Laman

Sabtu, 20 Februari 2010

Mereka Bilang Aku Gila



Sejak saat itu dia hanya diam,...
Terkadang menangis sesenggukan
Namun tak pernah terlihat tertawa

Sejak saat itu pula,..
Mereka bilang dia telah Gila,..



Aku duduk berhadapan dengan sebuah keluarga kecil yang harmonis, seorang ibu muda yang cantik, bertubuh tinggi langsing dan bersih, dari wajahnya terus saja mengembang senyuman manis untukku, walaupun sesekali sorot matanya terlihat sedih saat berbicara dengan ibuku, terkadang jari jemarinya mengusap-usap punggungku yang terasa gatal. Di sampingnya ada seorang pria gagah, tubuhnya sangat atletis, parasnya sungguh menawan. aku tak henti-hentinya menatap pria itu karena dia mirip actor kenamaan Bollywood kesukaanku. Pria itu memangku seorang gadis kecil yang lucu, sedari tadi gadis kecil itu terlihat begitu was-was dan tidak nyaman saat melirik ke arahku. Sesekali dia menarik tangan pria gagah itu yang dipanggilnya papa lalu berlari ke teras rumah.

Ibuku bilang bahwa wanita cantik itu adik sepupuku yang datang dari Jakarta. Sementara pria gagah dan gadis kecil yang lucu itu adalah suami dan anaknya, mereka datang untuk bersilaturrahmi dan melihat kondisiku. “Ah,..entahlah, aku bingung akhir-akhir ini banyak orang yang mulai rajin berkunjung ke rumahku, mungkin 7 tahun terakhir ini. Mereka sering menatap iba kepadaku dan ibuku. Tapi aku tak merasakan perubahan apapun kecuali keberadaan suamiku yang entah dimana.

Mereka bilang aku gila, padahal aku merasa baik-baik saja, aku sering mendengar mereka setengah berbisik membicarakan tentang diriku. Mereka bilang aku telah gila dalam tujuh tahun terakhir ini karena terkena kutukan roh jahat. Bagiku tetanggaku dan warga sekampungku masih seperti dulu, senang mengada-ada dan membicarakan orang lain.

Padahal sudah sangat jelas sekali itu perbuatan yang penuh dengan dosa, Namun kebiasaan itu sepertinya sudah mendarah daging di lingkungan kampungku. Terkadang aku terlihat sombong karena sebagai seorang bunga desa aku sudah sangat terbiasa dengan berbagai gosip murahan mereka, selama ini merekalah yang menderita bukan aku. Aku masih baik-baik saja, bahkan sangat baik-baik saja.

Siang tadi ibu menarikku paksa dari sungai di depan rumah kami hanya karena aku tidak memakai basahan saat mandi.
/”apa kau tak malu auratmu terlihat oleh semua orang yang lewat di sini??” kau bukan anak kecil lagi Karmila…// ibu tak hentinya-hentinya mengumpat, sambil menutupi sekujur tubuhku dengan kain sarung.

Aku geram saat melihat gadis-gadis kecil yang mandi tanpa basahan bersamaku. Mereka masih asik bercengkrama bersama dan tak ada satupun dari ibu mereka yang menjemput bahkan menutupi tubuh mereka seperti yang dilakukan oleh ibuku padaku. Aku geram dan hanya bisa mengumpat dan berteriak saat gadis-gadis kecil itu menertawakanku. /”Huh,..lain kali aku akan menghajar kalian karena berani menertawakanku”/ umpatku dalam hati.

Ibu menarikku paksa ke rumah tanpa memperdulikan teriakan kesalku, aku bersungut dalam hati hah hari ini aku gagal lagi berendam dan bermain di sungai. Sungai itu dekat sekali dengan rumah kami, jaraknya hanya beberapa puluh meter saja, sungai itu merupakan sistem perairan sawah di kampung kami, jadi wajar saja banyak orang yang berseliweran melewati sungai untuk menuju ke sawah.

//”Apa kau tidak bisa berendam di sumur saja??ibu masih sanggup mengangkat air untukmu, ibu tidak mau kalau kau harus dipasung lagi oleh kakak-kakakmu”/ ungkap ibuku sedih. Memang hanya ada dua orang yang selalu bersamaku belakangan ini yaitu ibuku yang tak pernah bosan berada di sampingku, walaupun aku merasa bahwa akhir-akhir ini dia semakin sering mengomeliku bahkan terlalu mengawatirkanku. Satu lagi anak laki-laki berusia delapan tahun yang memanggilku ibu, dia anak laki-lakiku yang juga sering mengomeliku saat aku diam-diam mengikutinya menangkap mina padi di sawah. Terkadang aku sedih saat dia mengomeliku, Namun aku tak pernah kapok diomeli oleh anak sekecil itu, karena esoknya aku akan diam-diam mengikutinya lagi.

Mereka menyebutnya pasungan, benda itu begitu menyeramkan. Coba kamu bayangkan kaki dan tanganku diikat pada sebuah kayu besar yang tak mampu diangkat oleh tiga orang dewasa. Benda itu begitu menyiksaku, terutama saat nafsu ingin menggarukku kumat ketika kepalaku terasa amat gatal, atau saat ada nyamuk yang mulai menghisap manisnya darahku padahal aku ingin sekali memukul nyamuk dan lalat yang hinggap di tubuhku. Itu sungguh menyiksa dan menyakitkanku, belum lagi saat benda itu dilepaskan, kaki dan tanganku serasa hilang kendali dan fungsinya. Ini suatu hal yang sangat kejam yang pernah aku alami dari apapun.

Aku takut jika dipasung lagi, aku tidak bisa mandi di sungai atau ikut anak laki-lakiku menangkap ikan di pematang sawah, padahal dua hal itu merupakan hal yang paling menyenangkan dalam keseharianku. Belum lagi jika kakak-kakakku membawaku paksa ke rumah dukun hitam legam dan berbau busuk itu. Dukun gila itu tak henti-hentinya menyemburkan ludahnya yang bau busuk ke muka dan tubuhku. Padahal sebelum menyemburku dia sudah mengunyah beberapa lembar daun sirih lengkap dengan tetek bengeknya, sehingga air liurnya kelihatan merah. Melihatnya saja aku serasa ingin muntah apalagi jika kena semburan ludah yang Maha bau itu.

Jika si dukun hitam legam dan berbau busuk itu beraksi, mulutnya tak berhenti komat kamit, entah apa yang dia bicarakan, samasekali sulit dicerna oleh kosa kata yang ku punya. Kalau sudah seperti itu, aku akan berteriak-teriak minta tolong, karena aku tak sudi disembur dengan ludahnya yang kotor dan berbau busuk itu.

Namun sangat mengherankan setiap kali aku berteriak minta tolong, justru si dukun semakin kalap katanya roh jahat itu sedang bertarung melawannya dengan hebat dan dia sedang membantuku melumpuhkan roh jahat itu dari tubuhku. Ah,..tubuhku langsung lunglai mencium semburan ludah yang beraroma busuk dari si dukun, tapi lagi-lagi menurut si dukun dia telah berhasil mengusir roh jahat itu dari tubuhku.

Hanya ibuku yang selalu menangis dan memohon agar aku dirawat di rumah saja tidak perlu dibawa ke dukun lagi, ibuku memang ibu yang luar biasa dan bisa merasakan apa yang aku rasakan. Sering kali aku melihatnya menangis dalam doa malam setelah sujud panjangnya. Ibu yang selalu bermohon pada saudara-saudaraku bahwa aku cukup dirawat di rumah saja, karena tindakan itu telah memasuki dunia kemusyrikan, bukannya kesembuhan namun ketauhidan dan keimanan kita malah semakin memudar untuk melihat kebesaran Allah begitu ungkap ibuku suatu hari di depan saudara-saudaraku.

Beberapa kali aku mengalami penderitaan bertemu si dukun itu. Akhirnya si dukun menyerah karena tak sanggup menangani roh jahat di tubuhku. Entahlah aku tidak mengerti, bagaimana mungkin ada roh jahat yang masuk ke tubuhku kecuali syaitan yang sering merayu manusia untuk berbuat dosa. Apapun alasan si dukun itu yang pasti hatiku bersorak sorai telah terbebas dari penderitaan yang menyedihkan tiap kali bertemu dengannya.

-------

Hari ini adik sepupuku yang cantik itu datang lagi, tapi kali ini dia datang seorang diri tanpa aktor Bollywood dan gadis kecil itu. Dia berbicara dengan ibuku lama sekali. Aku mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Menurut sepupuku aku tidak gila, namun aku mengalami depresi berat, mungkin karena kesedihan yang telah menumpuk dan lama, tanpa ada tempat mencurahkan kegelisahan, terlahir dengan kekuatan mental yang lemah dan ditambah dengan kurangnya pendekatan agama dan ilmu pengetahuan membuat aku depresi berat dan terlihat seperti orang gila.

Aku justru terlihat seperti anak-anak, karena dengan menjadi seperti anak-anak aku bisa melupakan kesedihan jiwaku, dalam dunia anak-anak mereka mengisi harinya dengan bermain dan canda tawa. Tanpa ada beban yang berat seperti yang aku alami. Begitulah kira-kira analisis dari adik sepupuku tentang diriku. Mungkin itu berdasarkan pengamatannya dan sedikit ilmu tentang kejiwaan yang ia miliki.

Adik sepupuku menatapku iba dan haru atas perjuangan hidupku, dia masih tetap berbicara dengan ibu. Sambil mengusap lembut helai demi helai rambutku Ibu pun mulai bercerita panjang lebar tentang kisahku pada sepupuku yang baik itu. Sepupuku mendengarkannya dengan seksama, sambil sesekali matanya menatap ke luar rumah, seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya juga berkaca-kaca terkadang terjatuh satu dua buliran bening dari kedua mata indahnya. Menurutnya kondisi yang aku alami ini adalah salah satu tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang hebat.

----------

Aku menikah di usia belia, saat itu umurku baru menginjak 16 tahun. Di desaku jarang sekali wanita diijinkan untuk sekolah hingga ke perguruan tinggi. Aku pasrah tak berkutik dengan adat istiadat yang membelenggu kami terutama kaum hawa yang sering menjadi golongan kedua di sub ordinasi dan dianggap tidak pelu memberikan pendapat bahkan untuk kebutuhan dirinya sendiri. Sungguh kondisi yang teramat memilukan.

Aku saat itu sedang mekar-mekarnya sebagai seorang gadis desa yang cantik dan menjadi pujaan kaum adam di desa ku. Kebanyakan orang menyebutnya jaman Siti Nurbaya, karena aku dijodohkan dengan pria pilihan ayahku, pria itu 7 tahun lebih tua dariku dan aku samasekali tidak mengenalinya. Aku sungguh tak mampu menolak permintaan ayahku, karena bagi ayahku itu adalah sebuah pembangkangan dan tindakan yang berdosa. Mungkin saat itu ayah belum membaca hadistnya bahwa seorang anak perempuan yang sudah siap untuk menikah berhak menentukan pilihannya sendiri dan berhak memberikan pendapat untuk menerima atau menolak tanpa harus ada paksaan.

Mungkin disinilah awal kepedihan hatiku, karena aku tak berani menentukan sikap dan pilihan untuk diriku sendiri. Itu merupakan suatu hal yang sangat aku sesali sepanjang umurku. Ditambah pula menikah dengan laki-laki gila yang penuh dengan kecurigaan dan tanpa kelembutan. Setiap hari yang aku lalui bersamanya adalah saat penuh dengan introgasi dan kata-kata kasar yang selalu menuduh dan membuat emosiku memuncak.

/”dari mana saja kau, ke pasar saja lama sekali, jangan-jangan kau bertemu diam-diam dengan mantan kekasihmu itu”/ kata- kata seperti ini sering sekali ku dengar, membuat hatiku geram dan telingaku merah. Rasa lelah dari pasar belum juga hilang karena berkeliling mencoba mencari harga termurah agar menghemat pengeluaran, tapi justru aku disambut dengan tuduhan dan cercaan. Salam yang sering kuucapkan tiap kali masuk rumah dibalas dengan umpatan kasar dan menuduh dari seorang suami yang katanya mencintai istrinya.

Entah untuk kesekian kalinya aku menahan diri untuk tak membalas amarahnya. Kepribadianku yang tertutup semakin memperparah kejiwaanku karena tak seorangpun tempat aku mencurahkan kesedihanku bahkan pada ibuku karena aku takut beban hidupku akan menjadi beban pula bagi ibu. Hanya dalam tangis dan doa yang terkadang aku ucapkan dalam shalatku. Hatiku sangat sakit, telah berusaha mencintainya dan melayaninya dengan baik sebagai seorang istri, namun yang kudapat dari seorang laki-laki ini hanya kecurigaan dan kemarahan, jangankan mengharapkan kata-kata yang lembut, yang ku dengar justru makian dan kata-kata kotor.

Dia mencurigaiku, bahkan menuduhku tidak setia. Setiap gerak langkahku diikutinya. Kemanapun dan dengan siapapun. Adik sepupuku menyebutnya Posesif Kompulsif yakni rasa kepemilikan yang sangat berlebihan dan bahkan mampu membunuh dan menyakiti orang yang dicintainya. Jika melihat aku menangis, dia segera memelukku mengatakan bahwa dia mencintaiku, namun ketika dia marah dia selalu mengucapkan kata-kata kesukaannya ”Bahwa jika aku tak mendapatkanmu seutuhnya, maka orang lain pun tidak, lebih baik kau hancur sekalian”, aku tak begitu faham apa maksud ucapannya itu, tapi tiap kali aku mendengar kata-kata itu, hatiku diliputi ketakutan yang luar biasa.

Begitupun saat anak pertama kami lahir, tak memberi perubahan apapun. Dia justru semakin parah, menuduh aku telah selingkuh karena kurang memperhatikannya. Seandainya dia mau membuka matanya dan hatinya sejenak untuk melihat dan mengerti betapa repotnya aku mengurusi anak dan rumah tangga seorang diri tanpa bantuan siapapun bahkan bantuannya sekalipun.

/”katakan padaku, laki-laki mana yang menjadi ayah dari anakmu ini???”// kata-katanya menghujam ulu hatiku, aku hampir pingsan dan tanpa air mata. Aku benar-benar sadar bahwa suamiku berpenyakit. Penyakit itu teramat parah dan telah bersarang lama dalam dirinya, dan sekarang perlahan-lahan dia ikut membakar diriku sampai tiada berdaya.

Ketika rumahtanggaku serasa dalam badai, ayahku pun sakit keras dan sekarat, di akhir hayatnya ayah berpesan agar menjaga pernikahanku sampai mati. Sungguh lemah jiwaku dan semakin parah lagi hatiku dalam ketidakberdayaanku. Seharusnya aku bisa berbuat banyak, namun kembali aku hanya menjadi seperti tubuh mati yang diam tak mampu bereaksi walaupun diterjang dari segala penjuru, tetap diam dan menyimpannya dalam hatiku yang ku tahu kapasitasnya sangat terbatas untuk menampung segala kepedihan ini.

--------

Saat itu magrib menjelang malam, aku lupa memasak air untuk termos karena disibukkan dengan anakku yang sedang demam tinggi. Dia pulang dengan muka marah dan kurang menyenangkan di mataku. Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar sana sehingga mukanya begitu kusut dan semakin menyeramkan.

/”buatkan kopi untukku,..katanya ketus, aku hanya memandanginya dan tak berani mengatakan bahwa aku belum memasak air untuk termos. Dia berlalu dariku dan menuju ke dapur, aku mengikutinya dari belakang.

/”aku belum memasak air panas, tunggulah sebentar atau apa kau mau membantuku memasaknya sebentar karena aku sedang mengompresi tubuh si kecil biar panasnya cepat turun. Aku berharap dia mengerti dengan permintaanku, bahkan aku sudah mengatakannya dengan sangat lembut.

Tiba-tiba dia mengambil termos lalu menuangkan semua air termos yang masih agak hangat itu ke kepalaku dan membanting termos itu sehingga terpental beberapa meter dari meja makan. Matanya memerah menatap ke arahku yang telah basah kuyup.

/”Puas kau sekarang,..mereka mengejekku malam ini di pos ronda karena kekasih lamamu berniat membawamu pergi jauh dariku. Apa yang sedang kau rencanakan dengannya”// suamiku mulai kalap. Dia semakin gila dengan semua ejekan orang-orang di kampung ini, cemburu yang membabi butanya padaku telah menghilangkan akal sehatnya dan rasa kepercayaannya yang hampir tak pernah ada untukku semenjak pernikahan kami dulu.

Aku tak mengucapkan sepatah kata apapun, aku berlari dari hadapannya. Hatiku berulang kali tersakiti, namun kali ini puncak segala kesakitanku yang tak mampu kubendung lagi. Aku terus berlari melewati kebun, melewati jalan yang penuh batu dan kerikil tajam, melewati pematang sawah melewati sunga-sungai dangkal. Aku terus berlari membawa jauh hatiku yang telah hancur, hingga aku akhirnya lelah tersungkur di tanah dengan tubuh penuh lumpur dan kaki yang penuh luka terkena duri dan kerikil tajam.

Aku terkulai lemah di depan rumah ibuku, tanpa kata, tanpa isakan, tanpa jeritan hanya air mata yang terus mengalir perlahan di pipiku. Anehnya aku tak merasakan perihnya luka di sekujur tubuhku. Tiba-tiba aku merasa hampa. Hampa yang luar biasa.

/”apa yang terjadi dengan dirimu Karmila???Mengapa tubuhmu kotor dan penuh luka begini”// ibu memapahku ke dalam rumah, airmatanya terus mengalir deras melihat kondisiku yang tak karuan. Beliau mengganti bajuku, membersihkan tubuhku dan membasuh luka di sekujur tubuhku.

------

Sejak saat itu Karmila hanya diam, tak pernah mengucapkan sepatah kata apapun. Tiap kali bibi bertanya ada apa dengannya, dia hanya diam dan menangis. Bibi bisa merasakan sakitnya yang teramat dalam yang tak mampu ia ungkapkan. Ibu masih bercerita tentang diriku dengan uraian airmata. Makanya bibi yakin kalau Karmila sebenarnya tidak gila karena roh jahat seperti yang dihembus-hembuskan oleh mantan suaminya itu pada semua penduduk desa.

Laki-laki itu telah pergi dari kehidupan Karmila setelah bibi memintanya secara paksa untuk menceraikan Karmila, keputusan itu bibi ambil karena dia sama sekali tidak menunjukkan sikap yang bertanggung jawab atas kondisi Karmila, bahkan sampai saat ini dia tak pernah mengirimi anaknya uang dan segala kebutuhan untuk sekolahnya.

Laki-laki itu memang telah pergi, namun laki-laki itu meninggalkan luka yang sangat dalam di hatinya sehingga sulit sekali dia bangkit kembali dari kesedihannya itu diakibatkan ketakberdayaan dirinya sendiri untuk bangkit. Saat ini bibi hanya ingin menyenangkan hatinya, membiarkan dia bermain seperti anak-anak, karena hanya saat seperti itu Karmila bisa tersenyum.

Adik sepupuku mengusap tanganku, seperti memberikan sebuah kasihsayang yang tulus dan memberikan semangat untuk aku dan ibu.

/’Kakak ikutlah denganku, kita akan bertemu orang hebat untuk selalu membuat kakak tersenyum bahagia”/ dia tersenyum penuh rayuan padaku saat mengajakku ikut bersamanya ke Jakarta. Aku sempat mendengar percakapan ibu dengannya bahwa orang hebat yang dimaksud sepupuku itu adalah dokter jiwa dan phsyciater therapy untukku.

Ibuku tersenyum bahagia, saat aku mengangguk perlahan bahwa kami akan ke Jakarta. Mendengar kata Jakarta saja sepertinya sungguh menyenangkan, apalagi aku akan dibawa untuk menemui orang hebat yang bisa membuat hidupku kembali ceria dan bahagia.

Tak ada seorangpun ingin berada dalam kedukaan, namun tak jarang orang merasa putus asa melawan nasib buruk yang menimpanya. Kekerasan dalam rumah tangga tak dapat ditolerir dalam bentuk apapun, penindasan fisik dan mental terhadap kaum perempuan telah ditentang habis-habisan di jaman Rasulullah.

Maka beranilah melawannya dan buktikan pada diri kita sendiri bahwa dengan kegigihan dan tak mudah menyerah maka kita mampu menyelesaikannya, dan jangan lupa berdoa bahwa segala sesuatunya Atas kehendak Allah, namun manusia hanya berusaha untuk tetap gigih dan tawakkal. Adik sepupuku memberikan semangat yang sangat menyejukkan hati ibuku. Dia memeluk aku dan ibuku erat sekali memberikan makna bahwa aku dan ibu juga patut bahagia.

---------

Turut prihatin dengan korban kasus KDRT,..Be strong, never give up,..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar