menghantui pikiran Furqan.

Furqan menyudahi pembicaraan antara kami, entah mengapa aku masih tetap menangis ketika berada di belakang Furqan sebagai makmum shalat isya malam ini. Aku tidak yakin akan banyak waktu untuk bisa menghabiskannya bersama Furqan di saat dia hanya menjadi milikku seorang. Sudut hati kecil ku terus bertanya setelah ini apa aku akan ikhlas, seikhlas-ikhlasnya.

---------------

Aku dan Furqan duduk bersisian, di depan kami telah berkumpul anak-anak kami tercinta. Mereka adalah bagian terpenting dalam hidup kami. Mungkin kami harus memilih kata-kata yang tepat untuk membicarakan tentang hal ini pada mereka. Nayla anak pertamaku yang berusia 15 tahun tentu sudah mulai faham tentang arah pembicaraan kami. Nayla gadis yang sangat bijaksana dan ceria.

/”tentu kita bahagia dengan memiliki ummi yang baru, bukankah membuat orang lain bahagia adalah hal yang disukai Allah, apalagi hal itu juga merupakan kebahagiaan buat kita semua anak-anak abi dan ummi”/ aku menatap mata Nayla, aku merasakan sesuatu hal yang berbeda darinya. Nayla mencoba memahami perasaan kami sebagai orangtuanya, dan Nayla mencoba berada di posisi seorang anak sulung yang menjadi panutan buat adik-adiknya. Memberikan ketenangan bukan kegusaran atas keputusan orangtuanya. Betapa beruntungnya aku memilikinya.

--------------

Hari ini Furqan akan menikah, tadi pagi aku menyiapkan baju gamis dan kopiah terbaiknya, diberi haruman bunga Jasmine yang lembut. Furqan terlihat gagah saat mengenakan pakaian itu, ia rapi dan wangi. Kalung mas yang telah kubelikan dua hari yang lalu sebagai mas kawin untuk Ulfa juga tak lupa kupersiapkan bersama beberapa perlengkapan shalat dan pakaian muslimah yang sudah dibungkus rapi.

/“Cinta,..aku sangat mencintaimu”/Furqan memelukku erat, perasaan sedih yang luar biasa tiba-tiba merayapiku. Aku masih memeluk pujaan hatiku. Rasanya sulit sekali untuk ku lepaskan. Namun mendengar keadaan Ulfa yang berangsur-angsur menjadi lebih baik saat mendengar Furqan melamarnya dan akan menikahinya segera, telah memberikanku kekuatan untuk lebih tenang daripada sebelumnya.

/”pergilah,..aku menunggumu di sini, semoga berbahagia”/ berat sekali kata-kata itu terucap dari bibirku. Berat sekali kubendung airmata yang sedari tadi ku tahan. Berat sekali ku ikuti langkah hatiku untuk siap dan tegar, ikhlas menerima keputusan yang telah ku buat sendiri. Bagaimanapun aku tetap seorang wanita yang juga memiliki rasa cemburu ketika suamiku akan menikah lagi walaupun itu atas permintaanku sendiri.

Aku melepaskan kepergian Furqan di depan pintu, Furqan berangkat bersama rombongan yang berjumlah 10 orang untuk ikut menemani acara akad nikah dan merayakan Walimatul ‘Urs. Tak seorangpun dari rombongan itu berkata-kata atau menegurku, semua terlihat muram dan berduka. Aku tahu semenjak mereka mengetahui rencana pernikahan Furqan dan Ulfa atas permintaanku dua hari yang lalu, mereka terlihat sangat perhatian padaku, beberapa kali aku mendapati mereka membicarakan tentangku dan Furqan di pengajian.

Lima jam sudah berlalu, tentu akad nikah dan walimatul ‘urs berjalan sukses. Sementara aku menghabiskan waktuku dengan membaca Quran dan berzikir sambil menunggu pergantian jam shalat. Sementara waktu anak-anak ku titipkan di rumah adikku. Entah mengapa aku hanya ingin sendiri saat ini, mengadu pada sang penitip cinta di hati, sesenggukan mengharapkan diberi ketegaran dan keikhlasan.

Dua hari aku tak melihat mata teduh Furqan, aku sangat merindukannya. Terkadang malam ku habiskan di atas sajadah hingga lutut ku terasa kaku dan bengkak. Terkadang malam rasa cemburuku datang membayangkan Furqan bersama wanita yang lain. Aku sedang memahami dan belajar tentang proses mengikhlaskan hati. Bahwa apa yang aku lakukan bukan karena mengharapkan pujian dari oranglain yang menganggapku tegar, atau mengharapkan penghormatan dari keluarga Ulfa dan Ulfa sendiri karena telah menolong derita jiwanya, namun ini semua kulakukan semata-mata karena inginkan Ridha Yang Maha Kuasa.

-----------

Hari ini Furqan pulang, dia pulang bersama rombongan yang juga ikut pengajian di depok. Aku telah siap menunggunya di depan pintu. Hari ini aku ingin sekali terlihat cantik di depan Furqan. Ku pakai gamis biru muda yang bermotif polkadot putih, di ujung lengan baju dan ujung gamis diberi renda warna senada, dilengkapi pula kerudung biru muda. Aku tak lupa memakai wewangian khusus untuk Furqan. Bibirku disapu lipstik merah muda yang lembut. Aku merasa begitu cantik hari ini bertemu Furqan.

/”apa kabar sayang, aku sangat merindukanmu”/ tubuh Furqan ku peluk erat, masih di depan rombongan pengajian. Furqan juga memelukku erat seolah tak ingin berpisah denganku lagi. /”Aku juga sangat merindukanmu cintaku”/. Aku tahu rombongan pengajian terus menatap pertemuan kami yang sangat mengharukan ini. Ku lihat sebagian mereka mengusap airmata dengan sapu tangan, sebagian yang lain melangkah agak menjauh dari tempat aku dan Furqan berdiri. Namun mata mereka masih tetap menatapi kami tanpa sepatah katapun.

Dalam dekapan Furqan perlahan kulafalkan ayat 10 dari surah Al-hasyr lalu di sambung dengan ayat 159 dari surah ali imran. Ayat-ayat itu begitu ajaib memenuhi relung hatiku. Membuang segala benci dan amarah yang terkadang datang saat cemburu itu datang menggodaku. Mulai hari ini dan selanjutnya aku akan terus belajar ikhlas. Ikhlas dengan keputusan yang telah kubuat sendiri. Ya Rabb,..teruslah bimbing hambaMu ini.

To be continued
Buat wanita yang perkasa,..
Hatiku tak sekuat hatimu,..

Sabtu, 20 Februari 2010

Mereka Bilang Aku Gila



Sejak saat itu dia hanya diam,...
Terkadang menangis sesenggukan
Namun tak pernah terlihat tertawa

Sejak saat itu pula,..
Mereka bilang dia telah Gila,..



Aku duduk berhadapan dengan sebuah keluarga kecil yang harmonis, seorang ibu muda yang cantik, bertubuh tinggi langsing dan bersih, dari wajahnya terus saja mengembang senyuman manis untukku, walaupun sesekali sorot matanya terlihat sedih saat berbicara dengan ibuku, terkadang jari jemarinya mengusap-usap punggungku yang terasa gatal. Di sampingnya ada seorang pria gagah, tubuhnya sangat atletis, parasnya sungguh menawan. aku tak henti-hentinya menatap pria itu karena dia mirip actor kenamaan Bollywood kesukaanku. Pria itu memangku seorang gadis kecil yang lucu, sedari tadi gadis kecil itu terlihat begitu was-was dan tidak nyaman saat melirik ke arahku. Sesekali dia menarik tangan pria gagah itu yang dipanggilnya papa lalu berlari ke teras rumah.

Ibuku bilang bahwa wanita cantik itu adik sepupuku yang datang dari Jakarta. Sementara pria gagah dan gadis kecil yang lucu itu adalah suami dan anaknya, mereka datang untuk bersilaturrahmi dan melihat kondisiku. “Ah,..entahlah, aku bingung akhir-akhir ini banyak orang yang mulai rajin berkunjung ke rumahku, mungkin 7 tahun terakhir ini. Mereka sering menatap iba kepadaku dan ibuku. Tapi aku tak merasakan perubahan apapun kecuali keberadaan suamiku yang entah dimana.

Mereka bilang aku gila, padahal aku merasa baik-baik saja, aku sering mendengar mereka setengah berbisik membicarakan tentang diriku. Mereka bilang aku telah gila dalam tujuh tahun terakhir ini karena terkena kutukan roh jahat. Bagiku tetanggaku dan warga sekampungku masih seperti dulu, senang mengada-ada dan membicarakan orang lain.

Padahal sudah sangat jelas sekali itu perbuatan yang penuh dengan dosa, Namun kebiasaan itu sepertinya sudah mendarah daging di lingkungan kampungku. Terkadang aku terlihat sombong karena sebagai seorang bunga desa aku sudah sangat terbiasa dengan berbagai gosip murahan mereka, selama ini merekalah yang menderita bukan aku. Aku masih baik-baik saja, bahkan sangat baik-baik saja.

Siang tadi ibu menarikku paksa dari sungai di depan rumah kami hanya karena aku tidak memakai basahan saat mandi.
/”apa kau tak malu auratmu terlihat oleh semua orang yang lewat di sini??” kau bukan anak kecil lagi Karmila…// ibu tak hentinya-hentinya mengumpat, sambil menutupi sekujur tubuhku dengan kain sarung.

Aku geram saat melihat gadis-gadis kecil yang mandi tanpa basahan bersamaku. Mereka masih asik bercengkrama bersama dan tak ada satupun dari ibu mereka yang menjemput bahkan menutupi tubuh mereka seperti yang dilakukan oleh ibuku padaku. Aku geram dan hanya bisa mengumpat dan berteriak saat gadis-gadis kecil itu menertawakanku. /”Huh,..lain kali aku akan menghajar kalian karena berani menertawakanku”/ umpatku dalam hati.

Ibu menarikku paksa ke rumah tanpa memperdulikan teriakan kesalku, aku bersungut dalam hati hah hari ini aku gagal lagi berendam dan bermain di sungai. Sungai itu dekat sekali dengan rumah kami, jaraknya hanya beberapa puluh meter saja, sungai itu merupakan sistem perairan sawah di kampung kami, jadi wajar saja banyak orang yang berseliweran melewati sungai untuk menuju ke sawah.

//”Apa kau tidak bisa berendam di sumur saja??ibu masih sanggup mengangkat air untukmu, ibu tidak mau kalau kau harus dipasung lagi oleh kakak-kakakmu”/ ungkap ibuku sedih. Memang hanya ada dua orang yang selalu bersamaku belakangan ini yaitu ibuku yang tak pernah bosan berada di sampingku, walaupun aku merasa bahwa akhir-akhir ini dia semakin sering mengomeliku bahkan terlalu mengawatirkanku. Satu lagi anak laki-laki berusia delapan tahun yang memanggilku ibu, dia anak laki-lakiku yang juga sering mengomeliku saat aku diam-diam mengikutinya menangkap mina padi di sawah. Terkadang aku sedih saat dia mengomeliku, Namun aku tak pernah kapok diomeli oleh anak sekecil itu, karena esoknya aku akan diam-diam mengikutinya lagi.

Mereka menyebutnya pasungan, benda itu begitu menyeramkan. Coba kamu bayangkan kaki dan tanganku diikat pada sebuah kayu besar yang tak mampu diangkat oleh tiga orang dewasa. Benda itu begitu menyiksaku, terutama saat nafsu ingin menggarukku kumat ketika kepalaku terasa amat gatal, atau saat ada nyamuk yang mulai menghisap manisnya darahku padahal aku ingin sekali memukul nyamuk dan lalat yang hinggap di tubuhku. Itu sungguh menyiksa dan menyakitkanku, belum lagi saat benda itu dilepaskan, kaki dan tanganku serasa hilang kendali dan fungsinya. Ini suatu hal yang sangat kejam yang pernah aku alami dari apapun.

Aku takut jika dipasung lagi, aku tidak bisa mandi di sungai atau ikut anak laki-lakiku menangkap ikan di pematang sawah, padahal dua hal itu merupakan hal yang paling menyenangkan dalam keseharianku. Belum lagi jika kakak-kakakku membawaku paksa ke rumah dukun hitam legam dan berbau busuk itu. Dukun gila itu tak henti-hentinya menyemburkan ludahnya yang bau busuk ke muka dan tubuhku. Padahal sebelum menyemburku dia sudah mengunyah beberapa lembar daun sirih lengkap dengan tetek bengeknya, sehingga air liurnya kelihatan merah. Melihatnya saja aku serasa ingin muntah apalagi jika kena semburan ludah yang Maha bau itu.

Jika si dukun hitam legam dan berbau busuk itu beraksi, mulutnya tak berhenti komat kamit, entah apa yang dia bicarakan, samasekali sulit dicerna oleh kosa kata yang ku punya. Kalau sudah seperti itu, aku akan berteriak-teriak minta tolong, karena aku tak sudi disembur dengan ludahnya yang kotor dan berbau busuk itu.

Namun sangat mengherankan setiap kali aku berteriak minta tolong, justru si dukun semakin kalap katanya roh jahat itu sedang bertarung melawannya dengan hebat dan dia sedang membantuku melumpuhkan roh jahat itu dari tubuhku. Ah,..tubuhku langsung lunglai mencium semburan ludah yang beraroma busuk dari si dukun, tapi lagi-lagi menurut si dukun dia telah berhasil mengusir roh jahat itu dari tubuhku.

Hanya ibuku yang selalu menangis dan memohon agar aku dirawat di rumah saja tidak perlu dibawa ke dukun lagi, ibuku memang ibu yang luar biasa dan bisa merasakan apa yang aku rasakan. Sering kali aku melihatnya menangis dalam doa malam setelah sujud panjangnya. Ibu yang selalu bermohon pada saudara-saudaraku bahwa aku cukup dirawat di rumah saja, karena tindakan itu telah memasuki dunia kemusyrikan, bukannya kesembuhan namun ketauhidan dan keimanan kita malah semakin memudar untuk melihat kebesaran Allah begitu ungkap ibuku suatu hari di depan saudara-saudaraku.

Beberapa kali aku mengalami penderitaan bertemu si dukun itu. Akhirnya si dukun menyerah karena tak sanggup menangani roh jahat di tubuhku. Entahlah aku tidak mengerti, bagaimana mungkin ada roh jahat yang masuk ke tubuhku kecuali syaitan yang sering merayu manusia untuk berbuat dosa. Apapun alasan si dukun itu yang pasti hatiku bersorak sorai telah terbebas dari penderitaan yang menyedihkan tiap kali bertemu dengannya.

-------

Hari ini adik sepupuku yang cantik itu datang lagi, tapi kali ini dia datang seorang diri tanpa aktor Bollywood dan gadis kecil itu. Dia berbicara dengan ibuku lama sekali. Aku mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Menurut sepupuku aku tidak gila, namun aku mengalami depresi berat, mungkin karena kesedihan yang telah menumpuk dan lama, tanpa ada tempat mencurahkan kegelisahan, terlahir dengan kekuatan mental yang lemah dan ditambah dengan kurangnya pendekatan agama dan ilmu pengetahuan membuat aku depresi berat dan terlihat seperti orang gila.

Aku justru terlihat seperti anak-anak, karena dengan menjadi seperti anak-anak aku bisa melupakan kesedihan jiwaku, dalam dunia anak-anak mereka mengisi harinya dengan bermain dan canda tawa. Tanpa ada beban yang berat seperti yang aku alami. Begitulah kira-kira analisis dari adik sepupuku tentang diriku. Mungkin itu berdasarkan pengamatannya dan sedikit ilmu tentang kejiwaan yang ia miliki.

Adik sepupuku menatapku iba dan haru atas perjuangan hidupku, dia masih tetap berbicara dengan ibu. Sambil mengusap lembut helai demi helai rambutku Ibu pun mulai bercerita panjang lebar tentang kisahku pada sepupuku yang baik itu. Sepupuku mendengarkannya dengan seksama, sambil sesekali matanya menatap ke luar rumah, seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya juga berkaca-kaca terkadang terjatuh satu dua buliran bening dari kedua mata indahnya. Menurutnya kondisi yang aku alami ini adalah salah satu tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang hebat.

----------

Aku menikah di usia belia, saat itu umurku baru menginjak 16 tahun. Di desaku jarang sekali wanita diijinkan untuk sekolah hingga ke perguruan tinggi. Aku pasrah tak berkutik dengan adat istiadat yang membelenggu kami terutama kaum hawa yang sering menjadi golongan kedua di sub ordinasi dan dianggap tidak pelu memberikan pendapat bahkan untuk kebutuhan dirinya sendiri. Sungguh kondisi yang teramat memilukan.

Aku saat itu sedang mekar-mekarnya sebagai seorang gadis desa yang cantik dan menjadi pujaan kaum adam di desa ku. Kebanyakan orang menyebutnya jaman Siti Nurbaya, karena aku dijodohkan dengan pria pilihan ayahku, pria itu 7 tahun lebih tua dariku dan aku samasekali tidak mengenalinya. Aku sungguh tak mampu menolak permintaan ayahku, karena bagi ayahku itu adalah sebuah pembangkangan dan tindakan yang berdosa. Mungkin saat itu ayah belum membaca hadistnya bahwa seorang anak perempuan yang sudah siap untuk menikah berhak menentukan pilihannya sendiri dan berhak memberikan pendapat untuk menerima atau menolak tanpa harus ada paksaan.

Mungkin disinilah awal kepedihan hatiku, karena aku tak berani menentukan sikap dan pilihan untuk diriku sendiri. Itu merupakan suatu hal yang sangat aku sesali sepanjang umurku. Ditambah pula menikah dengan laki-laki gila yang penuh dengan kecurigaan dan tanpa kelembutan. Setiap hari yang aku lalui bersamanya adalah saat penuh dengan introgasi dan kata-kata kasar yang selalu menuduh dan membuat emosiku memuncak.

/”dari mana saja kau, ke pasar saja lama sekali, jangan-jangan kau bertemu diam-diam dengan mantan kekasihmu itu”/ kata- kata seperti ini sering sekali ku dengar, membuat hatiku geram dan telingaku merah. Rasa lelah dari pasar belum juga hilang karena berkeliling mencoba mencari harga termurah agar menghemat pengeluaran, tapi justru aku disambut dengan tuduhan dan cercaan. Salam yang sering kuucapkan tiap kali masuk rumah dibalas dengan umpatan kasar dan menuduh dari seorang suami yang katanya mencintai istrinya.

Entah untuk kesekian kalinya aku menahan diri untuk tak membalas amarahnya. Kepribadianku yang tertutup semakin memperparah kejiwaanku karena tak seorangpun tempat aku mencurahkan kesedihanku bahkan pada ibuku karena aku takut beban hidupku akan menjadi beban pula bagi ibu. Hanya dalam tangis dan doa yang terkadang aku ucapkan dalam shalatku. Hatiku sangat sakit, telah berusaha mencintainya dan melayaninya dengan baik sebagai seorang istri, namun yang kudapat dari seorang laki-laki ini hanya kecurigaan dan kemarahan, jangankan mengharapkan kata-kata yang lembut, yang ku dengar justru makian dan kata-kata kotor.

Dia mencurigaiku, bahkan menuduhku tidak setia. Setiap gerak langkahku diikutinya. Kemanapun dan dengan siapapun. Adik sepupuku menyebutnya Posesif Kompulsif yakni rasa kepemilikan yang sangat berlebihan dan bahkan mampu membunuh dan menyakiti orang yang dicintainya. Jika melihat aku menangis, dia segera memelukku mengatakan bahwa dia mencintaiku, namun ketika dia marah dia selalu mengucapkan kata-kata kesukaannya ”Bahwa jika aku tak mendapatkanmu seutuhnya, maka orang lain pun tidak, lebih baik kau hancur sekalian”, aku tak begitu faham apa maksud ucapannya itu, tapi tiap kali aku mendengar kata-kata itu, hatiku diliputi ketakutan yang luar biasa.

Begitupun saat anak pertama kami lahir, tak memberi perubahan apapun. Dia justru semakin parah, menuduh aku telah selingkuh karena kurang memperhatikannya. Seandainya dia mau membuka matanya dan hatinya sejenak untuk melihat dan mengerti betapa repotnya aku mengurusi anak dan rumah tangga seorang diri tanpa bantuan siapapun bahkan bantuannya sekalipun.

/”katakan padaku, laki-laki mana yang menjadi ayah dari anakmu ini???”// kata-katanya menghujam ulu hatiku, aku hampir pingsan dan tanpa air mata. Aku benar-benar sadar bahwa suamiku berpenyakit. Penyakit itu teramat parah dan telah bersarang lama dalam dirinya, dan sekarang perlahan-lahan dia ikut membakar diriku sampai tiada berdaya.

Ketika rumahtanggaku serasa dalam badai, ayahku pun sakit keras dan sekarat, di akhir hayatnya ayah berpesan agar menjaga pernikahanku sampai mati. Sungguh lemah jiwaku dan semakin parah lagi hatiku dalam ketidakberdayaanku. Seharusnya aku bisa berbuat banyak, namun kembali aku hanya menjadi seperti tubuh mati yang diam tak mampu bereaksi walaupun diterjang dari segala penjuru, tetap diam dan menyimpannya dalam hatiku yang ku tahu kapasitasnya sangat terbatas untuk menampung segala kepedihan ini.

--------

Saat itu magrib menjelang malam, aku lupa memasak air untuk termos karena disibukkan dengan anakku yang sedang demam tinggi. Dia pulang dengan muka marah dan kurang menyenangkan di mataku. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana sehingga mukanya begitu kusut dan semakin menyeramkan.

/”buatkan kopi untukku,..katanya ketus, aku hanya memandanginya dan tak berani mengatakan bahwa aku belum memasak air untuk termos. Dia berlalu dariku dan menuju ke dapur, aku mengikutinya dari belakang.

/”aku belum memasak air panas, tunggulah sebentar atau apa kau mau membantuku memasaknya sebentar karena aku sedang mengompresi tubuh si kecil biar panasnya cepat turun. Aku berharap dia mengerti dengan permintaanku, bahkan aku sudah mengatakannya dengan sangat lembut.

Tiba-tiba dia mengambil termos lalu menuangkan semua air termos yang masih agak hangat itu ke kepalaku dan membanting termos itu sehingga terpental beberapa meter dari meja makan. Matanya memerah menatap ke arahku yang telah basah kuyup.

/”Puas kau sekarang,..mereka mengejekku malam ini di pos ronda karena kekasih lamamu berniat membawamu pergi jauh dariku. Apa yang sedang kau rencanakan dengannya”// suamiku mulai kalap. Dia semakin gila dengan semua ejekan orang-orang di kampung ini, cemburu yang membabi butanya padaku telah menghilangkan akal sehatnya dan rasa kepercayaannya yang hampir tak pernah ada untukku semenjak pernikahan kami dulu.

Aku tak mengucapkan sepatah kata apapun, aku berlari dari hadapannya. Hatiku berulang kali tersakiti, namun kali ini puncak segala kesakitanku yang tak mampu kubendung lagi. Aku terus berlari melewati kebun, melewati jalan yang penuh batu dan kerikil tajam, melewati pematang sawah melewati sunga-sungai dangkal. Aku terus berlari membawa jauh hatiku yang telah hancur, hingga aku akhirnya lelah tersungkur di tanah dengan tubuh penuh lumpur dan kaki yang penuh luka terkena duri dan kerikil tajam.

Aku terkulai lemah di depan rumah ibuku, tanpa kata, tanpa isakan, tanpa jeritan hanya air mata yang terus mengalir perlahan di pipiku. Anehnya aku tak merasakan perihnya luka di sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasa hampa. Hampa yang luar biasa.

/”apa yang terjadi dengan dirimu Karmila???Mengapa tubuhmu kotor dan penuh luka begini”// ibu memapahku ke dalam rumah, airmatanya terus mengalir deras melihat kondisiku yang tak karuan. Beliau mengganti bajuku, membersihkan tubuhku dan membasuh luka di sekujur tubuhku.

------

Sejak saat itu Karmila hanya diam, tak pernah mengucapkan sepatah kata apapun. Tiap kali bibi bertanya ada apa dengannya, dia hanya diam dan menangis. Bibi bisa merasakan sakitnya yang teramat dalam yang tak mampu ia ungkapkan. Ibu masih bercerita tentang diriku dengan uraian airmata. Makanya bibi yakin kalau Karmila sebenarnya tidak gila karena roh jahat seperti yang dihembus-hembuskan oleh mantan suaminya itu pada semua penduduk desa.

Laki-laki itu telah pergi dari kehidupan Karmila setelah bibi memintanya secara paksa untuk menceraikan Karmila, keputusan itu bibi ambil karena dia sama sekali tidak menunjukkan sikap yang bertanggung jawab atas kondisi Karmila, bahkan sampai saat ini dia tak pernah mengirimi anaknya uang dan segala kebutuhan untuk sekolahnya.

Laki-laki itu memang telah pergi, namun laki-laki itu meninggalkan luka yang sangat dalam di hatinya sehingga sulit sekali dia bangkit kembali dari kesedihannya itu diakibatkan ketakberdayaan dirinya sendiri untuk bangkit. Saat ini bibi hanya ingin menyenangkan hatinya, membiarkan dia bermain seperti anak-anak, karena hanya saat seperti itu Karmila bisa tersenyum.

Adik sepupuku mengusap tanganku, seperti memberikan sebuah kasihsayang yang tulus dan memberikan semangat untuk aku dan ibu.

/’Kakak ikutlah denganku, kita akan bertemu orang hebat untuk selalu membuat kakak tersenyum bahagia”/ dia tersenyum penuh rayuan padaku saat mengajakku ikut bersamanya ke Jakarta. Aku sempat mendengar percakapan ibu dengannya bahwa orang hebat yang dimaksud sepupuku itu adalah dokter jiwa dan phsyciater therapy untukku.

Ibuku tersenyum bahagia, saat aku mengangguk perlahan bahwa kami akan ke Jakarta. Mendengar kata Jakarta saja sepertinya sungguh menyenangkan, apalagi aku akan dibawa untuk menemui orang hebat yang bisa membuat hidupku kembali ceria dan bahagia.

Tak ada seorangpun ingin berada dalam kedukaan, namun tak jarang orang merasa putus asa melawan nasib buruk yang menimpanya. Kekerasan dalam rumah tangga tak dapat ditolerir dalam bentuk apapun, penindasan fisik dan mental terhadap kaum perempuan telah ditentang habis-habisan di jaman Rasulullah.

Maka beranilah melawannya dan buktikan pada diri kita sendiri bahwa dengan kegigihan dan tak mudah menyerah maka kita mampu menyelesaikannya, dan jangan lupa berdoa bahwa segala sesuatunya Atas kehendak Allah, namun manusia hanya berusaha untuk tetap gigih dan tawakkal. Adik sepupuku memberikan semangat yang sangat menyejukkan hati ibuku. Dia memeluk aku dan ibuku erat sekali memberikan makna bahwa aku dan ibu juga patut bahagia.

---------

Turut prihatin dengan korban kasus KDRT,..Be strong, never give up,..

Rabu, 17 Februari 2010

Suamiku Bukan Untukku


Meski jauh kulangkahkan hati,..
Namun ku telah menyerahkan hatiku padamu
Hingga ku lupa bagaimana fajar datang menyergap
(the last concubine)


Aku tak bisa menyalahkan persepsi orang lain tentang diriku. Tapi bukan berarti pula aku senang diberi label demikian. Jika bisa memilih tentu aku tak ingin memiliki masalalu yang demikian memalukan. Bukan suatu kebanggaan, bukan pula suatu hal yang harus disesali seumur hidupku. Cukuplah hikmah yang kutemukan di balik ini semua.

Tak ada yang perlu aku banggakan dengan pernikahanku. Aku menikah dengan laki-laki yang sudah memiliki istri dan dua orang anak. Banyak yang menyebutku wanita penggoda, wanita yang mengambil suami orang. Sebenarnya hatiku sangat perih mendapatkan julukan itu, tapi aku tak boleh marah itu semua keputusan yang pernah ku ambil dulu di masa laluku.

--------

“Bukankah seorang yang terpelajar harusnya berlaku bijak?? Lihat dirimu apa yang telah kau lakukan pada hidupmu gadis muda??” Ayah meradang meledak-ledak di hadapanku. Aku hanya diam dan diam bersama air mata yang menetes di pipiku. Jika itu bukan ayahku mungkin ingin sekali aku mengajukan kata-kata pembelaan. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya, jangankan mengeluarkan sepatah kata menatap matanya saja aku gentar.

“Bagaimanapun wanita yang dekat dengan laki-laki yang sudah beristri selalu dianggap negatif nak” ibuku turut menimpali pula. Mungkin kau hanya bersikap biasa saja, tapi laki-laki terkadang salah menafsirkan sikap ramah tamah seorang wanita. Ibu minta menjauhlah dari laki-laki itu. Ibu menatapku dengan kabut di matanya. Hatiku semakin renyuh.

Semenjak menyelesaikan pendidikanku di sekolah kejuruan tata boga, aku memutuskan pulang ke rumah orangtuaku. Pulang ke kampung halamanku di sebuah kota kecil di ujung pulau Sumatra. Berbekal ilmu tentang tata boga aku diterima bekerja di sebuah hotel keluarga tapi itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Namun penyakit bosanku kumat dengan banyaknya aturan, atau mungkin aku bukan type senguin suka dengan keteraturan. Akhirnya aku memilih mendirikan rumah makan kecil-kecilan sebagai pekerjaan tetapku.

Rumah makan kecilku itulah tempatku bertemu banyak orang yang menjadi langgananku.
Sebagai seorang pemilik rumah makan, rasanya wajar saja jika aku bersikap ramah dan memberikan pelayanan yang prima untuk pencinta makananku. Walaupun ku akui dalam bisnis makanan yang utama adalah cita rasa selanjutnya harga baru kemudian pelayanan. Aku memang melayani pelangganku dengan baik tanpa terselip niat ingin menggoda ataupun ingin digoda, perlakuanku sama tidak pernah berbeda laki-laki ataupun perempuan, tua atau muda semua bagiku sama.

“hai,..udah lama buka rumah makan di sini??kayaknya bakal banyak saingan neh? Laki-laki itu melirikku dengan ekor matanya, terselip sebuah senyuman di bibirnya. Sekilas kulihat lesung pipi menghiasi pipi kirinya sangat nyata ketika dia tersenyum, mungkin juga dia tahu bahwa itu salah satu sex appeal yang dimilikinya. Aku hanya mengernyitkan kedua alisku sembari mengulum senyum.

Namanya Hadi, tetanggaku masih satu RT di komplek perumahan kami. Akhir-akhir ini dia sering bahkan hampir setiap hari mengunjungi rumah makanku, terkadang hanya untuk bertegur sapa dan sesekali makan. Terkadang terselip juga tanya dengan sikapnya yang terang-terangan menunjukkan perhatian. Saking seringnya dia mengunjungiku sempat membuat aku sedikit risih dengan statusnya sebagai seorang suami dan ayah dari dua orang anak.

Terkadang dia datang padaku dengan muka kusut, lalu duduk dan memesan minuman.
Sesekali kutangkap matanya yang mencuri-curi sebuah lirikan ke arahku. Sebagai wanita aku merasa bahwa kondisi ini tidak wajar. Tapi tetap saja kuacuhkan sikapnya dan kembali bersikap sewajarnya.

------

“heh,..jangan kau pikir karena kau berpendidikan tinggi di desa kita ini, lalu bisa seenaknya saja merayu suamiku supaya sering mengunjungimu, apa kau tak tahu mencari laki-laki lain yang masih bujangan atau memang kamu doyannya ama yang udah jadi milik orang” wanita itu mengeluarkan sumpah serapah, caci makiannya kepadaku tepat di saat rumah makanku penuh pengunjung. Pada awalnya aku hanya diam memperhatikan tiap kata yang diucapkan wanita yang mengaku istrinya Hadi. Dia bukan hanya sudah menghinaku tapi sudah menganggu pekerjaanku.

“Apapun masalah anda dengan suami, jangan bawa-bawa kemari, apalagi sampai menuduh saya menggoda suami anda. Silahkan pergi, saya bisa saja mengusir anda dengan paksa jika anda masih tetap bersikeras dengan pendapat anda”. Kata-kataku sangat datar namun tegas, aku tak ingin nama baik rumah makanku menjadi kacau karena ulah wanita yang sedang bermasalah dengan suaminya ini.

Itu kali pertama wanita itu memuntahkan seluruh kosa kata yang kurang baik untukku.
Tak sampai dua hari wanita itu datang lagi dan melakukan hal yang sama. Tapi di sisi yang lain pula Hadi tetap rajin mengunjungi rumah makanku ataupun juga maksudnya mengunjungi aku walaupun kobaran api amarah istrinya masih meluap-meluap terdengar di ujung jalan sana.

Aku tak pernah sekalipun menjawab makian istrinya Hadi. Aku pikir tak ada gunanya bicara dengan orang yang sedang penuh amarah hingga dia bisa mengendalikan amarahnya kembali. Sekalipun aku akan berkoar-koar mengatakan bahwa tak ada apapun terjadi antara aku dan Hadi, tetap saja sang istri sudah terlanjur membuat persepsi tentang diriku “wanita penggoda”.

Aku memang marah dengan penghinaan ini tapi aku tak pernah menangis, aku tak pernah merasa dalam posisi yang disalahkan. Hingga hari itu tiba juga, seperti sebuah skenario besar yang telah merubah sudut kehidupanku menjadi 180 derajat berbalik arah. Aku tak pernah meminta tapi aku sulit mengontrolnya, akhirnya semua terjadi juga.

---------

Dia datang dengan segenap galau memenuhi hatinya. Biasanya hadi datang dengan segudang canda walaupun aku hampir tak pernah menggubrisnya. Namun kali ini dia datang dengan gundah yang membuncah-buncah dari dadanya. Sejenak ku tatap mata hampanya, mungkin laki-laki ini terlalu penat dengan warna warni dalam hidup.

“apa yang tidak aku lakukan untuk dia dan anakku, bahkan kepala nyaris kugantikan posisinya dengan kaki. Tapi tak sedikitpun dia berterimakasih, selalu dan selalu hanya kekuranganku yang ada di pikirannya. Harga diriku sebagai laki-laki sering kali tak berharga di matanya. Jangankan tersenyum mendapati suaminya pulang, malah disambut makian dan segala macam kecurigaan”. Kata demi kata yang keluar dari bibir Hadi begitu membuat aku miris.

“Jangan berkata apapun Annisa, aku hanya perlu bercerita melepaskan sejenak beban hatiku walaupun setelah ini aku akan menyandangnya lagi. Cukup dengarkan saja, itu lebih baik bagiku. Bukan berarti aku tak butuh saran darimu, terlalu banyak saran sudah memenuhi kepalaku, bahkan aku semakin takut menghadapi sikapnya yang sangat dominan terhadap diriku”.

Aku hanya diam mendengar permintaan Hadi, entah apa pula maksudnya menceritakan hal ini padaku setelah apa yang telah dilakukan istrinya padaku. Mengherankan bukannya berusaha menjauhiku, bahkan dia semakin mendekat padaku, semakin sering mengunjungiku.

“Maafkan sikap istriku padamu, aku malu atas sikapnya yang berlebihan itu. Yang ku harap dia berbenah diri atas sikapnya padaku, namun sebaliknya dia merasa yang paling benar di atas semua ini. Aku rasa semua orang akan menganggap sebuah kesalahan saat seorang pria beristri dekat dengan seorang perawan. Tapi aku juga yakin semua orang juga akan menganggap salah jika seorang istri tak pernah menghormati suaminya. Hadi menutup matanya sejenak, mungkin sedang meresapi makna sakit yang dipendamnya selama ini.

“entah apa pula yang ada di pikiranmu saat ini, saat kubagi elegi yang usang ini.

Jujur semakin dia sering memakimu, semakin dia sering melabrakmu, aku semakin menghormatimu atas kebesaran jiwamu. Maafkan aku telah banyak menyusahkanmu selama ini”. Sekarang hadi menatapku, matanya seakan bicara padaku mengirimkan pesan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Aku hanya diam saat Hadi berlalu dari hadapanku. Suami istri ini telah banyak menyita waktu-waktu potensialku untuk bekerja. Bahkan aku menyempatkan waktu khusus untuk bisa berbicara dari hati ke hati pada istrinya, sulit sekali bekerjasama dengan wanita satu ini akhirnya usahaku tanpa hasil apa-apa. Kali ini Hadi kembali mengusik waktuku, namun entah mengapa ku akui ada secercah kesedihan ikut menyelinap di hatiku saat ceritanya bergulir begitu saja.

----------

Tak terasa sudah setahun berlalu suami istri ini terus mewarnai hari-hariku.
Telingaku mulai kebal dengan segala bentuk kecaman dari istri Hadi. Di sisi yang lain pula telingaku mulai peka dengan semua keluh kesah Hadi saat melepaskan kesedihan yang terpendam untuk dibagi di sudut hatiku pula. Tak jarang aku menerima warning dari keluargaku untuk menjauhi Hadi tapi entah mengapa pula hatiku berani mengacuhkan peringatan dari keluargaku sendiri.

Yuni istri Hadi datang lagi, kali ini dengan nada yang sangat keras dan terdengar aneh. Jantungku sempat bekerja dengan sangat berat saat kata-kata wanita itu menghujam jantungku.

“Dengar wanita penggoda, aku ingin mempertaruhkan tanganku kali ini untukmu. Kau tak akan pernah mendapatkan suamiku, karena dia tak akan pernah meninggalkanku. Tapi jika suamiku meninggalkanku untukmu, aku bertaruh jari kelingkingku akan hilang”.

Aku menatap heran padanya, bukankah kata-kata ini sangat aneh kedengarannya. Apa gerangan dia harus mempertaruhkan jarinya untuk sesuatu hal yang tak ia inginkan. Jika aku mengangguk mengatakan ya, itu sama saja aku telah melakukan kesepakatan dalam perjudian untuk mendapatkan laki-laki yang bernama Hadi. Aku hanya menangkap sesuatu yang buruk mungkin saja baru terjadi dalam rumah tangga mereka.

Kuusap dadaku yang terasa sakit, entah mengapa kali ini aku terpancing untuk marah.
Entah mengapa pula aku begitu kesal dengan ucapan Yuni. Dia bukan hanya menghinaku dengan sebutan yang dilekatkan di dadaku, tapi juga telah sangat meremehkan aku sebagai wanita yang tak pernah berniat apapun pada suaminya.

Ucapan Yuni begitu membuat kesabaranku diuji dalam taraf tingkat tinggi. Mengapa dia membebankan semua masalahnya di pundakku. Bukankah rumah tangga mereka tak pernah harmonis bahkan sebelum Hadi sering mengunjungiku. Tapi seolah-olah akulah yang harus bertanggung jawab atas semua ini, oh ini sungguh terlalu. Wanita itu telah menorehkan luka yang perih di hatiku.

------------

Aku bertanya pada Tuhan, apakah yang sedang bergejolak dalam hatiku?? Apakah Tuhan sedang merencanakan sesuatu dalam hidupku. Setiap kali aku menolak dengan rasa itu, setiap kali itu pula aku semakin merasakan sesuatu yang tidak biasanya. Berulang kali aku hilang kendali atas perasaan yang hadir dari hari ke hari, mungkin telah di pupuk dengan sangat telaten dengan penuh kesabaran.

Akhirnya aku merasakan getar-getar itu juga, getaran yang terkadang membuat mata tak mampu terpejam, getaran yang membuat semangat berkobar menjadi kendor atau pun sebaliknya. Getaran yang tak mampu dilukiskan oleh kata-kata. Ternyata aku mulai menyukai Hadi karena sering bersama. Aku sempat merasakan bahagia itu, tapi logikaku berontak apa kata keluargaku, apa yang akan dilakukan oleh keluarga Yuni padaku. Aku yakin mereka semua tak akan tinggal diam.

Hadi menghampiriku lagi sore ini. Dengan wajah yang sangat ceria dari biasanya. Aku tak ingin menebak, aku juga tak mau mengungkapkan semua rasa yang baru hadir di hatiku.

“Aku telah menceraikannya, ucap Hadi sungguh-sungguh.

“Yuni yang memaksaku lanjutnya lagi, dia menantangku untuk menikahimu. menurutnya aku tak akan mungkin menikahimu, menurutnya kau tak pernah menyukaiku. Ku pikir dia tak pantas lagi terus-terusan menghinaku sebagai suaminya”. Hadi bercerita dalam amarah.

“Hari ini aku telah bebas dari wanita itu, walaupun kau tak menyukaiku tak mengapa, aku tak perlu membuktikan apapun padanya. Aku hanya merasa lega atas keputusan ini.
Setelah kata-kata Hadi yang terakhir selesai, entah mengapa aku semakin takut akan hal ini. Takut jika perasaanku akan semakin berkembang setelah Hadi menjadi duda.

Aku membeku, ku telan ludah yang menggantung di mulutku, aku tercekat antara merasakan bahagia jatuh cinta dan akibat yang akan datang selanjutnya dalam hidupku jika ku tak mampu menahan perasaanku.

-------

Seminggu sudah perceraian Hadi dan Yuni, Hadi jarang terlihat lagi mungkin dia sibuk mengurusi surat perceraiannya. Selama seminggu itu pula setiap hari aku mendengar orang-orang di desa menggunjingkan aku. Terkadang mereka tertawa, terkadang pula menghujatku karena sebagian besar menganggap bahwa perceraian hadi dan Yuni murni tanggungjawabku.

Tak ada apapun yang bisa aku ucapkan. Bahkan pada keluargaku, mereka sudah terlanjur menjudge bahwa akulah yang bersalah, bukan karena akumulasi masalah rumah tangga hadi dan Yuni yang sudah terpendam tanpa solusi selama bertahun-tahun. Aku menarik nafas dalam-dalam mencari kejernihan pikiran dan hatiku dalam kebisingan di sekitarku.

“aku akan melamarmu” hadi berbisik di hadapanku sesaat setelah dia memesan makanannya. Tubuhku kaku, tanganku mendingin membeku. Bagaimana dia begitu yakin aku menyukainya. Aku tak berani menatapnya sedikitpun. Entah perasaan apa yang menjelma di hatiku saat ini, ku akui aku bahagia tapi di sisi lain bagiku ini terlalu cepat, berarti semakin cepat pula gunjingan setiap orang itu terbukti bahwa akulah penyebab semua ini.

“Hadi, aku pikir kita harus bicara. Aku mendatangi mejanya, tapi Hadi tetap terlihat tenang.

“duduklah di depanku, biar aku bisa melihat ekpresi wajahmu” hadi kembali tersenyum membuat semua kata-kataku menjadi buntu.

“kenapa kau harus bersembunyi selama ini, kenapa kau pura-pura tak acuh padaku. Hadi masih tetap menatapku, aku yakin wajahku putih membeku seketika.

“kau tak bisa berbohong lagi, kau juga mencintaiku kan.

Laki-laki ini sepertinya begitu faham bagaimana menaklukkan hati wanita, tapi mengapa tidak pada Yuni istrinya. Oh Tuhan,..perasaan ini mengapa kau titipkan pada hamba?? Aku bertanya dalam hati diantara beratnya menjawab pertanyaan Hadi. Aku tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala bahwa aku memang telah jatuh cinta padanya.

------

Semua hening, tak ada yang berbicara. Bahkan aku tak mampu melangkahkan kakiku keluar kamar untuk menemui Hadi yang tiba-tiba berkunjung ke rumahku untuk menemui Ayah dan Ibuku. Seketika aku ingin sekali waktu dipercepat saja, atau berhenti sejenak karena aku takut melalui fase yang satu ini.

“Saya kemari untuk melamar Annisa, saya mohon ijinkan saya menikahinya”

Kata-kata Hadi tanpa basa basi seperti kebanyakan oranglain, dia masih menunggu jawaban dari ayah dan ibuku. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah ayah dan ibu mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Hadi. Ku harap mereka tidak murka.

“nak Hadi, kami tidak mengerti maksud nak Hadi. Bukankah nak Hadi baru saja bercerai sekarang hendak melamar anak kami pula. Bukannya kami tidak mau menerima lamaran ini, tapi alangkah baiknya difikirkan dengan seksama tanpa memperturutkan hawa nafsu. Ayah diam sejenak lalu melanjutkan kata-katanya.

“kami sudah memperingatkan annisa agar tidak berhubungan denganmu, ternyata dia bukan anak manis yang penurut lagi. Sekarang akibatnya seperti ini, walaupun kami menyadari perselisihan antara nak Hadi dan Yuni sudah berlangsung lama, tapi kehadiran annisa menjadi gong perceraian kalian. Ibu mendehem beberapa kali saat ayah mengakhiri kalimatnya.

“Saya berjanji akan membahagiakannya Pak, bu…saya tak akan menyia-nyiakan putri bapak dan ibu. Hadi memang termasuk orang yang persisten, dia akan berusaha untuk mendapatkan restu dari kelurgaku bagaimanapun caranya, sesulit apapun langkah itu.

Ayah dan ibu diam, aku tahu mereka tak punya pilihan selain memintaku yang memutuskan. Aku masih diam di dudukkan dihadapan semua keluarga. Kakak-kakak iparku dan dua orang abangku sudah duduk pula menunggu jawaban yang akan ku berikan.

Aku mengangguk minta ijin untuk dinikahkan. Aku yakin berpasang-pasang mata sedang memelototiku. Ayah dan ibu tercinta maafkan aku desahku dalam diam. Sungguh ini diluar kemampuanku untuk mengontrol perasaanku yang telah lama kutahan, ah,..apa peduli mereka jika ku berbicara atas nama cinta.

Malam ini kalian akan kami nikahkan, besok segera urus surat-surat pernikahan. Setelah itu pergilah jauh dari desa ini. Karena pernikahan kalian akan menjadi masalah besar untuk beberapa keluarga di desa kita ini. Kamu tahu kan Nisa,..keluarga Yuni sangat arogan dalam hal ini, mereka tak akan tinggal diam melihat kalian menikah.

Aku dan Hadi kaget dengan pernyataan dari abang pertamaku. Aku merasa seperti dikucilkan, tapi aku tahu makna tersirat di balik kata-kata tegas seorang abang, bahwa sebenarnya mereka ingin aku bahagia tapi mereka juga khawatir dengan akibat yang terjadi dengan pernikahanku.

Malam itu kami menikah disaksikan keluarga inti dan seorang penghulu yang didatangkan dengan diam-diam agar tidak menjadi berita di desa. Aku melihat ibu yang tak henti-hentinya menangis, aku menatap ayah yang sedari tadi diam. Sungguh ini bukan pernikahan yang aku harapkan, aku ingin menikah dengan dihadiri sahabat, didoakan banyak orang dan menjadi kebahagiaan keluarga. Namun apa yang mau dikata
semua telah terjadi.

-----

Kami pergi keluar kota tepat empat hari setelah pernikahan. Ternyata berita pernikahan kami cepat tersebar di desa. Aku hanya mendengar sayup-sayup cerita bahwa keluargaku diteror oleh keluarga Yuni. Mereka bahkan mengecam akan menyengsarakanku karena telah berani membuat Hadi menceraikan Yuni. Hatiku miris, airmataku tiada henti selama di perjalanan. Hadi terus saja memelukku, menguatkan aku atas keputusan yang kami ambil.

“percayalah sayang, aku akan selalu menjagamu. Hadi berbisik di telingaku, menumbuhkan damai sejenak di hatiku.

Dua tahun hidup di kota yang berbeda membuat aku sering merindukan keluargaku. Entah
bagaimana kabar ayahku yang sudah mulai sakit-sakitan, atau ibu yang sering menangis mengingat putri satu-satunya berulah hingga harus jauh darinya. Betapa rindunya aku pada mereka, ingin sekali aku memperkenalkan gadis kecil kami pada kedua kakek dan neneknya. Oh,..betapa rindu ini semakin membumbung tinggi.

“sayang…mungkin sudah saatnya kita pulang, aku ingin melihat ayah dan ibu, tak
sekalipun selama dua tahun ini kita bertemu mereka.

“Bersabarlah,..kalau kondisi di desa sudah kondusif, pasti kita akan pulang sayang”

Aku menarik nafas panjang menyadari kemungkinan itu kecil terjadi, hampir setiap minggu aku bertanya apakah kondisinya sudah kondusif untuk kami pulang. Hingga akhirnya di suatu sore dengan lagit berwarna jingga, berita dari abangku sangat menyejukkan hatiku bahwa kami sudah boleh melangkahkan kaki kembali di desa.

------

Ayah dan ibu dalam pelukanku, tak kuasa ku menahan air mata yang terus saja mengalir dengan tenang, sungai-sungai kecil itu memenuhi pipiku. Betapa rindunya aku pada mereka. Betapa indahnya pertemuan yang syahdu ini.

“Ayah ibu aku tak akan pergi lagi, aku tak akan menyakiti hati kalian lagi karena ulahku”…dalam tangisan terisak-isak aku mengucapkannya.

Keluarga Yuni memang tak bergeming, bahkan mereka nyaris diam seolah-olah tak terjadi apapun dengan kedatangan kami. Aku dan Hadi kembali membuka usaha rumah makan yang sempat aku tinggalkan begitu saja dulu. Ternyata di balik sikap yang tak reaktif itu tersembunyi maksud yang lain. Aku masih ingat kata-kata itu bahwa mereka akan membuat hidupku sengsara. Aku pikir itu hanya ucapan ketika marah, namun memang itu terjadi.

Entah dari mana mulanya aku menangkap sikap yang aneh dari Hadi. Sudah tahun ke empat pernikahan kami, dia masih bersikap setia dan manis padaku. Di tahun kelima ketika putri kedua kami lahir, hadi mulai menunjukkan gejala yang tidak biasanya. Dia sering menghilang tiba-tiba, bahkan jarang membantuku di rumah makan lagi.

“ingat, kami tak akan pernah diam. Kami hanya menunggu waktu yang tepat” laki-laki itu berlalu dariku, aku akhirnya menyadari bahwa laki-laki itu pamannya Yuni mantan istri Hadi. Oh Tuhan, apa yang mereka rencanakan untuk hidupku, aku yakin jika Allah belum berkehendak semua juga tak akan terjadi seperti yang mereka inginkan.

“Nisa,…apa kau tak lihat kemaren Hadi bertemu Yuni di terminal bis, aku yakin semua orang bisa melihat mereka, rasanya janggal bertemu di terminal yang justru semua orang bisa melihatnya”. Sepupuku berbisik prihal kedekatan Hadi dengan Yuni di luar sepengetahuanku.

Hatiku bisu, apalagi bibirku tak berucap apapun. Mengapa Hadi berubah di saat aku sangat membutuhkannya. Anak-anak yang butuh seorang figur ayah yang shaleh. Mengapa hadi harus menyakitiku lagi demikian dalamnya.

Aku mulai merasakan gelagat itu. Hadi bahkan berani berkata hal yang bisa membuat emosiku memuncak. Entah apa yang terjadi padanya. Apakah begitu mudah laki-laki jatuh cinta semudah dia menghempaskannya pula hingga hancur berkeping-keping.

Apakah ini yang dirasakan Yuni dulu, begitu sakitkah dikhianati. Orang-orang di desa mengatakan bahwa Hadi kena santetnya keluarga Yuni. Tapi aku tidak percaya tentang hal itu, menurutku Hadi memang masih mencintainya. Hadi menunggu hingga Yuni berubah menjadi lebih baik. Lalu aku,..dianggap apakah aku ini oleh Hadi dan Yuni.

Kuhembuskan perlahan napasku yang terasa berat. Detak jantungku terasa terdengar jelas di tengah malam yang gulita. Aku masih menunggu Hadi pulang, tak sedikitpun rasa kantuk merayapiku. Ini semua harus selesai, apapun yang terjadi aku sudah siap.

“kalau kau masih mencintainya mengapa tidak jujur saja padaku, katakan saja jangan bertemu dia di belakangku, aku malu pada semua orang yang mengetahui tingkah polah kau dan Yuni. Aku cukup sabar jika kau menceraikanku dengan baik-baik tapi tidak menyelingkuhiku apalagi wanita itu Yuni, mantan istrimu”.
Hadi menatapku. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Dia menggaruk kepalanya yang kurasa sama sekali tidak gatal. Dia berjalan maju mundur di depanku, sehingga membuatku geram.

“ada apa denganmu, aku tak percaya telah menikah dengan laki-laki sepertimu, aku minta kau kembali berubah, atau ceraikan saja aku. Kedua-duanya akan baik untuk kita dan anak-anak.

Gigiku bergemeretak menahan amarah, tidak pernah aku begitu menyesali dengan hidupku kecuali saat ini. Menyesal karena aku tak berfikir panjang dulu, menyesal karena belum dewasa mengambil sikap. Menyesal juga akhirnya tak memberi solusi apapun.

----

….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkah mereka hingga mereka bersalin. Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu maka berikanlah kepada mereka biayanya, dan musyawarahkanlah diantara kamu segala sesuatu dengan baik…..(Ath-thalaaq : 06).

Ku tatap dua pasang mata dua gadis kecilku, mereka tanpa ayah sekarang. Hanya aku ibunya seorang yang akan mencintai mereka seumur hidup. Melangkah seorang diri sungguh terasa berat, apalagi membawa beban yang terasa berat di pundak.

Tak genap sebulan perceraian kami, Hadi kembali rujuk dengan Yuni. Semenjak itu hadi seperti tak mengenaliku lagi, bahkan dia mangkir dari kewajibannya untuk membiayai sekolah dan kebutuhan anak-anaknya. Biarlah, mungkin dia telah melupakan bahwa ada memory tentang aku dalam pikiran dan hatinya. Aku tak ingin berurusan lagi dengan suami istri yang sempat mengacaukan hidupku ini.

Ternyata, sesuatu yang sangat sulit untuk kita gapai bahkan tak mungkin semakin membuat kita tergila-gila untuk meraihnya. Tak akan pernah setara saat kita telah mendapatkannya. Sama halnya yang terjadi antar aku dan Hadi. Begitu menggebu-gebunya dia dulu meyakinkanku, namun ketika semua telah didapat dariku, lalu dia pergi meninggalkan luka yang menganga di hatiku.

Aku belajar banyak hal tentang hal ini, aku belajar menjadi dewasa, aku belajar menjadi tangguh dan aku belajar menjadi orang yang bertanggung jawab atas keputusan yang ku buat, bukan menjadi korban atas keputusan yang telah kubuat.

To. My lovely aunty
Cinta tak hanya dia,
Beranilah meraih bahagia,..

Jakarta 18 February 2010
Aida.m.affandi