Laman

Senin, 24 Mei 2010

Bukan Wanita Kedua

Mengapa Kamu mendatangi jenis laki-laki diantara kamu (berbuat homoseks)
Dan kamu tinggalkan perempuan yang diciptakan Tuhan untuk menjadi istri-istrimu?
Kamu benar-benar orang yang telah melampaui batas
(Asy-Syu’ara 165-166)


Aku masih ingat saat ku tatap mata laki-laki yang dijodohkan oleh orang tuaku dua tahun yang lalu. Saat dia datang melamarku bersama keluarganya, sekilas aku melihat tak ada yang aneh dengan laki-laki itu. Bahkan dia terkesan sangat sopan dan bisa dikatakan pria baik-baik pada kesan pertama ku menatapnya.

Mata elangnya yang tajam ditambah segaris alis mata yang sangat tebal menatapku lekat. Aku bergetar untuk pertama kalinya, mungkinkah itu cinta yang datang menyergap tiba-tiba memenuhi relung jiwaku yang selama ini selalu sepi oleh kehadiran hati yang lain.

Entah mengapa setelah beberapa kali gagal membina hubungan cinta dengan beberapa orang pria membuatku pasrah akan jodoh yang ditawarkan oleh kedua orang tuaku. Kurelakan saja ketika laki-laki itu mencoba untuk mengenaliku sebelum menikahiku.

“Masalah cinta mah gampang neng,..ntar bisa tumbuh belakangan, orang-orang dulu juga pada dijodohin, tapi ndak ada tuh yang kawin cerai kayak anak jaman sekarang “kata bibi Baiti, pembantu rumah tangga kami yang telah 15 tahun ikut ibuku bekerja di rumah.


Sejenak ku cerna kata-kata bibi Baiti, apa mungkin cinta bisa datang karena sering bersama, lalu bagaimana kalau cinta itu tidak hadir juga??,..ah, aku tak ingin gambling dalam hal ini. Tapi sebagian kata-kata bibi baiti ada benarnya juga, bahwa pernikahan jaman sekarang rentan oleh kawin cerai, padahal orang-orang sekarang bisa dikatakan lebih maju dan didukung oleh fasilitas untuk membina komunikasi yang baik antara suami istri, mungkin memang begitu pernikahan akhir jaman kata mamaku menimpali.

Langkah pertama tentu aku harus cari tahu siapa laki-laki yang profile dan fotonya di sodorkan padaku beberapa hari yang lalu. Aku hanya tahu laki-laki itu sedang mengambil program pasca sarjananya di bidang filsafat agama. Aku pikir laki-laki itu type laki-laki serius yang agak membosankan. Ah,..cepat-cepat kutepis anggapan sekilasku tentang laki-laki itu. Tapi paling tidak dia lulusan sarjana Agama yang mudah-mudahan bisa membimbing aku dan anak ku kelak agar lebih dekat pada Allah.

Setelah beberapa kali aku melakukan shalat istikharah akhirnya aku menetapkan hati untuk menyambut lamaran dari laki-laki yang bernama Yunus itu. Dia memang pendiam bahkan sangat pendiam, hanya lirikan matanya yang sekali-kali kutangkap sedang mencuri pandang ke arahku, lalu dia kembali diam dan menunduk menekuri meja tamu di rumahku.

----------

Aku tak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki yang sangat mapan dalam segala hal, namun memiliki permasalahan yang sangat rumit. Wajah polosnya yang dingin, tatapan matanya yang tajam, bibirnya yang tak pernah berucap kata membuatku semakin bingung dan sulit memahami laki-laki yang telah menikahiku ini.

Setelah menikah kami mengontrak sebuah rumah sederhana yang tak jauh dari tempat Yunus bekerja. Pekerjaan Yunus sebagai kepala Kantor Urusan Agama semakin melengkapi tekanan bathinku. Yunus menikahkan orang-orang di satu kecamatan yang dibawahinya , setiap pasangan diberi nasehat pernikahan. Bagaimana pentingnya komunikasi dalam pernikahan dan lain sebagainya. Lalu selalu menjadi pertanyaan besar di kepalaku, bagaimana dengan pernikahan kami sendiri??

Aku terlalu ingin mempertahankan pernikahanku setiap kali menyadari rasa malu yang akan kupanggul seumur hidupku jika perceraian terjadi dalam pernikahan kami. Sudah setahun berlalu pernikahan ini, hampir tak ada kata bahagia yang tersimpan di hatiku semenjak ijab qabul itu terucapkan.

Awalnya aku tak percaya akan hal ini. Setiap kali aku mendekatinya dia selalu menghindariku. Aku pikir dia butuh waktu untuk mendekatiku atau apapun alasannya, mungkin saja dia malu bathinku. Perasaan curiga terus menghantuiku, ada apa dengan suami yang menikahiku hampir setahun ini. Aku istrinya yang seolah-olah paling disayang di depan semua orang, aku seorang pengantin wanita di kala pesta pernikahan kami digelar tapi ternyata aku bukan teman segala hal dalam hidupnya. Bahkan kami memiliki kamar tidur yang terpisah, tentu tak seperti kondisi pernikahan pasangan lain yang menurutku bisa dikatakan normal.

Hatiku berderai air mata saat kusadari ada yang salah dengan sikap Yunus. Seolah-olah dia membenciku. Dia tak pernah bicara apapun jika bukan hal yang sangat penting menurutnya, samasekali diam tiap kali ku bertanya, kapan dia akan menggauliku sebagai seorang istri. Kapan dia akan menikmati masakanku dan membiarkanku mencuci dan menyetrika baju untuknya.

Aku seperti seorang pungguk yang terlalu mengharapkan bulan. Aku seperti bermimpi menunggu kapan mimpiku akan menjadi nyata. Tidak pernah sekalipun dia mencicipi masakanku, tidak pernah sekalipun dia merelakan aku mencuci dan menyiapkan baju untuknya. Tidak pernah sekalipun. Bahkan dia selalu memarahiku jika ku tunaikan kewajibanku sebagai seorang istri untuk melayani sang suami.

Yunus hanya diam, tak berucap kata seolah lupa bagaimana berbicara. Amarahku membeku tiap harinya, semakin hari aku semakin bingung dengan sikapnya yang aneh. Dia terlihat manis saat bertemu keluargaku dan teman-teman kerjanya. Dia selalu mengajakku dalam acara makan malam di tempat sanak saudaranya, tapi hanya sebatas topeng yang dikenakannya untuk menutupi kedok di belakangnya. Begitu sampai di rumah dia akan mendekam kembali di kamarnya dan aku diam sendiri di kamarku.

“astaghfirullahal adziiimmm,…apa kau tidak bisa memakai pakaian dalammu di kamar mandi saja” Yunus membentakku sembari memberikan handuk tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

“Bang,..aku ini istrimu, aku halal untukmu, mengapa kau harus beristighfar melihat sebagian auratku??,..seharusnya aku yang bertanya ada apa denganmu, selama ini aku hanya diam kau perlakukan aku seperti ini tapi bukan berarti aku tidak memperhatikanmu”...ku ambil handuk dari tangannya untuk menutupi sebagian tubuhku yang masih basah sesudah mandi.

Yunus meninggalkanku bergerak ke kamarnya. Ku kejar dia sebelum tangannya menjangkau gagang pintu. Ku tahan tanganku agar diberi kesempatan untuk mengeluarkan uneg-uneg di kepalaku selama ini.

“Mengapa abang ga pernah menjawab pertanyaanku ini. Seperti inikah pernikahan yang di ajarkan agama kita?? Seperti inikah nasehat pernikahan yang abang hembus-hembuskan pada pasangan suami istri yang akan menikah?? Tidakkah abang malu telah memiliki topeng seperti ini?? Aku malu bang,…bukan hanya malu, tapi hancur hatiku atas perlakuan abang. Kalau memang abang ga mencintaiku, mengapa setuju dengan pernikahan kita???”

Yunus tak bergeming, air mata yang bercucuran di pipiku tak menggerakkan hatinya untuk berbicara tentang masalah antara kami. Dia hanya diam melihatku sesenggukan. Sikapnya semakin membuatku geram dan ingin berteriak.

“Mengapa ada manusia tak punya hati sepertimu ini??....Ya Allah dimana ilmu agama yang kau pelajari selama ini, apakah kau lupa ayat dan hadistnya menggauli istrimu??..pernikahan hanya sebuah kesakitan dalam hidupku. Katakan padaku, apa kau lemah syahwat?? Bisa kah kita mengobatinya bersama-sama,..aku ini istrimu, mana boleh kau biarkan aku penuh tanya seorang diri menjalani pernikahan ini.”

Yunus melirikku sejenak, lalu kembali menekuri layar laptop di depannya. Ingin sekali aku melepaskan geram hatiku, ingin sekali aku melepaskan control amarahku agar reda seluruh resah hatiku. Aku terduduk di depan kamar Yunus dalam keadaan bermandikan air mata. Yunus benar-benar telah menghancurkan sisi kesabaranku, Yunus benar-benar merusak rasa sayangku yang berlimpah padanya menjadi rasa benci yang berlapis-lapis.

--------

Pasca pertengkaran saat itu, aku semakin tahu bahwa Yunus memang tak pernah mencintaiku.
Jika memang dia ingin bersamaku tentu tak sesakit ini perlakuannya padaku. Tentu dengan cepat pula dia memberikan penjelasan keadaannya yang sebenarnya. Yunus semakin menjadi dingin bahkan ku pikir sudah membeku, jangan kan berucap maaf atas pertengkaran kami saat itu, bahkan bertegur sapapun tidak pernah dilakoninya lagi.

Jika tidak memikirkan aib yang akan ditelan oleh Yunus dan keluarga kami, mungkin aku tak akan bertahan sampai dengan saat ini. Aku sungguh masih memikirkan anggapan orang terhadap pekerjaan Yunus sebagai kepala KUA. Bagaimana mungkin dia akan memberi nasehat pernikahan jika pernikahannya saja tak selamat dari perceraian.

Aku mendiamkan masalah yang semakin terbakar antara kami, diluar terlihat tenang tapi di dalam semakin membakar hampir seluruh hatiku. Ibarat api dalam sekam yang terlihat hanya asap yang sesekali mengepul dilewati tiupan angin. Yah,…aku memilih diam dan menahan derita ini hingga semuanya jelas di depan mataku arti kebenaran itu terungkap.

---------

Hari itu begitu terik, panasnya mencapai 40 derajat celcius, aku mendekam dalam kamarku menikmati jus jeruk dan beberapa potong coklat. Di luar ku dengar suara motor Yunus yang berhenti di halaman rumah kami, sekilas ku intip lewat jendela ternyata Yunus pulang bersama Ilham sahabatnya sejak masih kuliah dulu begitu akuannya padaku suatu hari.

Seperti biasa mereka berdua akan masak bersama, lalu makan bersama dan menghabiskan siang di kamar sambil menonton televisi yang selalu diputar dengan volume yang keras. Tak sekalipun aku menegur Yunus jika sedang bersama Ilham. Aku hanya tersenyum jika sempat berpapasan dengan Ilham saat berada di rumah kami.

Tapi entah mengapa siang itu aku sangat penasaran dengan rutinitas mereka. Bagiku agak sedikit aneh laki-laki yang selalu menghabiskan waktu bersama demikian dekatnya bahkan jauh lebih akrab dari istrinya sendiri.

Perlahan ku buka pintu, aroma ikan yang digoreng begitu khas di hidungku. Aku berjalan perlahan mengamati dua laki-laki yang sedang menghabiskan waktu memasak bersama itu. Aku semakin mendekat saat kenyataan itu terkuak di depan mataku atas izin Allah.

Astaghhhfiruulllahhhal adhzimmm,…..ku genggam erat jari jemariku dalam kepalan tanganku. Ingin sekali kuhantamkan pukulan tinjuku ke wajah Yunus dan Ilham.

“Ya Allah,…ternyata Ummat Nabi Luth masih tersisa di rumahku,..ampuni Hamba ya Allah,….” Yunus dan Ilham sontak kaget dengan teriakanku tepat di belakang mereka. Seketika mereka melepaskan pelukan yang begitu mesra dan hangat di depan mataku.

Hatiku hancur tiada tara, air mataku semakin bercucuran mendapatiku Yunus suamiku yang sangat aku banggakan dalam hal agamanya, ternyata seorang homoseksual. Hatiku semakin hancur ketika kenyataan ini kudapatkan di rumahku sendiri di depan mataku sendiri dan mungkin telah terjadi berulang-ulang tanpa kusadari.

Wajah Yunus dan Ilham terlihat berang dengan sikapku yang mengganggu acara romantis mereka persis seperti seorang inteligen yang diam-diam melakukan sesuatu untuk mencari tahu kesalahan mereka. Aku tahu mereka akan marah padaku, bahkan mungkin akan melakukan hal bersifat kekerasan atas sikapku ini.

Aku diam, terduduk lemas menyadari betapa tak berartinya aku di mata Yunus selama ini. Betapa tak menariknya aku selama ini di matanya. Dia bukan seorang yang lemah syahwat tapi dia seorang yang kelainan seksual. Betapa ku tak menyadari selama ini bahwa aku menikahi laki-laki yang masih turunannya ummat Nabi Luth as.

Ilham buru-buru keluar dan mengambil jaketnya lalu pergi, kulihat Yunus mengejarnya lalu berbisik di telinganya dan mengusap-usap pundak Ilham perlahan sebelum mereka berpisah. Yunus duduk membelakangiku, dia hanya diam sambil memainkan jari-jarinya. Persis seperti seorang anak kecil yang telah melakukan sebuah kesalahan besar di depan orangtuanya.

“Mengapa abang ga ngomong dari awal tentang masalah seks yang abang alami kepadaku??...” ku atur sedemikian rupa emosiku agar bisa bersikap lebih bijaksana dan memutuskan sesuatu dengan akal sehat.

“Aku tahu ini aib buat abang, karena status abang sebagai seorang suami juga ditambah pekerjaan abang sebagai seorang penghulu, tapi jika dari awal abang mau berbagi hal ini ke aku mungkin aku tak akan sesakit ini menahan hati” yunus masih tetap diam tak bergeming.

“Abang,..mengapa selalu diam, bahkan sampai dengan saat inipun abang masih menganggap aku orang lain setelah hampir 2 tahun abang menikahiku tanpa memberikanku kebahagiaan apapun, aku mohon sekali ini saja kita saling berbagi. Aku akan menerima abang dengan ikhlas dan kita perbaiki ini sama-sama. Kita bisa ke phisikiater kita bisa ke dokter, asalkan abang mau berbagi ini denganku”

Air mataku semakin tak terbendung, kesedihan luar biasa menyayat hatiku. Aku benar-benar tak berharga di mata suamiku sendiri. Bahkan aku berusaha untuk menerima kenyataaan penyakit seksual suamiku sendiri karena aku ingin tetap mempertahankan pernikahanku ini.

“Seharusnya kau tidak kunikahi dulu” akhirnya Yunus memecahkan kebisuannya dengan melepaskan beberapa kata atas pertanyaan-pertanyaanku padanya.

“Tapi sekarang aku istrimu bang,..kita bisa sama-sama ke dokter, ke ustadz atau kemana saja untuk mengobati ini” aku berusaha meyakinkan Yunus, bahwa aku menerimanya apa adanya.

“Tidak,..aku tahu selama ini aku sudah sangat menyakiti hatimu, aku tak ingin semakin menyakitimu lagi” kata-kata Yunus begitu datar tanpa beban.

“Apa arti dari kata-katamu bang”,…aku mencoba mengartikan hal yang berbeda dari maksud ucapannya.

“Silahkan ajukan permohonan cerai, kau berhak mendapatkan kebahagiaanmu, jangan memaksakan hatimu untuk terus sakit berada di sampingku” yunus bangkit dari duduknya setelah kalimat terakhir diucapkannya.

Hatiku begitu miris, mengapa seorang Yunus yang sangat faham agama masih tetap memilih menjadi pengikut ummat Nabi Luth yang dihancurkan Allah dengan batu-batu dari neraka lalu kemudian kotanya ditenggelamkan menjadi laut mati. Apakah imannya tak tergerak untuk takut akan murka Allah selanjutnya pada kaum Guy yang akhir-akhir ini bukan hanya sebagai kelainan seksual tapi sudah menjadi trend hidup….Na’udzuuubillahi min dzaliik

Aku tak mungkin memaksakan keinginanku pada keputusan Yunus yang lebih memilih bercerai dariku. Hampa kurasakan menyelinap di hatiku, ketika kenyataan ini harus ku telan sebagai pil pahit dalam kehidupanku.

Terkadang aku tak ingin meninggalkan Yunus, aku ingin dia kembali pada fitrahnya menyukai wanita bukan laki-laki. Tapi itu keputusan Yunus dia belum ingin memperbaiki ini semua. Bukankah keinginan berubah itu harus dari hati tanpa paksaan. Semoga dan semoga Yunus tak membiarkan penyakitnya ini semakin menghancurkan imannya. Bagaimanapun memilih mencintai sejenis bahkan memilih jalan tersebut sebagai trend hidup adalah sebuah dosa besar dalam islam.

-----------

Aku terpaku menatap surat akte perceraianku dengan Yunus, sampai sidang ketiga kemarin Yunus tak juga menampakkan batang hidungnya. Aku tahu ini sangat memalukan dan menjatuhkan reputasinya sebagai seorang kepala KUA. Tapi inilah jalan hidup yang ia pilih.

Semenjak bercerai aku tak pernah melihatnya lagi, jabatannya sebagai KUA pun telah dicopot dan digantikan oleh pejabat baru. Yunus menghilang dari kotaku. Ingin sekali aku menemuinya lagi, untuk mengatakan bahwa masih ada waktu untuk berubah dan bertaubat bukankah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat akan menggugurkan dosa-dosa yang telah lalu. Masih banyak psikiater yang bisa membantunya selama ia ingin memperbaiki ini semua. Namun aku juga tak ingin lupa mendoakannya semoga Allah membuka hati Yunus untuk kembali pada fithrahnya…amiiinnn.


Jakarta, 24 Mei 2010
Ummat Nabi Luth telah dibumihanguskan,..
Apa kita ummat akhir jaman menjadi selanjutnya???

Aida M Affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi
www.infobunda.com/ummi_nazira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar