Laman

Jumat, 26 November 2010

Hujan di Mentawai


Hujan,….jiko hujan hati den ibo
(hujan, jika hujan turun hatiku lara)
Takana maso, kisah nan lamo
(mengingat suatu masa, kisah yang telah lama)
Maso sapayuang kito baduo
(masa dimana kita sepayung berdua)

alah lah jo (sudahlah bang),.. ajo indak perlu mengayuh sampan mencari ikan kalo hanya ingin lari dari masalah kita. Amak memang selalu bersikap seperti itu saat ada bujang hendak menyunting anak padusi satu-satunya ini. Bukannya amak indak setuju, hanya saja amak butuh bukti kalo ajo serius hendak memperistri anaknya.

Iyolah (iya) ,..ajo Zainal hanya menjawab singkat sebelum kemudian mendorong sampannya ke dalam air lalu menggayuhnya menjauh dariku berlalu tak perduli dengan penjelasanku.

Semenjak amak menunjukkan sikap tak suka padanya, ajo Zainal menjadi lebih sensitive dari biasanya. Sementara aku yang berada di tengah diantara amak dan ajo justru lebih tersiksa. Tak mungkin aku melawan keinginan amak, tak mungkin pula aku menghilangkan rasa cintaku pada ajo zainal. Satu-satunya hal yang ku tunggu adalah waktu, untuk menenangkan hati amak menerima ajo.

Langkahku gontai kembali ke rumah, langit penuh jingga begitu indah untuk dipandang. Gerombolan burung pulang berduyun-duyun. Sebentar lagi magrib, aku harus segera tiba di rumah untuk shalat dan murathal Qur’an. Membaca Qur’an saat perubahan kondisi terang ke gelap (ashar-magrib) atau gelap ke terang (ba’da shubuh) sangat baik untuk meningkatkan ketajaman ingatan.

################

Baru pulang ka-u Ifa??,…amak menegurku di beranda depan. Aku diam tak menjawabnya, hanya berlalu menunduk tak berani menatap mata amak.

Ba’da murathal aku mengurung diri di dalam. Terngiang semua ucapan amak tentang ajo zainal pagi tadi yang membuat sebuah pertengkaran pula antara aku dan ajo zainal.
Amak indak satuju (ibu tidak setuju), kalo ka-u mantang bahubungan samo si zainal itu (kalo kamu masih berhubungan dengan zainal), nada amak keras menentangku.
Manga Amak indak satuju (mengapa ibu tidak setuju)?? Aku mencoba mendengarkan alasan amak dalam hal ini.

Dalam pernikahan itu ado istilah “sekufu”, inyo tu kan tamat SMA (dia itu hanya tamat SMA), samantara ka-u sakolah bidan (sementara kamu seorang bidan), indak nyambung kalo kalian manikah.

Aku menarik nafas dalam. Memang sekufu (setara) dalam pernikahan islam cukup diperhatikan agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu menonjol dalam pernikahan. Istilahnya kalo yang tak terlalu banyak perbedaan saja, bisa jadi cekcok, apalagi jika perbedaannya terlalu jauh.

Malam mulai larut 21.40 menit. Aku akhirnya keluar dari kamarku. Terlihat sepi di tengah rumah, pintu kamar amak tertutup rapat, mungkin amak sudah tidur pikirku. Sebenarnya tak enak hatiku mendiamkan amak dengan cara kurang dewasa seperti ini.
Aku baru hendak melihat amak di kamarnya, ketika kudengar deritan pintu dan jendela yang berderak-derak membuatku terhuyung-huyung menjangkau pintu kamar amak.

Amak,…amak,….gampo amak(gempa bu),..bangkiek mak (bangun bu),…

Aku panik bukan kepalang, ku kejar amak yang baru terbangun dari tidurnya. Ku papah amak keluar, aku takut jika saja rumah tua kami ambruk suatu waktu karena gempa yang cukup keras ini. Amak shock dengan apa yang terjadi, dengan sekuat tenaga kugendong amak keluar. Wajahnya pucat dan lemas. Kupeluk amak erat, aku takut kehilangan amak.

Tak sampai 20 menit dari redanya gempa, kudengar gemuruh ombak seperti suara ribuan pasukan berkuda menuju ke satu titik yaitu menyerang kami. Sekarang aku lebih panik dari sebelumnya. Angin dingin menusuk tulang-tulangku, suasana mencekam menyertainya. Suara gemuruh itu semakin mendekat, seperti membuntuti kami yang sebagian masih terlena menata kembali barang-barang yang hancur di dalam rumah.
Amak,..capek amak( ibu, cepat), bia ambo gendong amak sajo (biar saya gendong saja ibu),….

Aku berlari bersama puluhan orang yang mulai menyadari sebuah bahaya besar sedang menguntit kami. Ombak raksasa yang berjalan vertical dengan kecepatan 80 km/jam itu menghalau kami tanpa memilih-milih sasarannya.

Amak diam dalam gendonganku, entah berapa kali aku terjatuh lalu sekuat tenaga bangkit lalu kembali berlari, hingga akhirnya aku seperti buih tergulung-gulung dalam lumpur ombak setinggi 3 meter itu, beberapa kali terminum olehku air asin yang mencekat leherku, beberapa kali pula aku tak mampu bernafas sejenak, hingga aku sadari amak terlepas dari gendonganku.

Aku terjepit diantara dua pohon pinus yang setengah batangnya tenggelam. Berulang kali aku membuka mataku mencari sosok amak yang hilang dari pandanganku. Aku bertahan di pohon itu membeku kedinginan bersama air mataku yang tak mampu berhenti sama sekali.

Amak, dima amak??jangan bia ambo sandiri amak,…ya Allah, dima Amak.
Aku berteriak-teriak ditengah gempa susulan dan ombak yang menggulung-gulung di hadapanku. Akhirnya aku diam, memasrahkan keselamatan amak pada Yang Kuasa.

Dua jam kemudian murka lautan itupun mereda air lautpun mulai menyusut, walaupun sesekali gempa susulan masih terasa. Kupaksakan mencari amak dengan sisa kekuatan tubuhku. Dalam tumpukan sisa bangunan yang hancur, pohon-pohon yang patah, aku mencari amak.

Mulutku tak henti mengucapkan kata amak,..ya Allah, selamatkan amak,..selamatkan amak,..selamatkan amak. Sudah hampir pagi aku mencari amak, semburat cahaya mentari sama sekali tak indah pagi ini di pagai utara, Mentawai. Wajah-wajah pucat dan kaku bergelimpangan di sekitarku.
Orang-orang tak henti mencari keluarganya. Aku hampir putus asa, hingga akhirnya kutemukan secarik sobekan baju amak di balik atap rumah yang telah hancur.

Amaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkk,…..aku berteriak histeris.

Tubuh amak telah dingin dan kaku, tangan dan kakinya membeku pucat. Berulang kali aku meraba setiap letak nadinya memastikan amak masih hidup. Aku telah menggila, ketika tak satupun nadinya yang berdenyut, tak sedikitpun kurasa hangat nafas dari hidungnya. Aku berteriak lagi, kepalaku terasa berat, mataku semakin berkunang-kunang. Tidak, aku harus kuat, aku harus kuat sugestiku pada diriku sendiri.

Amaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkk,….manga amak tingga kan ambo
(ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, mengapa ibu tinggalkan aku)

Tubuh kaku amak diangkat ke tempat pengungsian, jejeran mayat yang puluhan jumlahnya juga sebagian ditangisi oleh anggota keluarganya. Walaupun tubuhku mampu bergerak, namun pikiranku sungguh sangat kosong. Hampa kurasakan di hatiku, belum sempat aku mengucapkan maaf pada amak karena perselisihan kami kemarin, belum banyak bahagia kuberikan untuk amak, sungguh perpisahan ini teramat menyayat hatiku.

Hatiku masih tersungkur di sini, aku hanya meninggalkan mayat amak sebentar untuk wudhu dan shalat, sebelum amak dikuburkan aku hanya ingin membacakannya ayat kursi dan yasin berulang kali, setidaknya hanya itu hadiah yang bisa kuberikan saat ini untuk amak.

Aku hendak bangun mengambil wudhu ketika beberapa orang meletakkan sebuah tubuh kaku lagi tepat di samping mayat amak. Aku sempat melirik tangan mayat lelaki yang baru diletakkan itu, mataku diam menatap sebuah cincin di jari manis yang sangat ku kenal. Bagaimana tidak, cincin itu sengaja ku design saat aku ke bukit tinggi beberapa bulan lalu.

Ajo,..indak mungkin, iko ajo zainal,….

Dadaku sesak, terasa sangat sesak. Tubuhku limbung, aku terjatuh dari posisi berdiriku. Aku benar-benar berada di ambang batas kesadaranku. Mayat laki-laki di samping mayat amak adalah ajo zainal. Hah,…Kutepuk keras dadaku, Oh Rabb, terbuat dari apakah hatiku saat ini???

Rinai hujan dibawa angin ditanah mentawai yang berbau hangir, rintik hujan di hatiku juga semakin deras, membawa aliran rinduku yang semakin besar pada amak dan ajo. Hari ini hujan turun di mentawai, begitu juga dengan hatiku.

Catatan
Ajo : abang
Amak : ibu
Indak :tidak
Ka-u :kamu (perempuan)
Padusi :perempuan
Iko : ini
Sekufu :setara, contoh pernikahan syekh puji dan ulfa dibawah umur ditentang karena tidak sekufu

Sabtu, 25 September 2010

Peri Berkerudung Biru


Koridor 017

Hatiku tertinggal di sini, telah lama kuraba mencoba menemukan tiap sudutnya
Koridor 017 warna temaram menghiasi sepanjangnya,…
Begitu redup cahaya di sana,..seredup keinginanmu untukku,…
Peri berkerudung biru dalam senyumannya yang sendu,…

Koridor 017,..ketika kuletakkan harapanku
Mata coklatmu berbicara,..”aku baik-baik saja”
Wahai Peri berkerudung biru,..
Kurasakan cumulonimbus menggelantung pekat di atas kepalaku
Diam,…Mataku panas menahan genangan sumur airmata di hatiku
Lepaskan,..kan ku coba lepaskan
Walaupun lebih berat daripada menahannya,..

Koridor 017 barisan file teratas dari kisahku
Tanpa perlu kubuka isinya,..
Hatiku telah sangat kenal judulnya
Peri berkerudung biru,….aku tak kan memohon
Namun Ijinkan aku tetap membukanya di file hatiku…

----------------

Pertengahan February

Bagaimana mungkin mata coklat itu kini redup
Lebih redup dari cahaya lampu di koridor 017,…
Peri berkerudung biru,..
Ku akui,..aku tlah menjadi pendosa
Ketika dekapanku begitu erat menyanjung malaikat
Namun hatiku tak berani membisu melafalkan kisahmu,…
Seperti dzikir panjang yang tak pernah terputus waktu

Pertengahan February,…tanpa hujan,..tanpa terik
Ketika “seandainya” itu punya makna,…
Mungkin aku akan memilih mencarikan cahaya untukmu
Walaupun bukan cahaya gemintang,..
Kerlipan Kunang-kunang pun akan terasa indah,…

Peri berkerudung biru,…
Meskipun ku tak mungkin mengubah “seandainya”
Setidaknya biar kurangkai senyummu menjadi indah
Biar kuterangi coklatnya matamu hingga berbinar
Walaupun hanya dengan itu aku akan tetap menjadi seorang pendosa
Antara kau peri berkerudung biruku dan bidadari yang erat memeluk tubuhku,..

Peri berkerudung biru,…untuk kesekian kali, ku mohon…Maafkan hatiku….

Kamis, 02 September 2010

Raishah dan Renata


Gadis kecil bernama Raishah


“Raishah,…raishah,…apa kau mendengarkanku??” suara itu berbisik perlahan, tepat di telinga raishah.

“iya,..kamu siapa??”……….raishah membuka matanya.

“aku Renata,..aku telah datang untukmu” renata menatap tajam jauh ke dalam bola mata raishah.

“aku kesakitan,…” ringis raishah

“sssstttttt,….tenanglah, jangan menangis lagi. aku telah sangat mengetahuinya. Tak akan kubiarkan lelaki tua itu menyentuh tubuhmu lagi…diamlah, kan kubasuh lukamu, jika kau mau aku tak akan goyah bersamamu”…..renata mendekap raishah, menenangkan hati kecilnya.

Gadis remaja bernama Raishah


“Renata,…aku kecewa, aku merasa tak punya nilai” raishah terisak sendu.

“karena wanita tua itu??? Masihkah dia bersikap kasar padamu??”

“iya,…angguk raishah dalam…. “apakah dia pernah bersikap baik selaku ibu padaku??”….raishah kembali terisak sesenggukan.

“bersabarlah,..aku selalu setia padamu”…raishah tersenyum dengan manis.

Seorang Mahasiswi bernama raishah


“aku hancur,..aku telah hancur,..aku benar-benar hancur” raishah tak berdaya di sudut gedung utara kampus. Renata menangis di sampingnya,untuk kali pertama.

“bangkitlah raishah, ini hanya mimpi buruk!!!,..seburuk apapun kau bisa memulainya lagi”….renata berhenti menangis, membantu tubuh raishah yang limbung untuk berdiri.

“apa aku harus selalu merasa kesakitan??” raishah berdiri lunglai, meringis merasakan perih diantara selangkangannya, dia tahu, dia telah tersobek-sobek oleh kebejatan nafsu lelaki penghuni jahannam.

“raishah,…bagi sakitmu denganku, kan ku bagi seluruh bahagiaku padamu” renata memapah tubuh raishah yang lemah dan terluka.

Wanita dewasa, bernama raishah


“kini saatnya raishah,…saat kita harus berpisah”….renata menggenggam erat jemari lentik wanita dewasa bernama raishah.

“aku belum siap,..ku mohon, tetaplah di sampingku” raishah berbisik halus.

“berhentilah sampai di sini, suatu saat aku bisa mengganggumu,…entah kapan lagi akan terulang…apa kau ingat, ketika kau tertawa lepas lalu tiba-tiba menangis karena aku mengingatkanmu akan luka itu??,…apa kau ingat ketika kau belajar menjadi lebih beriman namun aku mengajakmu menjadi nakal….walaupun tak selalu begitu raishah,…tapi aku tak ingin kau menciptakan kamuflase dalam dirimu sendiri, aku tak ingin kau menyimpanku lebih jauh dalam jiwamu”…

“aku takut sendiri,..aku telah terbiasa bersamamu” raishah memohon dengan sangat.

“ada beribu kemungkinan di sekelilingmu, ada banyak kesempatan di depanmu, namun hanya ada satu kekuatan di belakangmu yaitu TUHAN,..apa kau harus takut??? Kuncinya hanya satu keikhlasan raishahku sayang,….ikhlaskanlah semua yang telah terjadi dalam hidupmu,…jadilah jiwa yang matang!! aku pergi!...renata kemudian berlari menjauh semakin jauh.

Raishah senyap,..senyap dirasakan separuh jiwanya. Renata memang pergi, tapi suatu saat dia kan kembali menjadi sebagian jiwa raishah yang lain.
“aku tak akan mengucapkan selamat jalan,..karena ku yakin kau hanya berhibernasi, suatu saat kau akan bangun lagi saat kubutuh jiwaku yang lain Renata.

------------
Jakarta, 3 september 2010
Aida m affandi

Senin, 24 Mei 2010

Bukan Wanita Kedua

Mengapa Kamu mendatangi jenis laki-laki diantara kamu (berbuat homoseks)
Dan kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istrimu?
Kamu benar-benar orang yang telah melampaui batas
(Asy-Syu’ara 165-166)


Aku masih ingat saat ku tatap mata laki-laki yang dijodohkan oleh orang tuaku dua tahun yang lalu. Saat dia datang melamarku bersama keluarganya, sekilas aku melihat tak ada yang aneh dengan laki-laki itu. Bahkan dia terkesan sangat sopan dan bisa dikatakan pria baik-baik pada kesan pertama ku menatapnya.

Mata elangnya yang tajam ditambah segaris alis mata yang sangat tebal menatapku lekat. Aku bergetar untuk pertama kalinya, mungkinkah itu cinta yang datang menyergap tiba-tiba memenuhi relung jiwaku yang selama ini selalu sepi oleh kehadiran hati yang lain.

Entah mengapa setelah beberapa kali gagal membina hubungan cinta dengan beberapa orang pria membuatku pasrah akan jodoh yang ditawarkan oleh kedua orang tuaku. Kurelakan saja ketika laki-laki itu mencoba untuk mengenaliku sebelum menikahiku.

“Masalah cinta mah gampang neng,..ntar bisa tumbuh belakangan, orang-orang dulu juga pada dijodohin, tapi ndak ada tuh yang kawin cerai kayak anak jaman sekarang “kata bibi Baiti, pembantu rumah tangga kami yang telah 15 tahun ikut ibuku bekerja di rumah.


Sejenak ku cerna kata-kata bibi Baiti, apa mungkin cinta bisa datang karena sering bersama, lalu bagaimana kalau cinta itu tidak hadir juga??,..ah, aku tak ingin gambling dalam hal ini. Tapi sebagian kata-kata bibi baiti ada benarnya juga, bahwa pernikahan jaman sekarang rentan oleh kawin cerai, padahal orang-orang sekarang bisa dikatakan lebih maju dan didukung oleh fasilitas untuk membina komunikasi yang baik antara suami istri, mungkin memang begitu pernikahan akhir jaman kata mamaku menimpali.

Langkah pertama tentu aku harus cari tahu siapa laki-laki yang profile dan fotonya di sodorkan padaku beberapa hari yang lalu. Aku hanya tahu laki-laki itu sedang mengambil program pasca sarjananya di bidang filsafat agama. Aku pikir laki-laki itu type laki-laki serius yang agak membosankan. Ah,..cepat-cepat kutepis anggapan sekilasku tentang laki-laki itu. Tapi paling tidak dia lulusan sarjana Agama yang mudah-mudahan bisa membimbing aku dan anak ku kelak agar lebih dekat pada Allah.

Setelah beberapa kali aku melakukan shalat istikharah akhirnya aku menetapkan hati untuk menyambut lamaran dari laki-laki yang bernama Yunus itu. Dia memang pendiam bahkan sangat pendiam, hanya lirikan matanya yang sekali-kali kutangkap sedang mencuri pandang ke arahku, lalu dia kembali diam dan menunduk menekuri meja tamu di rumahku.

----------

Aku tak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki yang sangat mapan dalam segala hal, namun memiliki permasalahan yang sangat rumit. Wajah polosnya yang dingin, tatapan matanya yang tajam, bibirnya yang tak pernah berucap kata membuatku semakin bingung dan sulit memahami laki-laki yang telah menikahiku ini.

Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari tempat Yunus bekerja. Pekerjaan Yunus sebagai kepala Kantor Urusan Agama semakin melengkapi tekanan bathinku. Yunus menikahkan orang-orang di satu kecamatan yang dibawahinya , setiap pasangan diberi nasehat pernikahan. Bagaimana pentingnya komunikasi dalam pernikahan dan lain sebagainya. Lalu selalu menjadi pertanyaan besar di kepalaku, bagaimana dengan pernikahan kami sendiri??

Aku terlalu ingin mempertahankan pernikahanku setiap kali menyadari rasa malu yang akan kupanggul seumur hidupku jika perceraian terjadi dalam pernikahan kami. Sudah setahun berlalu pernikahan ini, hampir tak ada kata bahagia yang tersimpan di hatiku semenjak ijab qabul itu terucapkan.

Awalnya aku tak percaya akan hal ini. Setiap kali aku mendekatinya dia selalu menghindariku. Aku pikir dia butuh waktu untuk mendekatiku atau apapun alasannya, mungkin saja dia malu bathinku. Perasaan curiga terus menghantuiku, ada apa dengan suami yang menikahiku hampir setahun ini. Aku istrinya yang seolah-olah paling disayang di depan semua orang, aku seorang pengantin wanita di kala pesta pernikahan kami digelar tapi ternyata aku bukan teman segala hal dalam hidupnya. Bahkan kami memiliki kamar tidur yang terpisah, tentu tak seperti kondisi pernikahan pasangan lain yang menurutku bisa dikatakan normal.

Hatiku berderai air mata saat kusadari ada yang salah dengan sikap Yunus. Seolah-olah dia membenciku. Dia tak pernah bicara apapun jika bukan hal yang sangat penting menurutnya, samasekali diam tiap kali ku bertanya, kapan dia akan menggauliku sebagai seorang istri. Kapan dia akan menikmati masakanku dan membiarkanku mencuci dan menyetrika baju untuknya.

Aku seperti seorang pungguk yang terlalu mengharapkan bulan. Aku seperti bermimpi menunggu kapan mimpiku akan menjadi nyata. Tidak pernah sekalipun dia mencicipi masakanku, tidak pernah sekalipun dia merelakan aku mencuci dan menyiapkan baju untuknya. Tidak pernah sekalipun. Bahkan dia selalu memarahiku jika ku tunaikan kewajibanku sebagai seorang istri untuk melayani sang suami.

Yunus hanya diam, tak berucap kata seolah lupa bagaimana berbicara. Amarahku membeku tiap harinya, semakin hari aku semakin bingung dengan sikapnya yang aneh. Dia terlihat manis saat bertemu keluargaku dan teman-teman kerjanya. Dia selalu mengajakku dalam acara makan malam di tempat sanak saudaranya, tapi hanya sebatas topeng yang dikenakannya untuk menutupi kedok di belakangnya. Begitu sampai di rumah dia akan mendekam kembali di kamarnya dan aku diam sendiri di kamarku.

“astaghfirullahal adziiimmm,…apa kau tidak bisa memakai pakaian dalammu di kamar mandi saja” Yunus membentakku sembari memberikan handuk tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

“Bang,..aku ini istrimu, aku halal untukmu, mengapa kau harus beristighfar melihat sebagian auratku??,..seharusnya aku yang bertanya ada apa denganmu, selama ini aku hanya diam kau perlakukan aku seperti ini tapi bukan berarti aku tidak memperhatikanmu”...ku ambil handuk dari tangannya untuk menutupi sebagian tubuhku yang masih basah sesudah mandi.

Yunus meninggalkanku bergerak ke kamarnya. Ku kejar dia sebelum tangannya menjangkau gagang pintu. Ku tahan tanganku agar diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg di kepalaku selama ini.

“Mengapa abang ga pernah menjawab pertanyaanku ini. Seperti inikah pernikahan yang di ajarkan agama kita?? Seperti inikah nasehat pernikahan yang abang hembus-hembuskan pada pasangan suami istri yang akan menikah?? Tidakkah abang malu telah memiliki topeng seperti ini?? Aku malu bang,…bukan hanya malu, tapi hancur hatiku atas perlakuan abang. Kalau memang abang ga mencintaiku, mengapa setuju dengan pernikahan kita???”

Yunus tak bergeming, air mata yang bercucuran di pipiku tak menggerakkan hatinya untuk berbicara tentang masalah antara kami. Dia hanya diam melihatku sesenggukan. Sikapnya semakin membuatku geram dan ingin berteriak.

“Mengapa ada manusia tak punya hati sepertimu ini??....Ya Allah dimana ilmu agama yang kau pelajari selama ini, apakah kau lupa ayat dan hadistnya menggauli istrimu??..pernikahan hanya sebuah kesakitan dalam hidupku. Katakan padaku, apa kau lemah syahwat?? Bisa kah kita mengobatinya bersama-sama,..aku ini istrimu, mana boleh kau biarkan aku penuh tanya seorang diri menjalani pernikahan ini.”

Yunus melirikku sejenak, lalu kembali menekuri layar laptop di depannya. Ingin sekali aku melepaskan geram hatiku, ingin sekali aku melepaskan control amarahku agar reda seluruh resah hatiku. Aku terduduk di depan kamar Yunus dalam keadaan bermandikan air mata. Yunus benar-benar telah menghancurkan sisi kesabaranku, Yunus benar-benar merusak rasa sayangku yang berlimpah padanya menjadi rasa benci yang berlapis-lapis.

--------

Pasca pertengkaran saat itu, aku semakin tahu bahwa Yunus memang tak pernah mencintaiku.
Jika memang dia ingin bersamaku tentu tak sesakit ini perlakuannya padaku. Tentu dengan cepat pula dia memberikan penjelasan keadaannya yang sebenarnya. Yunus semakin menjadi dingin bahkan ku pikir sudah membeku, jangan kan berucap maaf atas pertengkaran kami saat itu, bahkan bertegur sapapun tidak pernah dilakoninya lagi.

Jika tidak memikirkan aib yang akan ditelan oleh Yunus dan keluarga kami, mungkin aku tak akan bertahan sampai dengan saat ini. Aku sungguh masih memikirkan anggapan orang terhadap pekerjaan Yunus sebagai kepala KUA. Bagaimana mungkin dia akan memberi nasehat pernikahan jika pernikahannya saja tak selamat dari perceraian.

Aku mendiamkan masalah yang semakin terbakar antara kami, diluar terlihat tenang tapi di dalam semakin membakar hampir seluruh hatiku. Ibarat api dalam sekam yang terlihat hanya asap yang sesekali mengepul dilewati tiupan angin. Yah,…aku memilih diam dan menahan derita ini hingga semuanya jelas di depan mataku arti kebenaran itu terungkap.

---------

Hari itu begitu terik, panasnya mencapai 40 derajat celcius, aku mendekam dalam kamarku menikmati jus jeruk dan beberapa potong coklat. Di luar ku dengar suara motor Yunus yang berhenti di halaman rumah kami, sekilas ku intip lewat jendela ternyata Yunus pulang bersama Ilham sahabatnya sejak masih kuliah dulu begitu akuannya padaku suatu hari.

Seperti biasa mereka berdua akan masak bersama, lalu makan bersama dan menghabiskan siang di kamar sambil menonton televisi yang selalu diputar dengan volume yang keras. Tak sekalipun aku menegur Yunus jika sedang bersama Ilham. Aku hanya tersenyum jika sempat berpapasan dengan Ilham saat berada di rumah kami.

Tapi entah mengapa siang itu aku sangat penasaran dengan rutinitas mereka. Bagiku agak sedikit aneh laki-laki yang selalu menghabiskan waktu bersama demikian dekatnya bahkan jauh lebih akrab dari istrinya sendiri.

Perlahan ku buka pintu, aroma ikan yang digoreng begitu khas di hidungku. Aku berjalan perlahan mengamati dua laki-laki yang sedang menghabiskan waktu memasak bersama itu. Aku semakin mendekat saat kenyataan itu terkuak di depan mataku atas izin Allah.

Astaghhhfiruulllahhhal adhzimmm,…..ku genggam erat jari jemariku dalam kepalan tanganku. Ingin sekali kuhantamkan pukulan tinjuku ke wajah Yunus dan Ilham.

“Ya Allah,…ternyata Ummat Nabi Luth masih tersisa di rumahku,..ampuni Hamba ya Allah,….” Yunus dan Ilham sontak kaget dengan teriakanku tepat di belakang mereka. Seketika mereka melepaskan pelukan yang begitu mesra dan hangat di depan mataku.

Hatiku hancur tiada tara, air mataku semakin bercucuran mendapatiku Yunus suamiku yang sangat aku banggakan dalam hal agamanya, ternyata seorang homoseksual. Hatiku semakin hancur ketika kenyataan ini kudapatkan di rumahku sendiri di depan mataku sendiri dan mungkin telah terjadi berulang-ulang tanpa kusadari.

Wajah Yunus dan Ilham terlihat berang dengan sikapku yang mengganggu acara romantis mereka persis seperti seorang inteligen yang diam-diam melakukan sesuatu untuk mencari tahu kesalahan mereka. Aku tahu mereka akan marah padaku, bahkan mungkin akan melakukan hal bersifat kekerasan atas sikapku ini.

Aku diam, terduduk lemas menyadari betapa tak berartinya aku di mata Yunus selama ini. Betapa tak menariknya aku selama ini di matanya. Dia bukan seorang yang lemah syahwat tapi dia seorang yang kelainan seksual. Betapa ku tak menyadari selama ini bahwa aku menikahi laki-laki yang masih turunannya ummat Nabi Luth as.

Ilham buru-buru keluar dan mengambil jaketnya lalu pergi, kulihat Yunus mengejarnya lalu berbisik di telinganya dan mengusap-usap pundak Ilham perlahan sebelum mereka berpisah. Yunus duduk membelakangiku, dia hanya diam sambil memainkan jari-jarinya. Persis seperti seorang anak kecil yang telah melakukan sebuah kesalahan besar di depan orangtuanya.

“Mengapa abang ga ngomong dari awal tentang masalah seks yang abang alami kepadaku??...” ku atur sedemikian rupa emosiku agar bisa bersikap lebih bijaksana dan memutuskan sesuatu dengan akal sehat.

“Aku tahu ini aib buat abang, karena status abang sebagai seorang suami juga ditambah pekerjaan abang sebagai seorang penghulu, tapi jika dari awal abang mau berbagi hal ini ke aku mungkin aku tak akan sesakit ini menahan hati” yunus masih tetap diam tak bergeming.

“Abang,..mengapa selalu diam, bahkan sampai dengan saat inipun abang masih menganggap aku orang lain setelah hampir 2 tahun abang menikahiku tanpa memberikanku kebahagiaan apapun, aku mohon sekali ini saja kita saling berbagi. Aku akan menerima abang dengan ikhlas dan kita perbaiki ini sama-sama. Kita bisa ke phisikiater kita bisa ke dokter, asalkan abang mau berbagi ini denganku”

Air mataku semakin tak terbendung, kesedihan luar biasa menyayat hatiku. Aku benar-benar tak berharga di mata suamiku sendiri. Bahkan aku berusaha untuk menerima kenyataaan penyakit seksual suamiku sendiri karena aku ingin tetap mempertahankan pernikahanku ini.

“Seharusnya kau tidak kunikahi dulu” akhirnya Yunus memecahkan kebisuannya dengan melepaskan beberapa kata atas pertanyaan-pertanyaanku padanya.

“Tapi sekarang aku istrimu bang,..kita bisa sama-sama ke dokter, ke ustadz atau kemana saja untuk mengobati ini” aku berusaha meyakinkan Yunus, bahwa aku menerimanya apa adanya.

“Tidak,..aku tahu selama ini aku sudah sangat menyakiti hatimu, aku tak ingin semakin menyakitimu lagi” kata-kata Yunus begitu datar tanpa beban.

“Apa arti dari kata-katamu bang”,…aku mencoba mengartikan hal yang berbeda dari maksud ucapannya.

“Silahkan ajukan permohonan cerai, kau berhak mendapatkan kebahagiaanmu, jangan memaksakan hatimu untuk terus sakit berada di sampingku” yunus bangkit dari duduknya setelah kalimat terakhir diucapkannya.

Hatiku begitu miris, mengapa seorang Yunus yang sangat faham agama masih tetap memilih menjadi pengikut ummat Nabi Luth yang dihancurkan Allah dengan batu-batu dari neraka lalu kemudian kotanya ditenggelamkan menjadi laut mati. Apakah imannya tak tergerak untuk takut akan murka Allah selanjutnya pada kaum Guy yang akhir-akhir ini bukan hanya sebagai kelainan seksual tapi sudah menjadi trend hidup….Na’udzuuubillahi min dzaliik

Aku tak mungkin memaksakan keinginanku pada keputusan Yunus yang lebih memilih bercerai dariku. Hampa kurasakan menyelinap di hatiku, ketika kenyataan ini harus ku telan sebagai pil pahit dalam kehidupanku.

Terkadang aku tak ingin meninggalkan Yunus, aku ingin dia kembali pada fitrahnya menyukai wanita bukan laki-laki. Tapi itu keputusan Yunus dia belum ingin memperbaiki ini semua. Bukankah keinginan berubah itu harus dari hati tanpa paksaan. Semoga dan semoga Yunus tak membiarkan penyakitnya ini semakin menghancurkan imannya. Bagaimanapun memilih mencintai sejenis bahkan memilih jalan tersebut sebagai trend hidup adalah sebuah dosa besar dalam islam.

-----------

Aku terpaku menatap surat akte perceraianku dengan Yunus, sampai sidang ketiga kemarin Yunus tak juga menampakkan batang hidungnya. Aku tahu ini sangat memalukan dan menjatuhkan reputasinya sebagai seorang kepala KUA. Tapi inilah jalan hidup yang ia pilih.

Semenjak bercerai aku tak pernah melihatnya lagi, jabatannya sebagai KUA pun telah dicopot dan digantikan oleh pejabat baru. Yunus menghilang dari kotaku. Ingin sekali aku menemuinya lagi, untuk mengatakan bahwa masih ada waktu untuk berubah dan bertaubat bukankah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat akan menggugurkan dosa-dosa yang telah lalu. Masih banyak psikiater yang bisa membantunya selama ia ingin memperbaiki ini semua. Namun aku juga tak ingin lupa mendoakannya semoga Allah membuka hati Yunus untuk kembali pada fithrahnya…amiiinnn.


Jakarta, 24 Mei 2010
Ummat Nabi Luth telah dibumihanguskan,..
Apa kita ummat akhir jaman menjadi selanjutnya???

Aida M Affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi
www.infobunda.com/ummi_nazira

Jumat, 07 Mei 2010

Cinta Terlarang


Ku telanjangi wajahku dengan dosa
Saat ku terlena akan sebuah cinta yang semu
Ketika kusadar,…semua itu hanya ujian
Ku kembali padaMu ya Rabb,..


Bolak balik ku cek emailku, sesekali ku lirik handphone selularku. Masih sambil menatap layar komputerku yang memancarkan radiasi sehingga membuat mataku agak berair. Mengapa tak ada satupun balasan darinya gumamku. Apa dia belum membacanya, mengapa pesanku juga belum dibalas. Kemanakah gerangan laki-laki yang merenggut perhatianku kembali dalam beberapa bulan ini.

Kepalaku dipenuhi oleh sejuta tanya. Mengapa tiba-tiba dia menghilang dari hadapanku dengan cara seperti ini??, sejenak aku marah, tiba-tiba rasa posesifku memancar setelah selama ini kupendam karena merasa bersalah pada seorang hati wanita yang telah memperbaiki sikapnya untuk mempertahankan suami yang sangat dicintainya.

Bukan hanya hati seorang wanita yang telah kulukai, tapi aku juga telah menghancurkan kepercayaan suami dan anakku yang selalu mendambakan seorang ibu yang shalehah dari seorang diriku yang selama ini seolah telah mengorbankan kariernya untuk mengabdi pada keluarga kecil yang telah kami bina lima tahun yang lalu.

Tit,..tit,..tit,..you’ve got email, tiba-tiba lamunanku terjaga oleh sebuah pesan yang masuk ke handphoneku. Firasatku mengatakan bahwa pesan ini balasan dari laki-laki yang kutunggu beberapa jam yang lalu.

Dear kekasih hatiku,..

Maafkan aku mengungkapkan kebenaran ini sekarang, karena jujur aku tak sanggup sama sekali kehilanganmu, sampai kuungkapkan kebenaran ini pun aku tetap merasa berat jika harus kehilanganmu.

Aku merasa berdosa telah melakukan semua kesalahan ini. Apapun namanya atas nama cinta sekalipun, komunikasi cinta antara kita selama ini adalah sebuah kesalahan. Dalam tahajjud malamku aku menangis telah menyeretmu dalam kubangan dosa ini.

Aku mohon ikhlaskanlah semua ini berakhir, jika benar Allah membuat Plan B dalam hidup kita semuanya akan terlihat nyata di kemudian hari dengan cara yang halal. Aku tahu hal ini sangat menyiksa kita. Tapi bagaimanapun kita harus bisa mengakhiri semuanya dengan keikhlasan.

Aku doakan hidupmu akan selalu dalam kasih sayang Allah, karena aku menyayangimu. Kau bukan selir di hatiku, tapi kau adalah kekasih hatiku. Aku meminta padaNya agar salah satu bidadari syurga nanti adalah dirimu…amienn

Warm regard
Farhan


Mataku panas menahan genangan air mata yang mengalir perlahan di pipiku. Ku gigit bibir bawahku merasakan perih di sudut hatiku, menahan sesak yang menyusupi sendi-sendi jiwaku. Email dari Farhan yang begitu menusuk-nusuk kesadaranku akan dosa yang telah kami lakukan selama ini. Aku menangis bukan karena kecewa telah kehilangan Farhan, tapi aku menangis mengapa Allah menghadirkan cinta di saat aku dan Farhan masing-masing sedang menjalani cinta bersama pasangan masing-masing dalam ikatan rumah tangga.

--------

“Dunia ini sudah mau kiamat apa ya?” Randi mengumpat persis di depan wajahku. Randi sahabat terbaikku yang bekerja sebagai Hakim muda di pengadilan agama. Beberapa kali dia bercerita panjang lebar padaku tentang pekerjaannya.

“Mau kiamat gimana Ran?? Tanyaku hanya ingin tahu saja.

Sekarang ini perceraian dimana-mana, dan masalahnya kebanyakan karena perselingkuhan. Yang suami godain anak gadis, yang istri godain mantan pacar. Belum lagi selingkuh uang dan lain-lainnya. Dunia benar-benar mau kiamat, iman manusia semakin diujung galah. Randi terus saja berbicara panjang lebar menjelaskan padaku tentang keheranannya.

“Bener kan Fathiya, dunia mau kiamat?” tiba-tiba Randi memberikan pertanyaan itu padaku yang sempat membuatku gelagapan untuk menjawabnya.

“Eh,..iya,..anggukku dalam, tak berani aku berbicara banyak jika permasalahannya adalah perselingkuhan. Aku merasa mukaku sedang ditampar dengan pertanyaan itu. Tengkukku dipaksa melototi lantai, tiba-tiba ingin rasanya kututup rapat-rapat wajahku karena menahan malu akan pertanyaan Randi.

“Jangan suka main api,..ntar bisa jadi debu, jangan suka main hati,..nanti hati bisa beku menerima kebenaran ilahi. Kata Randi sambil berlalu dari hadapanku yang sedari tadi diam membisu memikirkan setiap kata yang diucapkannya.

Aku semakin berada dalam puncak kesalahan, tiap kali aku mengakui bahwa apa yang terjadi antara aku dan Farhan memang sebuah kesalahan besar. Terlalu banyak hati yang kami sakiti hanya untuk meraih cinta berselimut nafsu antara kami.

Bukan logika dan imanku yang membenarkan ini. Malah imanku yang selalu berlawanan dengan nafsuku yang memaksa hal ini terjadi. Terkadang imanku berkata, tinggalkan Farhan kau masih punya hidup yang jauh lebih baik daripada berada diantara jurang dan serangan rubah yang sewaktu-waktu akan membuatmu terjatuh ke jurang atau malah akan menjadi mangsa yang empuk. Dua-duanya akan berakibat buruk padamu.

Lalu hatiku yang lain berkata, apa salahnya dengan rasa ini. Bukankah aku dan Farhan saling mencintai. Cinta kami begitu suci, bahkan terlalu besar untuk dinafikan. Pergolakan bathin yang terus saja terjadi hampir setiap waktu ketika aku benar-benar merasa telah mengkhianati suami dan anakku.

Bukan hanya mengkhianati keluarga kecilku saja. Aku merasa seperti seorang rubah betina yang menerkam mangsanya tanpa terduga-duga. Aku bahkan kenal baik dengan istrinya Farhan, bahkan terlalu sering aku mendengar curhatnya tentang Farhan kepadaku. Seolah-olah aku telah menjadi sahabat terbaiknya, aku mendengarkan dengan seksama, bahkan memberikannya saran semampuku. Sesekali aku merasa sakit dan cemburu, tapi sisi hatiku yang lain mengatakan bertahanlah atas apapun yang kurasakan pada Farhan.

Aku pikir aku dan Farhan telah mengidap kelainan jiwa yang entah apa namanya. Ketika hubungan ini menjadi sebuah dosa, maka disitulah letak kenikmatannya. Bukankah itu sebuah penyakit kejiwaan yang serius. Kelainan jiwa seperti ini bahkan semakin menjalar ke setiap jiwa-jiwa yang lain dalam kehidupan akhir jaman. Buktinya pengadilan agama sibuk dengan kasus perceraian akibat perselingkuhan. Seolah-olah perselingkuhan bukan sebuah aib lagi pada jaman sekarang ini. Na’udzubillahi min dzalikk…

Astaghfirullahaladzimmm,…ku usap wajahku yang sedari tadi mengenang percintaanku dengan Farhan. Kemana sudah kalahnya imanku dibandingkan dengan nafsuku yang semakin merajai logikaku. Apakah manusia akhir jaman semakin tidak malu memamerkan dosanya. Tiba-tiba air mataku jatuh perlahan…

-----

Adakah yang salah dengan pernikahanku???,…jika kamu bertanya ada yang salah, maka akan selalu tampak kesalahan begitulah jawaban Randi yang mengusik alam sadarku ketika suatu kali aku memberi pernyataan bahwa setiap perselingkuhan selalu berawal dari sebab akibat.

Ada sebuah kalimat yang mengatakan hal seperti ini, kau tidak bisa memaksa orang lain untuk melakukan seperti yang kamu mau, tapi kamu bisa memaksa dirimu sendiri untuk melakukan sesuatu yang orang lain inginkan. Dalam pernikahan memang selalu ada perbedaan, jika masing-masing pasangan benar-benar berniat memperbaiki dan melaksanakan inti dari kalimat itu, kemungkinan perselisihan bisa diminimalisir.

Randi memang jagoan dalam hal memberi pencerahan dalam rumah tangga. Terkadang aku iri melihat rumah tangganya yang senantiasa selalu terlihat harmonis, walaupun mungkin perbedaan kerap terjadi dalam kehidupan mereka.

Lalu bagaimana jika kericuhan rumah tangga diakibatkan campur tangan keluarga?? Tanyaku kemudian. Randi tersenyum kemudian menyeruput minuman cappuccino kesukaannya terlihat dia sangat menikmati minumannya.

Itu tergantung dari sikapmu dan suami. Analoginya seperti ini kamu punya kendaraan, suami adalah supir utama, istri dan anak-anak adalah penumpangnya. Arah tujuan dari kendaraanmu ditentukan oleh kebutuhan dan keinginan bersama. selanjutnya supir yang menjadi penunjuk jalan mengarahkan agar kendaraanmu berjalan dengan baik. Lalu tiba-tiba di tengah jalan kendaraanmu mogok. Yang boleh membantu tentu barang-barang seperti dongkrak, pompa angin dan tugas mereka hanya membantu tapi tidak ikut serta dalam menentukan tujuan perjalanan si pemilik kendaraan ini.

Sebenarnya gampang saja ucap Randi tenang, selama kamu tak membiarkan pihak luar mengutak atik isi dari kendaraanmu dan bahkan sampai mengacaukan arah tujuanmu maka tak akan ada satupun yang mampu mengacaukannya. Setiap orang boleh memberikan saran tapi yang berhak mengambil sari kebaikan dari sebuah saran adalah kamu dan keluargamu.

Analogi yang luar biasa dalam pikiran seorang Randi ketika dia mengibaratkan pernikahan adalah sebuah kendaraan. Lagi menurut Randi, mau tidak mau seorang imam keluarga seharusnya dua kali lipat lebih kuat dari orang-orang yang diimaminya, dan seorang istri sebagai pendamping hidup harus memiliki dua kali tingkat kesabaran dalam mengelola kepentingan dalam rumah tangga. Masing-masing tidak menonjolkan diri atau membanggakan apa yang telah dilakukan. Cukuplah kesadaran masing-masing akan kewajiban sebagai suami ataupun istri.

Rentetan kalimat Randi kali ini begitu menggugah jiwaku. Teringat kembali sesosok wajah Farhan yang menemani hari-hariku belakangan ini. Aku bertanya, apa yang kucari dari seorang Farhan memang tak pernah kutemukan dari suamiku. Sehingga membuat aku semakin ingin memiliki Farhan. Ketika Farhan jauh lebih shaleh dalam kapasitasnya sebagai seorang muslim benar-benar telah membuatku jatuh cinta tiada tara padanya.

Namun karena keshalehannya pula dia meninggalkanku, melupakan kenangan cinta kami dulu yang mulai terajut sejenak. Bukankah wanita baik untuk laki-laki yang baik pula dan wanita pezina untuk laki-laki pezina pula??...aku diam, kali ini mematut wajahku di cermin, melihat apa yang telah aku lakukan selama ini

-------------

Ku baca kembali isi email Farhan yang menyayat hatiku itu. Sebuah bisikan syaithan tak akan membiarkan aku menerima keputusan Farhan yang sepihak meninggalkanku. Jika kuturuti bisa saja akan ku bongkar perselingkuhan ini pada istrinya, tapi apa yang kudapatkan setelah itu hanya dosa dan dosa lagi dan akhirnya aku kecewa.

Berat memang menafikan sebuah cinta yang bercokol kuat di hati, apalagi jika yang dicintai adalah seseorang yang selalu mengingatkanmu untuk melakukan kebaikan. Aku pikir Farhan mengakhiri ini karena tak ingin mencampur sesuatu yang bersifat maksiat dengan yang bersifat kebaikan. Bagaimana mungkin kotoran dicampur madu, pada akhirnya tetap akan menjadi najis.

Ya Allah,…Ya Rabb,..ampuni hamba, biarkanlah cinta ini pergi perlahan tanpa hamba memaksanya, biarkanlah sisa-sisa perih ini digantikan oleh ketulusan hamba untuk lebih mencintaiMu, biarkanlah semua pergi agar tak berlanjut menjadi penyesalan seumur hidupku dan Farhan.

Ku balas email Farhan dengan uraian air mata di pipiku.

Dear Farhan,..
Jujur dalam hatiku sangat perih menerima keputusanmu. Tapi sebagai seorang yang faham agama, tentu ini menjadi ukuran kau menuruti hawa nafsumu atau tidak. Aku sadar kondisi yang kita alami selama ini hanya mendatangkan ketaknyamanan dalam hati dan ibadah kita karena semua ini adalah dosa.

Dengan kekuatan hatiku yang tak seberapa ini, aku ikhlaskan semua telah berakhir antara kita, mulai hari ini dan selanjutnya. Semoga Allah mengampuni kekhilafanku selama ini…Amiiinnn

Regard
Fathya


****
Untuk seorang sahabat,..
Kata merpati,..tak selamanya selingkuh itu indah

Jakarta, 30 April 2010

Aida Maslamah
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi

Minggu, 28 Maret 2010

Kisah Cinta Wanita Rupawan


Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat –Hamka

Wanita itu duduk tepat di sampingku, perutnya yang kelihatan membuncit dapat dipastikan wanita itu sedang hamil. Wajahnya manis, matanya indah aku mengagumi kecantikannya perpaduan wajah melayu oriental dan arab. Tak jarang aku mencoba sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya setiap kali kami bertemu di ruang tunggu pemeriksaan kandungan.

Beberapa kali jadwal pemeriksaan kandungan kami selalu bersamaan. Wanita itu selalu datang sendiri, lalu duduk di sudut ruangan sambil membaca sebuah buku atau Qur’an. Sesekali aku melirik apa judul setiap buku yang dibacanya. Selalu berubah, ternyata wanita itu melumat semua jenis buku tidak terpaku pada sastra saja atau politik saja misalnya. Beberapa kali dia tersenyum padaku, ketika mengucapkan permisi duduk di bangku kosong di sebelahku. Semenjak itu pula aku selalu berusaha memulai sebuah percakapan antara kami.

“Udah trimester berapa mba??” tanyaku membuka percakapan.

“Trimester kedua mba, masuk bulan keenam” jawab wanita itu dengan senyuman.

“Oh,..sama dunk dengan saya timpalku kemudian.

“Hamil anak pertama juga mba??” tanyaku lagi

“Kedua,..jawabnya lagi masih mengembangkan senyumnya.

“Ohya,..saya pikir anak pertama juga...

“Hasil USGnya laki-laki atau perempuan mba” aku kembali bertanya, masih ku tatap mata indahnya. Aku belum menemukan sebuah tanda kurang berkenan dari sorot matanya yang bening. Jadi tetap saja ku lanjutkan bertanya. Entah mengapa aku semakin ingin tahu tentang wanita ini, senyumnya sering menimbulkan tanya. Kembali ennegramku yang dominan pengamat beraksi lagi.

“Anak pertama saya perempuan, kalau yang ini kata obgynnya seh laki-laki. Kalau mba hasil USG nya apa?” sekarang wanita itu mulai membuka pembicaraan dua arah denganku.

“Dokter bilang laki-laki juga mba, tapi saya pengalaman hamil yang pertama ne” aku melirik ke arahnya mencoba mencari kesamaan dari pernyataanku dengannya.

“Hamil yang pertama saya terpaksa melahirkan dengan tindakan cesar, karena sudah tidak ada pembukaan dan bayi saya terlalu besar, tapi alhamdulillah semua sehat-sehat saja, sekarang umurnya sudah 3 tahun cantik dan cerdas lagi” aku menangkap ada nada bangga di balik ucapan wanita itu.

“Ohya, pasti seneng banget ya mba”

“Ya, ucap wanita itu datar lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kata-katanya.

”Tapi saya hanya bisa melihatnya 3 bulan sekali itupun kalo ada kesempatan, karena dia ikut papanya di jakarta” sambung wanita itu kemudian. Sorot matanya yang tajam menunjukkan sesuatu yang bermakna hilang.

“Ehhhmmm,..konsekuensi dari pekerjaan ya mba” ujarku dengan percaya diri.

“Bukan karena pekerjaan, tapi akibat perceraian, pengadilan memutuskan anak saya diasuh oleh bapaknya” aku terdiam mendengar pengakuan wanita yang rupawan ini. Wanita secantik ini bisa diceraikan juga pikirku.

“Oh, maaf mba…saya ga bermaksud mengingatkan mba kepada kisah itu” aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami dengan menyodorkan minuman dingin padanya.

“Tidak apa-apa, sudah berlalu kok setengah tahun yang lalu” ucap wanita itu sambil mengambil botol minuman yang kusodorkan padanya.

Setengah tahun yang lalu?? Baru enam bulan yang lalu berarti massa iddahnya baru berlalu kurang dari dua bulan yang lalu karena massa iddah seorang wanita adalah empat bulan. Ingin sekali aku bertanya jika perceraian itu sudah enam bulan yang lalu. Lalu apakah sekarang wanita ini sudah menikah lagi?? Atau mungkin kehamilan ini hasil dari pernikahannya terdahulu?? Tapi kuurungkan niatku bertanya, aku tak ingin terlalu dalam ingin mengetahui kehidupannya, kecuali jika dia berinisiatif untuk menceritakannya padaku kemudian.

“Eh, sampai lupa kenalkan nama saya Almira” ku sodorkan tanganku ke arah wanita itu, yang langsung disambut hangat olehnya.

“Aurora, panggil saja Rora ucapnya lembut.

Demikian perkenalanku dengan wanita yang menarik perhatianku itu. Wajahnya yang cantik, senyuman yang menghiasi bibirnya yang selalu membuatku ingin mengetahui siapa dia. Entah mengapa ketika berawal dari proses mengamati segala hal, terutama tentang kehidupan wanita lain di luar hidupku. Banyak hikmah di balik kisah hidup setiap orang, mendengar banyak kisah selalu membuatku tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang Allah berikan padaku sampai dengan hari ini.

--------

Hampir dua bulan aku menjadi sahabat baru Rora, komunikasi antara kami tidak hanya di ruang tunggu pemeriksaan kandungan, tapi juga berlanjut di telpon selular dan email. Kedekatan itu terjadi begitu saja, mungkin karena kami berdua sama-sama datang sendiri tanpa suami, Rora memang hanya datang seorang diri, sementara aku terpaksa datang sendiri memeriksakan kandunganku karena suamiku bekerja di luar kota.

“Aku yang salah Mir,..” Rora sesenggukan menahan air matanya yang jatuh berlinang tak tertahankan lagi. Matanya yang bening berubah keruh dan memerah. Aku menatapnya dengan sendu dan haru.

“Aku yang sudah membuat perceraian itu terjadi, aku telah menduakannya, aku menyelingkuhinya dalam hatiku,…” Rora semakin tak sanggup menahan lara yang menyesakkan dadanya saat menceritakan kembali kisah cintanya dulu pada pernikahannya yang pertama.

“Aku merasa belum cukup dewasa dalam bersikap, aku hanya memikirkan apa yang ada di depanku saja, apa yang ada di fikiranku saat itu. Bahkan aku berani menduakan cinta suami yang sangat kucintai”

“Mengapa bisa begitu mba” tanyaku penasaran.

Rora menarik nafas dalam, menatapku lekat masih dengan buraian air mata. Dadanya bergerak naik turun menahan emosi yang berlebihan. Seperti mengumpulkan seluruh kekuatan dalam sebuah start pertandingan sprint atau lari jarak pendek saat dia mulai berbagi kisahnya itu denganku.

----------

Kilas Balik

Aku pikir pernikahanku sangat indah. Setiap hari yang aku lalui penuh dengan kata cinta.
Namun ternyata tembang cinta dalam kehidupan berumah tangga itu tak selamanya indah sesuai irama, terkadang terdengar sumbang, terkadang sering terdengar keluar jalur tangga nada. Tapi begitulah hidup berumah tangga, ada dua kepala yang berbeda latar belakang sifat, didikan dan sebagainya dipertemukan menjadi satu. Tentu terkadang benturan itu hadir tanpa diminta sekalipun. Ibarat sendok dan garpu yang bertemu dalam sebuah piring makan, sesekali akan berbenturan nyaring satu sama lainnya, begitulah juga sebuah pernikahan.

Semenjak menikah aku diboyong ke kota dimana tempat suamiku bekerja dan dilahirkan. Aku pun berhenti bekerja demi bisa hidup bersama-sama di satu kota agar lebih mendapat ketenangan. Awalnya aku ngotot untuk tetap bekerja di kota asalku, tapi mengingat pesan seorang sahabat yang mengatakan bahwa salah satu ciri keluarga sakinah itu adalah selalu bersama, tidak berbeda tempat dalam waktu yang lama. Akhirnya aku mengalah untuk ikut saja, lagi pula aku dan suami ingin segera punya momongan, bagaimana mau cepat dapat momongan jika kami berpisah terus pikirku.

Ternyata tak semuanya indah seperti yang kita harapkan. Aku ikut suami dan tinggal di rumah mertuaku. Berawal dari rasa khawatir jika ibu mertuaku yang sudah melewati usia 60 tahun harus tinggal sendirian di rumah, akhirnya tinggallah kami serumah dengan ibu mertuaku. Dengan adanya aku di rumah, diharapkan bisa menemani beliau ya paling tidak untuk ke pengajian dan teman ngobrol di saat senggang.

Aku sangat hafal ketika pak ustadz berbicara berulang kali di pengajian. Bahwa manusia itu ibarat lingkaran, kondisinya akan terus berputar seperti sedia kala. Saat bayi di lahirkan tanpa kemampuan untuk duduk, berjalan dan sebagainya. Kemudian kondisi itu juga akan hadir kembali ketika usia telah lanjut. Barang siapa yang dipanjangkan umurnya maka akan dikurangi nikmat fisiknya.

Mungkin karena seiring pertambahan umur tadi maka semakin berkurang nikmat fisik dan kemampuannya pula, maka tak jarang orang yang sudah tua akan cenderung lebih cerewet daripada saat dia masih muda. Awal-awalnya aku mencoba memahami itu, bersikap sabar dengan kondisi ini. Tapi lama kelamaan aku pikir kondisi ini semakin tidak sehat terutama untuk rumah tangga kami.

Memang tak bisa dipungkiri perasaan seorang ibu yang selalu berupaya melindungi anaknya.
Tak jarang yang merasa bahwa anaknya tetaplah seperti anak kecil di mata seorang ibu, padahal si anak sudah beranjak dewasa, sudah memiliki tanggung jawab atas anak dan istrinya pula. Namun tetap saja pikiran seorang ibu ingin mengayomi anaknya, takut kehilangan anaknya. Sehingga segala sesuatu seorang ibu cendrung ingin diikut sertakan dalam kehidupan anaknya bahkan terkadang keinginan itu melebar ke segala hal yang semestinya tidak perlu dijangkau oleh seorang orangtua.

Ingin sekali aku melepaskan beban bathinku yang terus saja kupendam. Hidup dengan segala kecukupan di rumah mertua tak serta merta membuat hatiku tenang. Jika boleh memilih tinggal di rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar sajapun bukan masalah buatku, apalagi aku bukan berasal dari keluarga yang kaya raya. Jadi bersusah-susah bukanlah hal yang aku hindari dalam hidup ini. Hal ini sangat kontras dengan suamiku yang sudah terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Bagaimanapun aku pun tak bisa menyalahkannya, aku hanya bisa berulang kali meyakinkannya bahwa suatu saat kami mampu mandiri.

Setahun, dua tahun, tiga tahun telah berlalu namun tak ada yang berubah. Aku kembali menahan perasaanku hampir tanpa keluhan, ibu mertuaku tetap ikut campur dari hal-hal yang kecil tentang rumah tangga kami bahkan hingga ke urusan pengaturan keuangan. Aku semakin tertekan dengan sikap suami ku yang sangat sensitif setiap kali mengajaknya membicarakan tentang rencana mengontrak rumah.

Situasi seperti ini terus saja berjalan tanpa penyelesaian. Aku sadar kondisi seperti ini semakin memperparah hubungan kami. Kondisi seperti ini jika semakin dipupuk tentu semakin menimbulkan penyakit, laksana bisul yang semakin lama semakin membesar dan siap meledak.

“Bersabarlah,..sebagai anak tentu harus lebih sabar dari orangtuanya” hanya itu yang dikatakan suamiku tiap kali aku merasa kurang nyaman dengan sikap mertuaku, ya bersabar hanya itu yang aku lakukan. Berulang kali aku membaca surah Al-Hasyr ayat 10 dan surah Ali Imran ayat 159 ketika rasa kesal itu semakin hadir di hatiku. Berulang kali aku membacanya sehingga aku sudah hafal dengan artinya bahkan. Namun bagaimanapun penyakit tetap harus dicari obatnya, tidak mendiamkannya tanpa ada penanganan, seperti sel kanker yang tak terdeteksi perlahan-lahan namun pasti membayangi nyawa manusia.
Apakah hanya itu masalah dalam rumah tanggaku?? Tidak,..bukan hanya itu. Aku menyadari ada yang salah dalam komunikasi kami yang hampir hanya berlangsung lewat telpon saja.

Kebiasaan suamiku yang menjadi sosok pendiam ketika sudah tiba di rumah sehingga membuat hubungan kami hanya sebatas mengucapkan hai dan hello. Suamiku sering pulang di atas jam 9 malam bahkan lebih, dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan makan dan menonton telivisi berjam-jam. Aku merasa ketika di rumah dia enggan bercerita banyak, lalu membiarkan aku dan anaknya tidur. Keesokan harinya dia kembali bekerja dan begitu lagi dan begitu lagi.

Aku tak ingin membenarkan apa yang aku lakukan. Karena bagaimanapun perselingkuhan tetap haram dalam sebuah pernikahan. aku membagi resahku dengan laki-laki lain bukan suamiku setelah mencoba membicarakan segala hal dengannya tanpa mendapatkan solusi yang tepat dan baik untuk kami semua. Seharusnya aku tidak lelah untuk membina komunikasi tapi aku terlanjur lelah sehingga perselingkuhan itu terjadi.

Belum selesai masalah komunikasi antara kami, lagi-lagi kesedihan hatiku ditambah dengan perlakuan suamiku yang sama sekali berubah. Suamiku tak pernah memberikan nafkah batin untukku lagi semenjak kehamilan anak pertamaku. Aku tak pernah menyadari ketika tanpa kebutuhan biologis antara kami benar-benar memberikan perubahan dan akibat yang sangat hebat dalam rumah tangga kami. Aku yakin semua telinga yang mendengar hal ini akan menyatakan hal yang sama, ada apakah gerangan di balik semua ini???

Dalam Fiqh Islam hal ini bisa dikategorikan dengan ILA’ atau sengketa batin adalah ketika seorang suami yang bersumpah tak akan menggauli istrinya dalam waktu yang tidak ditentukan. Sumpah ini bisa diucapkan di depan banyak orang ataupun tidak diucapkan tapi dilakukan secara diam-diam kepada istrinya. Ya, suamiku tak pernah memberikanku nafkah batin selama setahun semenjak aku hamil anak pertama kami, kemudian setelah anak kami lahir kondisi itu juga tidak berubah. Dia menggauliku hanya di saat dia ingin menggauliku saja, terkadang 5 bulan sekali, terkadang 3 bulan sekali.
Kondisi ini semakin memperparah kejiwaanku. Aku berubah menjadi pendiam dan tegang.

Rasanya hilang sudah rasa maluku untuk meminta digauli selayaknya seorang istri. Tak jarang aku menutup wajahku dengan bantal menahan tangisku saat dia berkali-kali menolak mencumbuiku. Ku lebur hasratku dengan berpuasa sunnah untuk menahan hal-hal yang tak diinginkan karena kebutuhan biologisku yang tak kunjung dipenuhi. Sungguh tersiksa rasanya ketika intuisiku sebagai istri mengatakan suamiku tak pernah menginginkanku lagi. Seperti boneka usang yang tak terlalu menarik lagi untuk diajak bermain, akhirnya aku hanya dipajang, jika suatu kali bosan dengan boneka yang lain maka dia akan mengajakku kembali untuk bersenda gurau.

Tidak,..aku tidak tahu apakah suamiku mendua hati di luar sana. Aku juga tak pernah mencari tahu walaupun terkadang terbaca olehku kata-kata cinta dari seorang wanita. Tapi lagi-lagi aku tak ingin memikirkannya, walaupun aku sempat merasakan cemburu dan rasa sakit yang menjalar sejenak di hatiku. Kembali aku ingat kata-kata suamiku seperti sebuah sugesti tertanam tepat dalam memory ingatanku “aku mencintai anakku, berarti aku juga mencintai ibunya, apapun yang terjadi aku tak akan menyakiti istri dan anakku”.

Ku akui kata-kata itu seperti sebuah hipnotis untukku agar selalu percaya padanya. Aku tak pernah berfikir bahwa dia berlaku aneh di belakangku, atau dia menyelingkuhiku atau bahkan telah menikah di belakangku dengan cara nikah sirri. Sama sekali aku tak ingin memikirkannya walaupun dia tak kunjung memberikanku nafkah batin. Aku masih berusaha untuk sabar.

Suatu hari aku bertanya pada seorang ustadz. Apa sebenarnya hukum jika suami tak pernah menggauli istrinya lagi?? Dengan panjang lebar pak ustadz menjelaskannya padaku. ILA’ hanya boleh dilakukan oleh suami apabila istri melakukan kesalahan, tapi dalam waktu 4 bulan harus kembali berbaikan jika si istri sudah berubah menjadi baik atau jika tidak bisa dilanjutkan dengan perceraian. Yang kedua jika ILA’ terjadi karena suami tidak mau menggauli istri atau dalam kondisi tidak mampu menggauli maka boleh diajukan permohonan cerai atau si istri bisa bersabar dengan sebenar-benarnya.

Terdiam aku mendengar penjelasan pak ustadz. Bercerai?? Ah, tidak boleh sejauh itu. Mungkin saja suamiku kelelahan jawab hatiku karena begitulah selalu jawaban yang ku peroleh tiap kali aku bertanya mengapa dia tak menggauliku lagi, tapi mengapa kelelahan terus saja berbulan-bulan??timpal hatiku yang lain pula. Bukankah aku juga lelah mengurusi rumah dan anak seorang diri tanpa pembantu pula?? Tapi aku tetap ingin melaksanakan tugasku sebagai istri yang melayaninya dengan baik.

Pernah kutemukan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dikatakan bahwa jika seorang istri menolak digauli oleh suaminya maka wanita itu akan dilaknat Allah. Ingin sekali aku memperoleh keterangan jika kondisinya dibalikkan. Bagaimana jika suami yang menolak ajakan istrinya, apakah si suami juga akan dilaknat Allah??...namun aku tak pernah menemukan satupun hadist yang menggambarkan kondisi sebaliknya. Akhirnya aku hanya menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa suami yang terbaik adalah yang memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya.

Ku buang jauh-jauh setiap tanya dan kemungkinan dalam hatiku. Walaupun akhirnya aku merasa bahwa suamiku seperti tak tertarik lagi padaku atau bahkan tak menginginkanku lagi. Hanya lelahkah?? Dulu bagiku jawaban itu sudah cukup, suamiku lelah maka aku harus mengerti. Aku terlalu malu meminta lagi ketika setiap kali ditolaknya, akhirnya aku hanya diam dan pasrah menunggu kapan dia akan mendekatiku lagi.

Seiring waktu tahun keempat sudah pernikahan kami, aku mulai merasakan kejenuhan itu.
Tanpa ada kemesraan, tanpa komunikasi dua arah. Tak ada kondisi saling berbagi cerita lagi, semua itu hilang entah kemana seperti asap yang mengepul ke atas hilang bersama partikel-partikel udara. Tapi aku tak mau kalah dengan keadaan ini, aku tetap ingin mempertahankan pernikahanku sampai seseorang yang berada di masalaluku kembali hadir lagi menghiasi hari-hariku.

---------

Laki-laki itu mantan pacarku, dulu kami pernah hampir menikah. Aku memperoleh nomer telponnya lewat jejaring pertemanan di internet dari seorang sahabat lama kami. Semua berawal dari sebuah pesan singkat lalu berlanjut di telpon. Akhirnya komunikasi itu semakin lancar ketika kami berdua sama-sama mencurahkan isi hati dari masalah-masalah dalam rumah tangga kami.

Lagi-lagi aku tak ingin menyatakan ini benar. Bagaimanapun masalah rumahtangga cukuplah hanya diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Aku sadar aku salah, tapi nafsu terlalu memasung hasratku untuk melangkah dalam jalur yang tidak benar. Kehadiran laki-laki itu seperti menutupi kesedihan yang kurasakan selama menjadi istri yang tersia-siakan.

Hubungan kami hanya berlangsung lewat telpon. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya, semua pembicaraan kami selalu disampaikan via telpon atau email. Ketika masalah hadir aku cepat-cepat mencarinya untuk berbagi. Awal-awalnya semua biasa saja, tapi lama kelamaan sisa-sisa cinta di masalalu antara kami akhirnya berkuncup juga bahkan mulai mekar seolah-olah tak perduli di antara kami ada terlalu banyak alasan untuk mengakhiri semua kisah lalu itu.

Perselingkuhan via telpon itu berlangsung enam bulan sudah. Perasaanku padanya semakin menggebu-gebu di tengah hubunganku dengan suami yang semakin rumit. Aku tahu, ini bukan alasan atas legalisasi perselingkuhan. Bagaimanapun semua ini harus diakhiri ucapku dalam hati. Kupaksakan hatiku untuk mengakhiri semuanya, kembali ku ingat romantisme saat pertama kali menjadi pengantin baru. Kembali ku buka foto-foto ku dan suami saat masih pacaran dulu, ku coba mengingat kembali bahwa kami juga pernah merasakan bahagia itu dulu.

“aku tak ingin hubungan ini terlalu jauh, aku harap kau mengerti. Walaupun ada yang salah dengan pernikahan kita masing-masing, tapi aku sangat sadar hubungan lain yang terajut di tengah badai rumah tangga juga merupakan kesalahan terbesar” ku akhiri emailku buat sang mantan kekasihku dulu. Semua harus berakhir, sekarang juga tekadku di hati. Memang sejak saat itu tak ada komunikasi apapun antara kami.

Dulu bagiku setiap permasalahan apapun itu pasti ada jalan keluarnya. Tapi perselingkuhan memiliki tingkat penanganan yang lebih serius, ketika berselingkuh akan ada perbandingan antara pria idaman lain dengan suami sendiri. Terkadang nafsu dan syaitan terlalu pandai memainkan perasaan manusia, padahal belum tentu apa yang kita inginkan akan indah seperti yang kita bayangkan.

“Apa ini….” Suamiku melemparkan handphoneku di atas kasur sebelum aku beranjak tidur.
Aku hanya diam saat matanya melotot menahan marah yang menyelubungi setiap sendi tubuhnya.

“Sekarang juga,…bereskan pakaianmu, keluar dari rumahku” aku menatap tak percaya atas apa yang dia lakukan, ini sudah jam 11 malam, aku harus kemana dengan tanpa uang dan tanpa saudara seorangpun di kota ini. Bukankah dalam kelam malam selalu ada kejahatan yang tersembunyi, lalu bagaimana dia tega mengusirku di tengah malam seperti ini.

Aku sujud tersungkur di kaki laki-laki yang dulu pernah membahagiakanku. Sekarang tanpa bertanya banyak, tanpa meminta penjelasan dariku dia mengusirku dengan cara yang sangat hina. Mungkin benar aku tak pernah pantas mendapatkan kata maaf, tapi seburuk apapun yang telah aku lakukan, bukan berarti dia boleh bentindak semena-mena padaku. Bukankah dulu dia mengambilku dari kedua tangan orangtuaku dengan cara yang baik, lalu mengapa dia ingin mengembalikanku tanpa mengantarkannya kembali dengan cara yang baik pula??

Apakah dengungan cinta yang membahana ruang hati kami dahulu telah sirna atau mungkin suamiku merasa terhina atas perselingkuhanku. Entahlah apapun alasannya, aku merasa perlakuannya kali ini lebih menyakitkan daripada alphanya dia memberikanku nafkah bathin. Masih beruraian air mata, perlahan kumasukkan beberapa baju ke dalam tas besar lalu memasukkan juga beberapa baju anakku.

“Tidak,…baju Wiena tidak boleh dibawa, dia akan tetap di sini bersamaku bukan bersama ibu yang tak tahu diri seperti dirimu”

Kata-kata suamiku begitu tajam kurasakan menyayat hatiku. Apakah aku harus membela diri dengan mengatakan aku menyesal dan aku telah mengakhiri hubungan dengan mantan pacarku karena ingin mempertahankan pernikahan kami??? Apakah dia masih mau mendengarkan ketika cinta yang menyatukan kami telah lenyap dalam pekatnya amarah..., Tuhan mungkin punya rencana yang lain, suamiku menendangku dari ikatan yang menyatukan kami. Bahkan dengan teganya dia memisahkan aku dari anak yang sangat kusayangi.

Aku tak ingin membela diriku, karena mungkin aku tak punya hak untuk membela diri.
Dengan segala keresahanku ku tampung semua duka hatiku ketika kukuatkan hati bahwa aku telah diceraikan dengan cara yang sangat menyakitkan. Apakah dia akan mendengarkan bahwa aku tersiksa dengan semua perlakuannya selama ini????... Apakah dia mau tahu penyebab dari semua ini???..ingin sekali aku meneriakkan di wajahnya dimana janjinya yang ingin membawaku ke syurga?? Dimana janjinya untuk selalu bisa menjadi imam dalam shalat jama’ah kami, dimana janjinya untuk bisa membangunkanku tahajjud bersama??...aku hanya diam ketika dia mengusirku dengan segala ketakberdayaanku.

Kulangkahkan kakiku bersama hancurnya tiap keping jiwaku, kukecup lembut kening anak semata wayangku yang masih tertidur pulas.

“Maafkan bunda sayang,…bunda bertahan untukmu, tapi bunda tak berdaya untuk membawamu serta,..bunda Cinta Wiena”

Malam itu aku benar-benar bisa merasakan bagaimana rasanya tanpa arti lagi. Langkah gontaiku di pekat malam semakin membuat kesendirian ini begitu terasa. Aku istri yang tak berbudi, aku ibu yang tak bertanggung jawab. Semua kata-kata itu seperti bayangan gelap mencekam yang membuntuti setiap langkahku. Aku telah tercampakkan, sangat dalam.

Masih kutatap bayanganku dalam redup lampu-lampu rumah yang menerangi mata kakiku untuk melangkah. Langit hitam, tanpa bintang dan bulan. Tak seorang pun yang menahanku untuk pergi. Semua diam, hanya isak tangisku saja yang kudengar hingga menembus kepekatan malam yang lengang.

Bagaimana ku tatap duniaku lagi yang memandangku penuh benci ketika hembusan perselingkuhan itu menjadi topik utama dalam sidang perceraian kami. Semua melihat akibatnya tanpa mencari penyebabnya. Harus ku kemanakan hatiku jika bukan karena iman aku sudah meminta Allah mencabut nyawaku. Karena isu perselingkuhan itu pula, hak asuh anak semata wayangku jatuh pada suamiku. Serasa dunia kiamat di depanku, serasa beribu gunung yang runtuh di depanku seketika.

Seburuk apapun aku akan bangkit, sekeras apapun terjangan itu aku harus kuat. Terakhir kali suamiku menggauliku ternyata membuahkan seorang janin di kandunganku. Tapi lagi-lagi aku harus dua kali lebih sabar dan kuat ketika anak yang ku kandung dianggap menjadi insan yang tak diinginkan ayahnya karena menurut suamiku janin yang kukandung bukan anaknya.

Lengkap sudah penderitaanku, ku kepakkan sayap lemahku demi anak yang dititipkan Allah padaku. Aku hanya ingin menjadi ibu yang shaleh. Aku hanya ingin membahagiakan anakku, walaupun mati-matian ku kumpulkan setiap pundi-pundi ketegaranku. Bagaimanapun aku hanya manusia biasa, wanita biasa yang terkadang lemah jika diterjang dari segala arah, terkadang sayapku juga terasa sakit akibat patah kena hantaman kehidupan. Tapi aku harus bangkit, tak ada gunanya meratapi yang lalu hanya akan menyisakan perih yang tak pernah usai.

------

Aurora masih terisak dalam pelukanku, aku bisa merasakan beban berat yang dia pikul sendiri saat ini. Tubuhnya berguncang hebat menahan air mata yang mengalir. Ku tatap ada sorot mata penyesalan, tapi aku juga melihat ada sorot kelegaan. Antara menyesal telah melakukan sebuah kesalahan dengan kelegaan terlepas dari beban bathin yang telah menghadangnya selama berumah tangga.

“Mira,…menurutmu apa aku ibu yang baik??

Ku anggukkan kepalaku sambil memberikan sapu tangan pada Rora. Sebersit aku menatap kagum pada wanita satu ini. Beban hidupnya begitu berat, kenyataan hidupnya begitu pahit untuk dipikul sendiri. Bukankah Allah Maha Pengampun atas setiap dosa yang dilakukan?? Bukankah Allah Maha Penyayang sehingga Rora mampu menjalani ini semua.

Tapi setiap hati memiliki cara merasakan masing-masing pada setiap masalah. Mungkin Rora salah telah berselingkuh lewat dunia maya, tapi bukan berarti suaminya juga suami yang baik untuk seorang Rora. Tak ada seorangpun yang tahu bagaimana aib itu tersingkap dan tersimpan dengan baik.

Diam aku menatap sajadah panjangku setelah menghabiskan bacaan surah Ar-rahman. Wahai yang Maha Sayang,..sayangilah hamba dan suami hamba untuk selalu berjuang mempertahankan pernikahan kami dalam kasih dan sayang. Wahai yang Maha Pengasih Kasihilah wanita-wanita yang teraniaya hatinya, ampunilah khilafnya dalam sebuah tabir penyesalan,..Amiennn

Untuk Wanita yang menghampiriku
Dengan genangan air mata
Ahris Nafsaka anittadbir (Ringankanlah dirimu atas apa yang menjadi kehendakNya)

Jakarta, 28 Maret 2010
Aida affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi

Jumat, 19 Maret 2010

Wanita Kedua Itu Sahabatku


aku bertanya padamu,….
Bukankah sahabat berarti berbagi, peduli dan memaafkan sahabatnya??
Tapi kau menjawabnya,…
Sahabat berarti berbagi, peduli dan mengambil orang yang dicintai sahabatnya,..


Luka tetaplah sebuah luka, walaupun telah ditelan waktu sekalipun mungkin luka itu masih tetap tersisa di hati. Dulu ku pikir meminta maaf adalah sesuatu hal yang sulit untuk di lakukan, namun ternyata berada di posisi memberi maaf tanpa menyisakan perih dan dendam jauh lebih sulit dari apapun. Namun akhirnya aku sadar itulah sejatinya perjuangan sebuah hati.

Seperti bebatuan yang jatuh tepat di ubun-ubun kepalaku laksana siksaan batu neraka yang dikirimkan Allah untuk ummat Nabi Luth. Dalam keadaan berjuang hidup dan mati, aku benar-benar tak percaya, ketika aku mendapati kenyataan bahwa wanita yang telah bertahun-tahun menjadi sahabatku menambatkan hatinya pada seorang laki-laki yang justru adalah suamiku sendiri.

--------------

Tiga tahun yang lalu saat di sebuah training pengembangan diri aku bertemu dengan Shinta. Seperti seorang gadis kecil sikapnya sangat manja, mungkin karena umur kami yang terpaut 5 tahun. Shinta memang lebih muda dariku, tapi entah mengapa antara kami hadir sebuah kecocokan hingga terjalin persahabatan itu. Mungkin karena sikapku yang berperan sebagai kakak dan shinta sebagai adik yang manis.
Shinta memang seperti malaikat, dia selalu ada di saat aku sangat membutuhkannya bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Bak seorang ibu peri dengan tongkat ajaibnya dia membuat anak-anakku jatuh hati padanya. Setiap pulang dari tempatnya bekerja Shinta selalu menyempatkan mampir ke rumahku hanya untuk membawakan mainan dan kroket kesukaan anak-anakku.

Apa yang harus aku katakan, wanita ini memang mampu mengalihkan perhatian semua orang karena kebaikan hatinya. Ya, Shinta bukan hanya baik tapi aku pikir Shinta juga sedikit berbeda, di saat yang lain membenarkan apa yang aku lakukan, tapi Shinta selalu menjadi sisi yang menunjukkan aku arah yang benar. Yah, aku pikir memang semestinya seorang sahabat menunjukkan sesuatu yang benar bukan selalu membenarkan apa yang kita lakukan.

Tak ada satupun yang menyangka bahwa persahabatan kami akan berakhir seperti ini. Tak terfikirkan olehku bahwa wanita yang childish itu mampu menaklukkan semuanya. Tak terfikirkan olehku bahwa wajah yang seolah-olah tanpa dosa itu mampu memporak porandakan semua pondasi hatiku. Sungguh, sama sekali tak terfikirkan olehku karena aku terlalu mempercayainya.

Aku tak pernah melihat sisi yang lain dari seorang Shinta. Selain ku akui Shinta memiliki wajah yang cantik, tubuh bak model catwalk tak kurang dari 170 cm tingginya. Mungkin di situlah letak sex appeal nya seorang Shinta sehingga membuat suamiku jatuh cinta lagi.

Aku ingat pertama kali saat aku meperkenalkan Shinta pada suamiku. Tak terbersit sedikitpun di hatiku untuk mencurigai mereka sama sekali, bahkan gelagat bahwa mereka akan mengkhianatiku di kemudian haripun tak pernah benar-benar kurasakan. Walaupun terkadang mereka asik bermain dan berbincang bersama anak-anakku di taman belakang rumah kami di saat aku sibuk di dapur dengan macaroni schuttle, aku tetap merasa bahwa kondisi itu wajar atau mungkin karena aku terlalu mempercayai mereka. Aku memang tak menaruh curiga sedikitpun sampai suatu hari itu dimulai ketika dokter memvonisku positif mengidap kanker serviks atau kanker leher rahim.

---------

Seperti wanita yang kehilangan kepercayaan diri ketika vonis itu dijatuhkan padaku. Mendadak aku ingin sendiri, merenungi apa yang harus aku lakukan setelah ini. Hidupku benar-benar hampa dengan berita itu. Kadang ku coba bangkit mengingat anak-anakku yang masih balita, siapa yang akan mengasuh mereka jika ibunya hilang semangat untuk bertahan hidup.

Dalam keadaan seperti itu Shinta hampir selalu hadir. Tak dapat kutampik aku merasakan betapa besar pengaruhnya saat itu. Dia selalu menyemangatiku untuk tetap optimis bahwa aku pasti sembuh, bahwa aku pasti kembali sehat. Dia selalu memompa semangatku tiap kali rasa lemah itu hadir. Terkadang dia hadir dengan leaflet berisikan tentang info pengobatan kanker serviks. Terkadang dia juga membawakanku obat-obatan tradisional guna mengurangi penyebaran sel kanker sebelum penanganan medis dari dokter dilakukan.

Seperti pepatah jawa Tresno jalarang suko kulino, ya cinta itu hadir karena sering bersama. Semua berawal saat kami sekeluarga ke singapura. Suamiku sengaja mengajak aku dan anak-anak jalan-jalan ke singapura untuk mengurangi stresku sebelum melakukan pembedahan sel kanker pada leher rahimku. Menurut dokter sel kanker yang menyerangku masih bersifat karsinoma in situ atau kanker yang terbatas pada lapisan serviks luarnya saja, dengan bantuan pisau bedah atau pun melalui LEEP (Loop electrosurgical excision procedure) seringkali sel kanker dapat diambil. Walaupun kemudian aku harus bolak balik kembali untuk pap smear setiap tiga bulan sekali.

Entah mengapa mungkin karena rasa percayaku pada suami dan Shinta, dengan tanpa maksud apapun aku minta ijin pada suamiku agar mengajak Shinta ikut serta ke Singapura dengan semua biaya ditanggung oleh suamiku. Sungguh itu terjadi di luar keinginanku, di luar kontrolku untuk segera mendeteksi rambu-rambu penunjuk tanda bahaya itu.

“Bukankah sebuah perselingkuhan terjadi karena adanya sebab akibat” ungkap suamiku suatu hari saat membela diri.

Ya, sebab aku terlalu mempercayai suamiku dan Shinta. Ya, sebab aku memberikan kesempatan waktu untuk mereka berdua mencurahkan signal-signal cinta yang telah hadir sejak lama. Di situkah letak kesalahanku?? Apa karena Shinta lebih muda dariku??? Apa karena Shinta lebih cantik dariku?? Apa karena Shinta selalu hadir di saat aku gundah menerima kenyataan bahwa aku mengidap kanker??

Ah, laki-laki…apa demikian mudahnya untuk jatuh cinta lagi?? Apa demikian visualnya seorang laki-laki ketika yang hadir di depan mata jauh lebih cantik dan lebih muda daripada yang sudah menemaninya berjuang hidup bersama selama 7 tahun yang lalu??,…Ah, laki-laki seperti tak pernah habis waktuku untuk menelusuri bagaimana sebenarnya cinta itu hadir begitu saja antara mereka.

Tak ada seorangpun yang menyampaikan padaku bahwa mereka mengkhianatiku. Sungguh, tak seorangpun yang khusus datang menyampaikan apa yang telah mereka lakukan di belakangku. Tapi Tuhan telah menyampaikannya padaku dengan cara Nya sendiri tentang kenyataan yang mengiris hatiku itu. Hampir aku tak bisa menerima kenyataan ketika pertama kali dalam keadaan setengah sadar pasca pembedahan dan kesakitan di ruang rawat inap, ku lihat di sudut ruangan suamiku memeluk Shinta dengan mesranya. Mereka benar-benar telah menempatkan sebuah posisi yang lebih besar untuk sesuatu yang bernama “Nafsu”.

Mereka tak menyadari dalam keadaan samar aku masih bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan. Mereka tak menyadari dalam keadaan setengah sadar sekalipun hatiku masih merasakan sesuatu yang janggal telah terjadi di sekitarku. Berulang kali aku bertanya dalam hatiku, apa mereka tak berfikir seketika sewaktu-waktu aku bisa saja terbangun atau dua orang anakku bisa saja terbangun mendapati perbuatan mereka yang sudah sangat keterlaluan.

Oh Tuhan,..sudah berapa lama mereka melakukan ini padaku. Dengan bermodalkan rasa kepercayaanku mereka benar-benar telah menghancurkan semua pengharapanku. Seketika aku ingin mati saja, dalam keadaan masih lemah, dalam keadaan masih merasakan sakit aku benar-benar memohon pada Tuhan agar nyawaku diambil saja. Aku sungguh tak mampu bertahan menerima kenyataan telah dikhianati oleh suami yang sangat kucintai dan oleh seorang sahabat yang sangat kusayangi.

Ya Rabbi,..kemana harus kutambatkan hatiku jika bukan Engkau yang menerimaku. Ya Allah, kemana kuharus mengadukan resahku jika bukan Engkau yang Maha mendengarkannya. Hamba lemah ya Allah diperlakukan seperti ini. Hamba lemah ya Allah, hamba hanya manusia biasa yang hatinya juga merasakan sakit yang teramat dalam. Kemana hamba harus membuang lara jika bukan Engkau yang menguatkan hamba.

Aku menangis dalam tanyaku pada Allah, rasa sakit itu bukan main telah menjalari sekujur tubuhku. Lebih ganas dari sel kanker yang diam-diam menggerogoti tubuhku. Lebih sakit dari bekas luka operasi yang baru saja ku jalani. Sakit, sungguh sakitnya tak terperi.

Aku hanya diam dan menyimpan semua yang telah kuketahui tentang pengkhianatan mereka padaku. Aku memilih diam dan bertahan demi anak-anakku. Anak-anakku masih terlalu kecil untuk mengerti tentang hal ini jika tiba-tiba aku melepaskan amarahku di depan mereka, namun ternyata dengan diam semakin menyiksaku, menyiksa semua pertahananku untuk tetap tenang dan berfikir. Tapi ku pikir aku harus tetap bertahan.

--------

Ternyata perjalanan ke singapura merupakan salah satu jalan ketika semua kebathilan yang tersembunyi di balik mata itu terbuka juga dengan izin Allah. Aku masih tetap diam, diamku bukan berarti aku rela dan menyerah dengan semua keadaan ini. Mereka masih tetap bersikap manis di depanku dan bercumbu di belakangku seolah-olah aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh ini sebuah hal yang memuakkan.

Hari ini, mungkin menjadi suatu hari yang tak pernah terlupakan seumur hidupku. Kupaksa Shinta menemaniku makan siang di luar, tentu saja di luar kebiasaanku yang tak pernah sekalipun menemuinya di jam makan siang.

Aku menangkap mata itu resah, sikapnya serba salah. Tak seperti biasanya shinta menjadi seorang yang sangat pendiam. Dia masih mencoba tersenyum, walaupun ku tahu itu bukan sebuah senyuman dari hati seperti yang selama ini kulihat. Tiap kali kucoba menatap matanya, kembali shinta memainkan jari-jarinya untuk kesekian kalinya pula.

“ada apa, mengapa sikapmu begitu gugup Shin” ucapku basa basi

“banyak kerjaan di kantor mba” jawab Shinta mencoba mengalihkan arah pertanyaanku.

“aku ga akan lama kok Shin, aku pingin ketemu kamu untuk mengungkap suatu hal saja” jawabku santai sambil melirik ke arah Shinta. Ku lihat wajahnya berubah pucat, matanya semakin setia menekuri setiap sudut meja di hadapan kami.

“apa kau mencintai Mas Rangga??” tanyaku menantang kejujuran Shinta.

“eeehhh,..kok mba nanya nya gitu?” Shinta semakin gugup.

“jawab saja, apa kau mencintainya?? sejauh apa Shin,..apa kalian sudah melakukannya selayaknya suami istri” aku semakin memburunya, emosiku terpancing juga dengan ketidakjujuran Shinta.

“mba,..mba ngomong apa??siapa yang berusaha merusak persahabatan kita mba??” Shinta berdalih, tapi kali ini dia gagal karena aku sangat faham bagaimana sifatnya seorang Shinta.

“Kamu Shin,..kamu yang merusak persahabatan kita, sampai saat ini aku terus mencari dimana letak kesalahanku sehingga kau dan mas Rangga berani berbuat ini padaku.
Tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang pengkhianatan kalian, tidak,… tidak,.. seorangpun hanya Allah saja. Aku dan anak-anak mungkin tidak tahu dosa yang kalian lakukan di belakangku, tapi Tuhan, apa Dia tidur menyaksikan semua dusta yang kalian lakukan?? Shinta sama sekali tak menjawab bahkan dia sama sekali tak berani membela diri.

“mengapa diam??,..katakan, apa aku pernah sangat menyakiti hatimu Shin, kalau memang benar aku pernah menyakitimu aku bersedia minta maaf tapi bukan berarti kau boleh berbuat ini padaku..sudah sejauh apa?? Jawab pertanyaanku,..suaraku agak sedikit keras dan terkesan membentak Shinta, beribu kali ku kuatkan hatiku untuk tak setitikpun menitikkan air mata, aku tak ingin Shinta melihat aku begitu lemah dengan peristiwa ini.

“maafkan aku mba, aku sungguh tak ingin membuatmu terluka. aku tak sengaja jatuh cinta pada mas Rangga, mas Rangga juga demikian semua terjadi begitu saja” shinta menitikkan air mata berusaha menjangkau jemariku di atas meja mencoba untuk meyakinkanku.

“itu pembelaanmu Shin,..kau benar-benar telah menyakitiku dengan mengambil semua rasa kepercayaanku padamu, katakan padaku jika kau berada di posisiku apa kau akan memaafkan kesalahan seperti ini??” apa kau tidak terluka dikhianati Shinta,..jawab aku apa kau masih punya hati untuk merasakan apa yang aku rasakan sekarang?? Coba Shinta,..coba kau rasakan detak amarah yang terus mengalir di setiap jantungku”kutarik dengan paksa tangan Shinta untuk merasakan detak di dadaku.

Shinta semakin sesenggukan dengan semua pertanyaanku. Hatiku sangat hancur bahkan ku tak mampu menangis lagi di depan wanita yang telah menghancurkanku dan rumah tanggaku. Katakan, apa aku salah telah menghakimi Shinta, aku tak bisa menafikan bahwa semuanya terjadi karena ada yang menawarkan dan ada yang menerimanya. Mungkin suamiku yang memulai dan shinta menerimanya, atau bisa saja shinta yang memulai lalu suamiku mengabulkannya.

“katakan,..aku harus bagaimana sekarang??, apa kau pikir luka ini bisa hilang secepat ketika kau menorehkannya?? Entahlah,..antara kita berdua harus ada yang mengakhiri ini. Jika bukan kau tentu aku”…kutarik nafas dalam-dalam, percuma aku menguras energy untuk tetap marah pada shinta. Aku berlalu meninggalkannya dengan amarah yang meluap-luap di dadaku. Terlalu lelah untuk menata hatiku jika terus berhadapan dengannya, bagaimanapun aku ingin lebih bijaksana dalam menyikapi ini.

-------------

Aku bahkan tak punya tenaga lagi saat kudapati suami yang sangat kubanggakan malah menyalahkanku atas semua kejadian ini, menyalahkanku karena beberapa kelemahanku, menyalahkanku untuk alasan yang kurang relevan dan tak berhubungan dengan kehadiran Shinta di hatinya. Mas Rangga sama sekali tak ingin disalahkan, lalu siapa yang salah?? Aku kah yang salah karena tidak mengerti cinta mereka. Oh,..ini sungguh terlalu.

“mengapa kau harus menghakimi Shinta?? Bukankah aku juga bagian dari masalah ini” kata-kata mas Rangga begitu menyayat hatiku, kata-kata itu menghujam tepat pada jantungku. Mas Rangga membela Shinta, mas Rangga telah melupakan cinta antara kami berdua demi wanita yang lebih muda lima tahun dari umurku. Kenyataan yang begitu menyakitkanku.

“aku tak hanya kecewa padanya tapi juga padamu, suami yang selalu ku utamakan dari apapun di dunia ini ternyata malah menjadikan aku orang lain di hatinya demi wanita lain. Apa kalian punya alasan untuk membela diri, seolah-olah aku tak boleh menghakimimu dan Shinta??” aku kembali bertanya.

“jika benar kami salah menurutmu, tapi kau tak perlu memarahi Shinta seperti itu. Bukankah kau juga telah membuat dia semakin merasa bersalah dan sakit??” mas Rangga mengucapkan kata-kata yang seolah-olah tak membuatku kaget setengah mati mendengarnya.

Apa??? Sakit??? Sakit hatikah Shinta karena perlakuanku ketika aku meminta pengakuannya?? Sakit hatikah Shinta karena seorang sahabat bertanya bagaimana teganya dia menyakiti perasaan sahabatnya sendiri??,…sakit, siapakah yang lebih sakit saat seperti ini. Shinta wanita yang datang dalam hari-harimu belakangan ini selalu menjadi indah dibanding istrimu yang terkadang terlihat kelemahannya karena telah bertahun-tahun bersamamu. Lalu siapa yang lebih sakit??? Shinta atau Aku????,….

Aku berteriak-teriak bersama linangan airmataku. Bukankah aku yang paling sakit saat ini, bukankah aku yang paling menyedihkan saat ini. Bagaimana mereka masih menganggap aku tidak sakit hati, bagaimana mereka bisa memaksaku untuk menerima semua cinta yang hadir antara mereka, bagaimana bisa mereka berlaku demikian kejam padaku. Bahkan yang membuat aku semakin ingin mati ketika mas Rangga dengan entengnya memintaku untuk menandatangi surat izin mas Rangga untuk menikahi Shinta.

“Gila,…lelucon macam apa ini?? aku bukan hanya disakiti dengan perselingkuhan suami dan sahabatku, tapi aku juga dipaksa merelakan dan memberikan legitimasi atas cinta mereka. Ini bukan hanya terlalu, tapi sungguh sangat keterlaluan.

“shinta,..aku pernah bilang semua ini harus berakhir, jika bukan kau orangnya berarti akulah yang akan mengakhirinya”…tak ingin kulihat wajah Shinta lagi. Bukan karena aku merasa kalah, tapi aku merasa benci itu semakin besar hadir atas sikap dua orang yang sama sekali tak ku kenal lagi, semua berubah karena cinta yang menggebu-gebu antara mereka. Sungguh mereka telah dibutakan cinta untuk memahami perasaanku.

“Mas Rangga, Sekarang aku mohon dengan sangat, jika kau laki-laki sejati ceraikan aku” tangisanku akhirnya meledak juga.

Dua kalimat itu terasa tercekat di leherku. Memikirkan kalimat itu saja hampir tak pernah sekalipun dalam hidupku, membayangkan hidup tanpa suami dan membesarkan anak seorang diri adalah hal yang paling menyedihkan bagiku. tapi sekarang aku telah memintanya dengan lantang karena merasa harga diriku yang telah diinjak-injak demikian hinanya di mata suamiku, dan yang paling menyedihkan karena aku kalah oleh kenyataan bahwa suamiku jatuh cinta lagi pada wanita yang jauh lebih cantik dan menarik dari istri yang tak berharga lagi di matanya.

Terkadang aku pernah bertanya dalam hati. Bukankah tak ada seorangpun di dunia ini yang tampak sempurna selain Rasulullah??,..bukankah kekurangan seorang istri atau suami akan senantiasa tampak ketika kita melihat yang lain “bukankah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita sendiri”. Sama halnya seperti yang aku alami dulu, ketika sebelum menikah semuanya seolah-olah akulah yang nomor satu di mata mas Rangga. Namun ketika dia mengenal Shinta segalanya tentang aku hanyalah sebuah cerita picisan belaka. Aku tak tahu apakah ini akan berlaku pada Shinta juga kelak.

Kulihat mimik wajah Shinta yang terkejut dengan permintaan ceraiku. Aku tak ingin mempertimbangkan apapun lagi, bukankah memang itu yang mereka inginkan dariku. Pergi dari kehidupan mereka dan berjalan jauh sebagai seorang yang kalah. Mungkin aku kalah karena tak mampu mempertahankan pernikahanku, tapi aku menang membela hak-hakku sebagai seorang wanita yang benci atas nama pengkhianatan.

-----------

Perceraian,..tak ada seorangpun wanita di bumi ini ingin bercerai, perceraian dulu bagiku selalu menjadi momok yang menakutkan. Namun ternyata semua hal itu menjadi berat ataupun ringan hanya ada di pikiran kita saja. Harus ku hadapi kenyataan saat ini walau seberat apapun itu harus ku jalani. Untungnya aku selalu siap untuk menjadi mandiri karena bagiku seorang istri harus tegar dalam kondisi apapun. Mungkin karena aku terbiasa melakukan banyak hal seorang sendiri walaupun mas Rangga masih bersamaku dulu.

Bersama dua anak-anakku aku menjalani hari yang sungguh sangat berbeda dari yang sebelumnya. Shinta menikah dengan mas Rangga dan aku memilih menjauh, jauh dalam segala hal yang berhubungan dengan mereka. Apalagi ku ketahui mas Rangga sedang menikmati waktunya menjadi ayah, anak yang dilahirkan Shinta. Sungguh,.. aku belum mampu memaafkan mereka. Walaupun beberapa kali Shinta mengirimiku surat, email, pesan singkat bahkan telpon untuk memohon maafku, tapi hatiku tetap tak bergeming.

Berulang kali kucoba menghilangkan dendam dan benci di hati ini, tapi selalu tanpa hasil. Semakin ku coba, aku semakin terperangkap dalam kubangan kebencian yang teramat dalam. Apakah benar hatiku telah membeku untuk memberikan kata maaf yang bisa saja terucapkan oleh lidah tapi sulit diamini oleh hati. Entahlah mungkin suatu saat nanti, mungkin Allah akan menghilangkan kebencian itu dari hatiku. Sama halnya ketika Allah menghadirkan kebencian itu di hatiku.

Berdasarkan Kisah seorang sahabat,..
“apakah benar salah satu hubungan yang tak terputus itu
adalah sebuah persahabatan??”

Jakarta, 16 Maret 2010
Aida m. Affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com

Kamis, 11 Maret 2010

Tentang pernikahanku


Tak akan kubenamkan asaku dalam sekulit duka di masalalu
Dalam keyakinanku, aku tak pernah sendiri
Selalu ada Tuhan yang mengiringi langkah kecilku,….


Ku tatap dua pasang mata indah di depanku, dua gadis kecilku yang beranjak remaja. Bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka bahwa aku ibunya akan menikah lagi. Setelah pernikahan pertamaku yang berakhir dengan perceraian, bukankah akan membuahkan kekhawatiran dalam diri gadis kecilku karena pengalaman buruk dulu. Aku tersudut dalam pikiranku sendiri, ku putar semua kata-kata yang telah ku susun sejak pagi tadi. Semuanya buyar ketika iris mata coklat itu tersenyum padaku.

Menikah lagi,..mungkin itu satu pertanyaan yang selama ini selalu ku hindari. Sulit kuyakinkan hati, bahwa ternyata Tuhan menggariskan dalam hidupku harus menikah dua kali. Apa aku harus bangga??, tidak,..sama sekali aku tidak bangga. Kalau bisa memilih tentu aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku. Perceraian yang pernah terjadi bukanlah sebuah prestasi dalam kehidupanku, meskipun halal tapi tetap saja suatu hal yang dibenci oleh Allah. Bagaimanapun hatiku sedih saat memisahkan anak-anakku dari ayah kandung mereka.

Tapi jika hanya dengan perceraian semuanya menjadi lebih bermakna, apakah aku harus mundur mengambil keputusan itu?? dan itu yang aku rasakan dan telah aku lakukan, bahwa aku harus bertahan untuk selalu berbahagia demi anak-anakku, mempertahankan bersama dalam satu rumah yang sudah seperti neraka juga bukan pilihan yang baik untuk anak-anakku. Dulu ku pikir ini suatu hal yang memalukan, mungkin juga karena stereotype kebanyakan orang yang membuat penilaian seperti itu. Namun akhirnya harus ku sadari aku tak perlu bertahan dan mengorbankan sebuah kebahagiaan hati yang juga layak kusematkan di dadaku.

------

Memang benar rasa cinta dan benci itu hanya memiliki batasan yang sangat tipis, seperti perasaan cinta rasa benci juga demikian selalu meledak-ledak dan berkobar-kobar dalam hal yang kecil sekalipun. Tak satupun yang ku mengerti ketika seorang lelaki yang sangat mencintaiku dulu berubah menjadi seseorang yang tak pernah menganggap aku seseorang yang penting lagi dalam hidupnya.

“Apa masalahmu mas??,..akhir-akhir ini aku merasa kau semakin uring-uringan tanpa sebab. Kalau aku punya salah tolong katakan, jangan mendiamkan aku berhari-hari seperti ini”. Akhirnya ku beranikan juga bertanya pada Hadi, sikapnya yang semakin tidak ku mengerti perlahan-lahan mulai mengganggu perkembangan nilai-nilai anak-anakku di sekolah dan pekerjaanku di kantor.

Terkadang ku dapati wajah Syifa dan Nadia yang tegang saat melihat aku beradu argumentasi dengan ayahnya. Terkadang mereka melihat aku menangis sesenggukan. Tapi mereka hanya diam tak berani bertanya banyak. Hanya pelukan yang mereka berikan saat ku merasa semua yang kulakukan selama ini tiada berharga di mata Hadi.

Pernikahanku yang pertama terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sama halnya seperti pasangan yang lain, aku dan suamiku sempat merasakan indahnya percintaan itu. Kami berkenalan dan menjajaki pikiran masing-masing selama setahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah membangun kebahagiaan dalam kasih sayang Allah.

Di awal pernikahan aku bekerja sebagai staf keuangan di sebuah lembaga pendidikan, sementara Hadi suamiku bekerja sebagai honorer di kantor pemerintahan. Tak ada yang salah dalam pernikahan kami hingga di tahun kelima itu terlampaui. Aku pikir kisah pilu itu berawal dari sini, entah mengapa hal ini kemudian selalu menjadi sumber perselisihan antara kami. Ya,..masalah itu berjudul harga diri laki-laki.

Tanpa perlu melakukan pengamatan aku yakin seyakin-yakinnya dengan perubahan Hadi, seolah-olah aku tak pernah benar-benar mengenalinya dengan baik. Dia justru berubah di saat dua orang malaikat cantik kami butuh perhatian ekstra di usia sekolah. Entah mengapa semua menjadi buram di matanya saat promosi karierku menanjak pesat dengan penghasilanku tiga kali lipat lebih banyak dari penghasilannya. Semua semakin terlihat salah saat aku menjabat sebagai manager pendidikan di tempatku bekerja.

Benar, tak pernah cukup waktu untuk mengenali seseorang, bahkan setelah menikah sekalipun. Hadi yang dulu sangat manis berubah menjadi laki-laki dengan kepribadian yang sama sekali tidak kukenal lagi. Akhirnya aku menyadarinya bahwa jabatan baruku telah memancing ego kelaki-lakiannya. Dia cemburu, cemburu oleh persaingan yang dihadirkannya sendiri. Cemburu yang mampu menghilangkan rasa cintanya padaku, cemburu karena merasa tak sebanding denganku lagi, cemburu karena dia merasa aku berada jauh di atasnya. Mungkin begitulah dia melampiaskan perasaannya.

“Apakah karena jabatan baruku membuatmu seperti ini?? Entah untuk berapa kali sudah ku ulangi pertanyaan itu, namun dia tetap diam. Mendiamkan aku berminggu-minggu, melupakan anak-anak yang butuh kehadiran seorang ayah. Bahkan dia lebih memilih meletakkan kesetiaannya pada kartu-kartu remi kesayangannya semalaman bersama teman-temannya daripada pulang menemani aku dan anak-anak tidur.

Bagiku bekerja dan beraktivitas merupakan sebuah eksistensi diri selain karena kebutuhan hidup kami yang semakin besar dan rasa tanggung jawabku sebagai anak tertua yang sudah waktunya ikut membantu biaya kuliah adik-adikku, tapi bagaimana aku harus menjalani ini semua jika tanpa ada dukungan seseorang yang sangat kucintai. Apa aku telah menyalahi kodratku?? Tidak,..aku bukan pencinta emansipasi wanita yang melewati koridornya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Karenanya aku tak pernah lupa memasakkan sarapan sekeluarga di pagi hari, aku tak pernah lupa menyiapkan bekal untuk Syifa ke sekolah, bahkan malam sekalipun aku selalu sempatkan diri untuk menemani Nadia membaca buku sebelum tidur.
Lalu dimana letak kesalahanku?? Hadi tak pernah bicara, bahkan tak ingin membahas ini semua denganku tidak juga dengan yang lain kecuali dengan kartu-kartu reminya yang semakin hari semakin membuatnya senewen dan bertambah aneh.


---------

Berulang kali aku bertanya dalam hati, apakah Hadi membenciku?? Apakah Hadi tak mencintaiku lagi??,..tiap kali ku bertanya, tiap kali pula tak ku temukan jawabannya. Jika ia masih mencintaiku tetapi mengapa sikapnya demikian kasar padaku, mengapa seolah-olah semua yang kulakukan menjadi salah dimatanya??. Berulang kali kucoba memahami perasaannya, tapi Hadi tak pernah memberiku kesempatan untuk itu.

“Ada acara makan malam bersama dengan beberapa orang kolegaku, kamu mau kan ikut??” kata-kataku sedikit merayu hadi berharap dia mau membuka diri dan mengenali pekerjaanku. Hanya sekedar mengenali dan tahu apa yang istrinya lakukan selama ini sangat membutuhkan dukungan yang besar dari keluarga terutama dari suami.

“Tidak,..aku ga mau ikut” jawabnya ketus.

“Masalah mu apa mas?? Aku semakin tidak mengerti kondisi kita seperti ini. Seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang besar. Semakin ku coba untuk mengerti tentang keinginanmu, semakin aku tak menemukan apa sebenarnya yang kau inginkan” sifatku yang terkadang emosional menghadapi sesuatu semakin membuat Hadi tak bergeming.

Baiklah, katakanlah aku bukan ibu yang becus atau katakanlah aku bukan istri yang selalu bisa memperhatikannya. Tapi tolong katakan dimana letak kesalahannya atau caraku menyampaikannyakah yang salah??... Aku tak berubah samasekali padanya dan anak-anak. Aku masih menyiapkan sarapan mereka, aku masih menyiapkan baju dinasnya untuk ke kantor. Aku juga membayar kebiasaan waktu mengobrol kami dengan selalu menelpon di sela-sela kesibukanku. Lalu salahnya dimana?? Ah,..percuma aku bertanya dimana letak kesalahan itu, rasa-rasanya semua akan terlihat salah jika hati Hadi telah memvonisku salah. Bahkan segala sikapnya selama ini selalu menunjukkan permusuhan padaku. kembali hati kecilku berkata bahwa dia memang tidak mencintaiku lagi.

Terkadang cepat kutepis ketika perasaan itu hadir ketika melihat hadi bersikap manis padaku. Sebagai seorang istri tak ada hal yang lebih indah saat melihat suami berwajah manis di hadapan istrinya walau akhirnya kutahu semua sikap manisnya selalu berujung uang dan uang. Yah,..hadi selalu bersikap manis padaku saat ia membutuhkan uang dalam jumlah yang besar untuk beberapa kebutuhannya.

“Bicara apa kamu mas tentang keikhlasan?? Aku murka ketika Hadi menuduhku berkuasa atas rumah tangga kami, karena sebagian besar pengeluaran bahkan uang sekolah untuk adik-adiknya dibiayai olehku. Tubuhku bergetar menahan amarah yang teramat sangat. Darimana pikiran picik itu hadir, apakah dari ketakpercayaan diri Hadi yang sudah sangat terlalu??....

Ku usap dadaku, tak sanggup ku menahan sesak yang membuncah di hatiku. Beribu kali aku terpaku dalam keadaan yang semakin membuat hubungan kami terasa jauh. Oh Hadi, apakah dia tahu bagaimana hatiku dengan sangat bahagia membiayai kebutuhan ibu bapaknya dan biaya kuliah adiknya. Bahkan aku tak pernah mempermasalahkan ketika bertahun-tahun sudah dia tak memberiku nafkah. Apakah dia tahu bagaimana mirisnya hatiku telah dianggap tidak ikhlas dalam hal memberi??...Ah, Apa aku perlu bertanya lagi jika jawaban yang mengalir dari mulutnya hanya sebuah penghinaan dan hujatan. Kembali ku usap dadaku yang terasa perih, telah kucukupkan hari ini tak akan ku bertanya lagi.

-------------

Allah humma Arinal haqqa haqqan, Warzuknattiba’ah
Wa Arinal Bathila Bathilan Warzuknajtinabah
Ya Allah, tunjukkanlah yang Hak adalah Hak dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk mengikutinya
Dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk menjauhinya
.


Tak cukup sampai di situ keanehan yang di alami Hadi, dia semakin uring-uringan saat aku semakin sering berurusan dengan pejabat-pejabat tinggi di kota kami. Rasa cemburunya semakin menjadi-jadi, bahkan membuat dia sama sekali tak percaya lagi padaku. Ku akui aku lelah dengan situasi ini namun tetap ku coba menetralkan suasana hatinya dengan mengajaknya bersama di beberapa acara kantorku, tapi kembali dia selalu merasa niat baikku adalah untuk menjatuhkan harga dirinya sebagai suami.

“Akui saja,..latihan tennis ataupun golf bersama pengusaha-pengusaha itu hanya sebuah alasan legalisasi perselingkuhanmu kan…” tiba-tiba Hadi menyalak di depanku, persis seperti seorang terdakwa aku dituduh tanpa bukti. Matanya merah menatapku, bau alkohol dari mulut Hadi menyelinap masuk ke rongga hidungku sampai membuatku ingin muntah.

“Seharusnya aku yang bertanya, kemana saja uang yang kau peroleh selama ini?? Untuk mabuk-mabukan seperti inikah?? Aku malu pada keluargaku atas sikapmu akhir-akhir ini. Apa kau fikir anak-anak tidak malu menemui ayahnya seperti seorang preman jalanan”…emosiku kian memuncak, kata-kata yang keluar dari bibirku sudah di luar kontrolku, aku marah dengan keadaan ini.

Tangan Hadi mengancang-ancang hendak menampar mukaku. Sekejap mataku ku tutup rapat, tak sanggup kurasakan sakitnya jika memang benar kepalan tangan Hadi akan mendarat di pipiku. Cucuran airmata di pipiku tak sanggup ku tahan lagi, badanku bergetar sesenggukan aku menahan sakit yang tak terperi di hatiku. Ini bukan Hadiku lagi, ini syaitan yang telah menjelma di hadapanku.

Ploooookkkkk,….sebuah pukulan tepat di wajahku. Terasa begitu panas dan menyakitkan, terhuyung-huyung aku merasakan pukulan yang hebat itu, hadi bukan hanya memukul fisikku tapi juga telah dengan keras memukul hatiku. Hadi berlalu meninggalkanku dalam keadaan terisak dan sujud di kakinya, selama ini dia tak pernah memukulku tak pernah sekalipun walaupun sering mengancam akan memukulku. Namun kali ini dia telah melakukannya, kurasakan beban hatiku semakin berat dengan perlakuannya saat ini. Menangis hanya itu yang sering aku lakukan. Bahkan aku tak pernah malu lagi ketika berulang kali menangis memohon pertolongan Allah dalam sajadah malamku.

Ya Allah,..tolong hamba jika Hadi memang jodoh yang Engkau pilihkan buat hamba hingga akhirat kelak, berilah kami tanda terang untuk memperbaiki ini semua. Jika tidak, hamba serahkan semuanya padaMu ya Allah, Engkau selalu tahu apa yang terbaik buat kami.

Perselisihan itu masih terus berlangsung hampir dua tahun, terkadang berat ku hadapi ini. Apalagi melihat Syifa dan Nadia yang lebih sensitive dari biasanya. Syifa yang dipaksa dewasa dari umurnya untuk faham tentang masalah yang dihadapi orangtuanya. Hingga suatu hari ketika semuanya menjadi terang untukku bersikap, setelah tak lelah menanti jawaban atas do’a-do’aku selama ini.

“Oh,..jadi ini yang selama ini yang kau lakukan, sekarang aku mengerti kemana semua uangmu kau larikan. Ternyata untuk taruhan atas kesetiaanmu pada kartu-kartu remimu ini” kali ini aku benar-benar murka. Ku dapati Hadi dengan bertelanjang dada dan wajah yang penuh ambisi menang bertaruh di meja judi. Aku meledak-ledak. Bagaimana tidak, aku sama sekali tak mendapati suamiku yang santun ketika menikahiku dulu, yang kutemukan kali ini adalah seorang laki-laki kasar dan pencandu judi. Entah berapa lama dia telah menyelingkuhi uang-uangnya itu di belakangku. Sejenak namun pasti, kurasakan semua perasaan cinta itu hilang dari hatiku bersama kekecewaan yang teramat dalam padanya.

“Perempuan jalang,..mau apa kau kemari?? Urus saja selingkuhan-selingkuhanmu yang kaya raya itu”. Hadi spontan menjawab pertanyaanku, bahkan dia tak menyadari bahwa aku sangat hancur dengan semua kebohongan dan kata-katanya yang menghantam keras tepat di hatiku.

Tak sebaris katanyapun kujawab lagi, aku berlari membawa hatiku yang remuk dan semakin jauh dari ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang telah kalah oleh kemenangan nafsu dan syaitan. Ku tenangkan diriku sejenak di dalam mobil. Kutarik nafasku perlahan-lahan mengurangi energy negative yang memenuhi pikiranku sebelum menjemput Syifa dan Nadia.

“Kita pulang ke rumah nenek nak”,..aku duduk di depan dua gadis kecilku yang sedari tadi menatap mataku yang bengkak karena kenyang menangis.

“Nanti begitu sampai di rumah nenek, mama akan jelaskan semuanya pada kalian. Sekarang bantu mama persiapkan semua baju-baju kalian masing-masing selama kita tinggal di rumah nenek nanti. Kulihat Syifa lebih dewasa menanggapi ini ketika Nadia mencoba bertanya mengapa ayahnya tidak ikut bersama kami.

“Hushh,..jangan banyak nanya Nad,..kan kata mama, begitu kita sampai di rumah nenek akan dijelaskan semuanya kan” Syifa melirik ke arahku, aku tahu dia semakin dewasa atau memang terpaksa menjadi dewasa karena kondisi yang kami alami.

Aku tak tahu apa aku telah berdosa meninggalkan rumah tanpa minta izin pada suami yang tak bertanggung jawab itu. Yang ku tahu seorang istri harus mendapat izin dari suami sebelum meninggalkan rumah, tapi apakah hal ini juga berlaku pada laki-laki yang tak pernah berniat untuk mempertahankan pernikahan kami. Jika iya, aku mohon ampunan Allah, aku hanya ingin menjaga perasaan anak-anakku yang belum mengerti permasalahan yang dihadapi kedua orangtuanya.

Rasanya perjalanan ini begitu lama ku rasakan, aku ingin memeluk ibuku, aku ingin bersujud di kedua kaki ayahku memohon diberikan doa untuk anaknya yang telah dihancurkan oleh suaminya sendiri. Betapa hatiku sangat membutuhkan sandaran saat ini. Satu-satunya yang membuatku kuat adalah kedua putriku yang sedang tertidur pulas dalam pelukanku.

--------------

Ibu dengan mata yang penuh berkabut memelukku yang menangis tiada henti. Ibu membelai lembut rambutku, sama kurasakan lembutnya belaian ini saat ibu melepaskanku untuk menjadi istri Hadi delapan tahun yang lalu. Jika dulu ibu membelaiku menangis melepaskan anaknya saat dipersunting oleh seorang Hadi, namun kali ini ibu membelaiku menangis untuk memberikan kekuatan dan ketenangan atas perlakuan Hadi. Oh, itu sungguh dua hal yang sangat berbeda kurasakan.

“Aku sudah mencoba bertahan bu,.. tapi mungkin harus begini akhirnya. Sungguh bukan perceraian yang kuharapkan dalam sebuah pernikahan. Namun selama dua tahun konflik antara kami terjadi, semakin membuat suasana yang tidak sehat untuk kedua anakku. Aku tahu, bagaimanapun perceraian selalu berdampak negative bagi anak. Tapi mempertahankan pernikahan yang telah tanpa cinta juga memberi pengaruh yang tak jauh berbeda dengan perceraian.

Ibu mengusap dadanya saaat ku ceritakan perlakuan Hadi selama ini padaku. Ayah yang biasanya tenang kali ini terlihat lebih gusar. Sesekali kupandangi mata coklatnya menunjukkan kecemasan yang tiada tara. Bagaimanapun aku tetap anaknya, mereka tak akan rela anaknya diperlakukan demikian menyedihkan.

“Sudahlah nak,..kalau memang kondisinya tak mungkin dipertahankan lagi, urus saja keperluan-keperluan untuk bercerai. kami juga tak ingin anak perempuan kami diperlakukan seperti itu”. Ayah kemudian diam setelah memberikan persetujuan atas keinginan bercerai dariku.

Hatiku didera kesedihan menyadari di hari tuanya ayah dan ibu masih memikirkan keadaan anaknya yang menyedihkan ini. Tiap kali kuseka air mataku tiap kali itu pula kembali bercucuran. Ku lihat dari sudut ruangan ibu bercakap-cakap dengan Syifa dan Nadia, aku tahu ibu mulai memberikan pengertian kepada dua gadis kecilku itu. Aku memang meminta ibu menceritakan hal yang aku alami sebelum aku sendiri yang akan menjelaskannya kemudian.


--------------

Kumantapkan langkahku menuju bangunan yang ber plat “Pengadilan Agama” aku tak akan mundur selangkah pun lagi. Hatiku telah terlanjur hampa dengan perlakuan Hadi. Ku bulatkan tekadku, jika Allah telah menentukan semua ini yang terbaik untuk kami, hatiku telah menerimanya dengan lapang dada.

“aku tak akan mengabulkan pengajuan perceraianmu di pengadilan” hadi berteriak-teriak di telpon sehingga membuat telingaku berdengung-dengung. Aku masih tetap bersikap tenang menghadapi sikap hadi yang meledak-ledak begitu mendengar bahwa aku telah mengajukan permohonan cerai atas dirinya.

Pengadilan memang telah memberikan surat panggilan kepada hadi untuk pertama kalinya. Hadi bertingkah dan berkelakuan aneh, dia mangkir untuk menghadiri sidang pertama perceraian kami, entah untuk alasan apa aku pun tidak mengerti. Bahkan beberapa kali mediasipun telah dilakukan pihak keluargaku, namun Hadi tetap tak bersedia memenuhi panggilan sidang.

Mungkin Hadi berfikir bahwa pengadilan tidak bisa menjatuhkan keputusan cerai jika tanpa persetujuannya. Padahal yang ku tahu, secara agama kami bisa dikatakan telah bercerai karena entah sudah beberapa kali Hadi mengancam akan menceraikanku secara siir ataupun terang-terangan di depan keluarga dan teman-temannya sebelum permohonan cerai ini kuajukan. Bukan hanya itu saja, aku pun telah cukup bukti untuk menggugat cerai atas perlakuan hadi yang menurut hukum agama dan Negara termasuk atas kekerasan dalam rumah tangga.

Namun kali ini karena merasa harga dirinya dipertaruhkan dia berusaha masih menyakitiku dengan menggantung permohonan ceraiku di pengadilan agama. Dia bukan hanya menyakitiku, tapi juga menyakiti anak-anaknya yang telah diabaikannya begitu saja.

Aku yakin Allah tidak tidur, Allah mendengar do’a-do’a orang-orang yang teraniaya. Pengadilan Agama akhirnya mengabulkan permohonan ceraiku dan hak asuh anak jatuh padaku. Palu di ketuk dan hasil sidang dikirimkan kepada Hadi. Sujud syukur aku di ruang sidang bersama linangan air mata kebahagiaan. Walaupun ku tahu Hadi akan murka dengan hal ini, bahkan mungkin dia akan mempermasalahkan harta gono gini selama pernikahan kami, terutama rumah yang kutinggalkan begitu saja. Tapi untuk saat ini aku tak ingin memikirkan apapun, aku hanya ingin menemani kedua putriku pasca perceraian yang banyak menguras energiku selama ini, mereka butuh perhatianku saat ini, mereka butuh penjelasan yang bisa menenangkan hati mereka. Terimakasih ya Allah,…

---------

Perceraian itu memang telah terjadi, bahkan aku membiarkan Hadi mengambil hak kepemilikan atas rumah yang telah kubangun dengan hasil keringatku sendiri karena rasa kepercayaanku dulu pada seorang suami, maka nama Hadilah yang tertera sebagai pemilik rumah beserta tanahnya. Paling-paling rumah itu tak akan bertahan lama di tangannya karena kemudian akan dipertaruhkannya lagi di meja judi.

Aku memang masih membencinya, membenci sikapnya pada anak-anak kami yang tak pernah dinafkahinya lagi. Seolah-seolah anakku lahir tanpa ayah. Jangankan mengharap kiriman uang sekolah untuk anak-anak, menanyakan kabar anak-anaknya saja tak pernah dia lakukan. Dia benar-benar menghilang dari kehidupan kami juga menghilang dari hati anak-anaknya.

Tapi aku tak pernah mengajarkan anak-anakku untuk membenci ayah mereka, seburuk apapun Hadi tetap ayah mereka tak akan pernah menjadi mantan ayah sebagaimana sekarang dia menjadi mantan suamiku. Aku bahkan mengajari anak-anak agar mendo’akan hadi berubah dan bertaubat.

“Mama,..sejujurnya kami ga mau mama menikah lagi, tapi jikapun mama menikah lagi tolong menikahlah dengan laki-laki yang tidak seperti ayah, aku dan Nadia tak ingin melihat mama menangis lagi, aku juga ga mau melihat wajah ayah yang marah-marah pada kami” Syifa mendadak berbicara tentang rencana pernikahanku setelah dua tahun aku memilih sendiri menjalani hidup. Syifaku yang berumur 10 tahun berbicara dengan sangat bijaksana. Sungguh, aku sangat terharu.

“aku ga mau mama nikah lagi” sergah Nadia.

“kenapa” balas Syifa

“aku ga mau mama ga perhatian lagi ke aku dan kak Syifa” suara Nadia tersendat-sendat karena menahan tangisannya.

Aku tahu, ini kondisi yang berat untuk anak-anakku. Menikah lagi untuk yang kedua kalinya pula tentu melibatkan banyak hati-hati yang telah ada. Hati keluargaku yang tak ingin melihat aku disakiti lagi, dan yang terpenting adalah hati Syifa dan Nadia yang masih merasakan trauma di masalalu ibunya. Semua memang butuh waktu. Begitu juga hatiku, hatiku juga butuh kesiapan untuk memulai hubungan yang baru lagi tanpa menyisakan masalalu.

“Ga akan sayang,..Mama ga akan menyia-nyiakan kalian berdua, karena kak Syifa dan Nadialah Mama berjuang selama ini, karena Mama cinta kalian” ku rengkuh mereka dalam pelukanku, telah kutambatkan lara itu di ujung jalan sana, tak akan kubiarkan sedikitpun merusak kebahagiaan kami saat ini.

“Syifa dan Nadia,..Insya Allah Mama telah memilih sayap yang lain, yang lebih kuat, yang lebih setia dan yang lebih menyayangi kita dari pada yang sebelumnya. Semoga Allah menjaganya untuk kita bersama karena kita juga berhak untuk bahagia.

Untuk seorang wanita yang ku kagumi
Allah selalu punya rencana lain, tanpa harus bertanya pada hambaNya,…
Jakarta, 6 Maret 2010
Aida Affandi