Laman

Minggu, 28 Maret 2010

Kisah Cinta Wanita Rupawan


Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat –Hamka

Wanita itu duduk tepat di sampingku, perutnya yang kelihatan membuncit dapat dipastikan wanita itu sedang hamil. Wajahnya manis, matanya indah aku mengagumi kecantikannya perpaduan wajah melayu oriental dan arab. Tak jarang aku mencoba sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya setiap kali kami bertemu di ruang tunggu pemeriksaan kandungan.

Beberapa kali jadwal pemeriksaan kandungan kami selalu bersamaan. Wanita itu selalu datang sendiri, lalu duduk di sudut ruangan sambil membaca sebuah buku atau Qur’an. Sesekali aku melirik apa judul setiap buku yang dibacanya. Selalu berubah, ternyata wanita itu melumat semua jenis buku tidak terpaku pada sastra saja atau politik saja misalnya. Beberapa kali dia tersenyum padaku, ketika mengucapkan permisi duduk di bangku kosong di sebelahku. Semenjak itu pula aku selalu berusaha memulai sebuah percakapan antara kami.

“Udah trimester berapa mba??” tanyaku membuka percakapan.

“Trimester kedua mba, masuk bulan keenam” jawab wanita itu dengan senyuman.

“Oh,..sama dunk dengan saya timpalku kemudian.

“Hamil anak pertama juga mba??” tanyaku lagi

“Kedua,..jawabnya lagi masih mengembangkan senyumnya.

“Ohya,..saya pikir anak pertama juga...

“Hasil USGnya laki-laki atau perempuan mba” aku kembali bertanya, masih ku tatap mata indahnya. Aku belum menemukan sebuah tanda kurang berkenan dari sorot matanya yang bening. Jadi tetap saja ku lanjutkan bertanya. Entah mengapa aku semakin ingin tahu tentang wanita ini, senyumnya sering menimbulkan tanya. Kembali ennegramku yang dominan pengamat beraksi lagi.

“Anak pertama saya perempuan, kalau yang ini kata obgynnya seh laki-laki. Kalau mba hasil USG nya apa?” sekarang wanita itu mulai membuka pembicaraan dua arah denganku.

“Dokter bilang laki-laki juga mba, tapi saya pengalaman hamil yang pertama ne” aku melirik ke arahnya mencoba mencari kesamaan dari pernyataanku dengannya.

“Hamil yang pertama saya terpaksa melahirkan dengan tindakan cesar, karena sudah tidak ada pembukaan dan bayi saya terlalu besar, tapi alhamdulillah semua sehat-sehat saja, sekarang umurnya sudah 3 tahun cantik dan cerdas lagi” aku menangkap ada nada bangga di balik ucapan wanita itu.

“Ohya, pasti seneng banget ya mba”

“Ya, ucap wanita itu datar lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kata-katanya.

”Tapi saya hanya bisa melihatnya 3 bulan sekali itupun kalo ada kesempatan, karena dia ikut papanya di jakarta” sambung wanita itu kemudian. Sorot matanya yang tajam menunjukkan sesuatu yang bermakna hilang.

“Ehhhmmm,..konsekuensi dari pekerjaan ya mba” ujarku dengan percaya diri.

“Bukan karena pekerjaan, tapi akibat perceraian, pengadilan memutuskan anak saya diasuh oleh bapaknya” aku terdiam mendengar pengakuan wanita yang rupawan ini. Wanita secantik ini bisa diceraikan juga pikirku.

“Oh, maaf mba…saya ga bermaksud mengingatkan mba kepada kisah itu” aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami dengan menyodorkan minuman dingin padanya.

“Tidak apa-apa, sudah berlalu kok setengah tahun yang lalu” ucap wanita itu sambil mengambil botol minuman yang kusodorkan padanya.

Setengah tahun yang lalu?? Baru enam bulan yang lalu berarti massa iddahnya baru berlalu kurang dari dua bulan yang lalu karena massa iddah seorang wanita adalah empat bulan. Ingin sekali aku bertanya jika perceraian itu sudah enam bulan yang lalu. Lalu apakah sekarang wanita ini sudah menikah lagi?? Atau mungkin kehamilan ini hasil dari pernikahannya terdahulu?? Tapi kuurungkan niatku bertanya, aku tak ingin terlalu dalam ingin mengetahui kehidupannya, kecuali jika dia berinisiatif untuk menceritakannya padaku kemudian.

“Eh, sampai lupa kenalkan nama saya Almira” ku sodorkan tanganku ke arah wanita itu, yang langsung disambut hangat olehnya.

“Aurora, panggil saja Rora ucapnya lembut.

Demikian perkenalanku dengan wanita yang menarik perhatianku itu. Wajahnya yang cantik, senyuman yang menghiasi bibirnya yang selalu membuatku ingin mengetahui siapa dia. Entah mengapa ketika berawal dari proses mengamati segala hal, terutama tentang kehidupan wanita lain di luar hidupku. Banyak hikmah di balik kisah hidup setiap orang, mendengar banyak kisah selalu membuatku tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang Allah berikan padaku sampai dengan hari ini.

--------

Hampir dua bulan aku menjadi sahabat baru Rora, komunikasi antara kami tidak hanya di ruang tunggu pemeriksaan kandungan, tapi juga berlanjut di telpon selular dan email. Kedekatan itu terjadi begitu saja, mungkin karena kami berdua sama-sama datang sendiri tanpa suami, Rora memang hanya datang seorang diri, sementara aku terpaksa datang sendiri memeriksakan kandunganku karena suamiku bekerja di luar kota.

“Aku yang salah Mir,..” Rora sesenggukan menahan air matanya yang jatuh berlinang tak tertahankan lagi. Matanya yang bening berubah keruh dan memerah. Aku menatapnya dengan sendu dan haru.

“Aku yang sudah membuat perceraian itu terjadi, aku telah menduakannya, aku menyelingkuhinya dalam hatiku,…” Rora semakin tak sanggup menahan lara yang menyesakkan dadanya saat menceritakan kembali kisah cintanya dulu pada pernikahannya yang pertama.

“Aku merasa belum cukup dewasa dalam bersikap, aku hanya memikirkan apa yang ada di depanku saja, apa yang ada di fikiranku saat itu. Bahkan aku berani menduakan cinta suami yang sangat kucintai”

“Mengapa bisa begitu mba” tanyaku penasaran.

Rora menarik nafas dalam, menatapku lekat masih dengan buraian air mata. Dadanya bergerak naik turun menahan emosi yang berlebihan. Seperti mengumpulkan seluruh kekuatan dalam sebuah start pertandingan sprint atau lari jarak pendek saat dia mulai berbagi kisahnya itu denganku.

----------

Kilas Balik

Aku pikir pernikahanku sangat indah. Setiap hari yang aku lalui penuh dengan kata cinta.
Namun ternyata tembang cinta dalam kehidupan berumah tangga itu tak selamanya indah sesuai irama, terkadang terdengar sumbang, terkadang sering terdengar keluar jalur tangga nada. Tapi begitulah hidup berumah tangga, ada dua kepala yang berbeda latar belakang sifat, didikan dan sebagainya dipertemukan menjadi satu. Tentu terkadang benturan itu hadir tanpa diminta sekalipun. Ibarat sendok dan garpu yang bertemu dalam sebuah piring makan, sesekali akan berbenturan nyaring satu sama lainnya, begitulah juga sebuah pernikahan.

Semenjak menikah aku diboyong ke kota dimana tempat suamiku bekerja dan dilahirkan. Aku pun berhenti bekerja demi bisa hidup bersama-sama di satu kota agar lebih mendapat ketenangan. Awalnya aku ngotot untuk tetap bekerja di kota asalku, tapi mengingat pesan seorang sahabat yang mengatakan bahwa salah satu ciri keluarga sakinah itu adalah selalu bersama, tidak berbeda tempat dalam waktu yang lama. Akhirnya aku mengalah untuk ikut saja, lagi pula aku dan suami ingin segera punya momongan, bagaimana mau cepat dapat momongan jika kami berpisah terus pikirku.

Ternyata tak semuanya indah seperti yang kita harapkan. Aku ikut suami dan tinggal di rumah mertuaku. Berawal dari rasa khawatir jika ibu mertuaku yang sudah melewati usia 60 tahun harus tinggal sendirian di rumah, akhirnya tinggallah kami serumah dengan ibu mertuaku. Dengan adanya aku di rumah, diharapkan bisa menemani beliau ya paling tidak untuk ke pengajian dan teman ngobrol di saat senggang.

Aku sangat hafal ketika pak ustadz berbicara berulang kali di pengajian. Bahwa manusia itu ibarat lingkaran, kondisinya akan terus berputar seperti sedia kala. Saat bayi di lahirkan tanpa kemampuan untuk duduk, berjalan dan sebagainya. Kemudian kondisi itu juga akan hadir kembali ketika usia telah lanjut. Barang siapa yang dipanjangkan umurnya maka akan dikurangi nikmat fisiknya.

Mungkin karena seiring pertambahan umur tadi maka semakin berkurang nikmat fisik dan kemampuannya pula, maka tak jarang orang yang sudah tua akan cenderung lebih cerewet daripada saat dia masih muda. Awal-awalnya aku mencoba memahami itu, bersikap sabar dengan kondisi ini. Tapi lama kelamaan aku pikir kondisi ini semakin tidak sehat terutama untuk rumah tangga kami.

Memang tak bisa dipungkiri perasaan seorang ibu yang selalu berupaya melindungi anaknya.
Tak jarang yang merasa bahwa anaknya tetaplah seperti anak kecil di mata seorang ibu, padahal si anak sudah beranjak dewasa, sudah memiliki tanggung jawab atas anak dan istrinya pula. Namun tetap saja pikiran seorang ibu ingin mengayomi anaknya, takut kehilangan anaknya. Sehingga segala sesuatu seorang ibu cendrung ingin diikut sertakan dalam kehidupan anaknya bahkan terkadang keinginan itu melebar ke segala hal yang semestinya tidak perlu dijangkau oleh seorang orangtua.

Ingin sekali aku melepaskan beban bathinku yang terus saja kupendam. Hidup dengan segala kecukupan di rumah mertua tak serta merta membuat hatiku tenang. Jika boleh memilih tinggal di rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar sajapun bukan masalah buatku, apalagi aku bukan berasal dari keluarga yang kaya raya. Jadi bersusah-susah bukanlah hal yang aku hindari dalam hidup ini. Hal ini sangat kontras dengan suamiku yang sudah terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Bagaimanapun aku pun tak bisa menyalahkannya, aku hanya bisa berulang kali meyakinkannya bahwa suatu saat kami mampu mandiri.

Setahun, dua tahun, tiga tahun telah berlalu namun tak ada yang berubah. Aku kembali menahan perasaanku hampir tanpa keluhan, ibu mertuaku tetap ikut campur dari hal-hal yang kecil tentang rumah tangga kami bahkan hingga ke urusan pengaturan keuangan. Aku semakin tertekan dengan sikap suami ku yang sangat sensitif setiap kali mengajaknya membicarakan tentang rencana mengontrak rumah.

Situasi seperti ini terus saja berjalan tanpa penyelesaian. Aku sadar kondisi seperti ini semakin memperparah hubungan kami. Kondisi seperti ini jika semakin dipupuk tentu semakin menimbulkan penyakit, laksana bisul yang semakin lama semakin membesar dan siap meledak.

“Bersabarlah,..sebagai anak tentu harus lebih sabar dari orangtuanya” hanya itu yang dikatakan suamiku tiap kali aku merasa kurang nyaman dengan sikap mertuaku, ya bersabar hanya itu yang aku lakukan. Berulang kali aku membaca surah Al-Hasyr ayat 10 dan surah Ali Imran ayat 159 ketika rasa kesal itu semakin hadir di hatiku. Berulang kali aku membacanya sehingga aku sudah hafal dengan artinya bahkan. Namun bagaimanapun penyakit tetap harus dicari obatnya, tidak mendiamkannya tanpa ada penanganan, seperti sel kanker yang tak terdeteksi perlahan-lahan namun pasti membayangi nyawa manusia.
Apakah hanya itu masalah dalam rumah tanggaku?? Tidak,..bukan hanya itu. Aku menyadari ada yang salah dalam komunikasi kami yang hampir hanya berlangsung lewat telpon saja.

Kebiasaan suamiku yang menjadi sosok pendiam ketika sudah tiba di rumah sehingga membuat hubungan kami hanya sebatas mengucapkan hai dan hello. Suamiku sering pulang di atas jam 9 malam bahkan lebih, dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan makan dan menonton telivisi berjam-jam. Aku merasa ketika di rumah dia enggan bercerita banyak, lalu membiarkan aku dan anaknya tidur. Keesokan harinya dia kembali bekerja dan begitu lagi dan begitu lagi.

Aku tak ingin membenarkan apa yang aku lakukan. Karena bagaimanapun perselingkuhan tetap haram dalam sebuah pernikahan. aku membagi resahku dengan laki-laki lain bukan suamiku setelah mencoba membicarakan segala hal dengannya tanpa mendapatkan solusi yang tepat dan baik untuk kami semua. Seharusnya aku tidak lelah untuk membina komunikasi tapi aku terlanjur lelah sehingga perselingkuhan itu terjadi.

Belum selesai masalah komunikasi antara kami, lagi-lagi kesedihan hatiku ditambah dengan perlakuan suamiku yang sama sekali berubah. Suamiku tak pernah memberikan nafkah batin untukku lagi semenjak kehamilan anak pertamaku. Aku tak pernah menyadari ketika tanpa kebutuhan biologis antara kami benar-benar memberikan perubahan dan akibat yang sangat hebat dalam rumah tangga kami. Aku yakin semua telinga yang mendengar hal ini akan menyatakan hal yang sama, ada apakah gerangan di balik semua ini???

Dalam Fiqh Islam hal ini bisa dikategorikan dengan ILA’ atau sengketa batin adalah ketika seorang suami yang bersumpah tak akan menggauli istrinya dalam waktu yang tidak ditentukan. Sumpah ini bisa diucapkan di depan banyak orang ataupun tidak diucapkan tapi dilakukan secara diam-diam kepada istrinya. Ya, suamiku tak pernah memberikanku nafkah batin selama setahun semenjak aku hamil anak pertama kami, kemudian setelah anak kami lahir kondisi itu juga tidak berubah. Dia menggauliku hanya di saat dia ingin menggauliku saja, terkadang 5 bulan sekali, terkadang 3 bulan sekali.
Kondisi ini semakin memperparah kejiwaanku. Aku berubah menjadi pendiam dan tegang.

Rasanya hilang sudah rasa maluku untuk meminta digauli selayaknya seorang istri. Tak jarang aku menutup wajahku dengan bantal menahan tangisku saat dia berkali-kali menolak mencumbuiku. Ku lebur hasratku dengan berpuasa sunnah untuk menahan hal-hal yang tak diinginkan karena kebutuhan biologisku yang tak kunjung dipenuhi. Sungguh tersiksa rasanya ketika intuisiku sebagai istri mengatakan suamiku tak pernah menginginkanku lagi. Seperti boneka usang yang tak terlalu menarik lagi untuk diajak bermain, akhirnya aku hanya dipajang, jika suatu kali bosan dengan boneka yang lain maka dia akan mengajakku kembali untuk bersenda gurau.

Tidak,..aku tidak tahu apakah suamiku mendua hati di luar sana. Aku juga tak pernah mencari tahu walaupun terkadang terbaca olehku kata-kata cinta dari seorang wanita. Tapi lagi-lagi aku tak ingin memikirkannya, walaupun aku sempat merasakan cemburu dan rasa sakit yang menjalar sejenak di hatiku. Kembali aku ingat kata-kata suamiku seperti sebuah sugesti tertanam tepat dalam memory ingatanku “aku mencintai anakku, berarti aku juga mencintai ibunya, apapun yang terjadi aku tak akan menyakiti istri dan anakku”.

Ku akui kata-kata itu seperti sebuah hipnotis untukku agar selalu percaya padanya. Aku tak pernah berfikir bahwa dia berlaku aneh di belakangku, atau dia menyelingkuhiku atau bahkan telah menikah di belakangku dengan cara nikah sirri. Sama sekali aku tak ingin memikirkannya walaupun dia tak kunjung memberikanku nafkah batin. Aku masih berusaha untuk sabar.

Suatu hari aku bertanya pada seorang ustadz. Apa sebenarnya hukum jika suami tak pernah menggauli istrinya lagi?? Dengan panjang lebar pak ustadz menjelaskannya padaku. ILA’ hanya boleh dilakukan oleh suami apabila istri melakukan kesalahan, tapi dalam waktu 4 bulan harus kembali berbaikan jika si istri sudah berubah menjadi baik atau jika tidak bisa dilanjutkan dengan perceraian. Yang kedua jika ILA’ terjadi karena suami tidak mau menggauli istri atau dalam kondisi tidak mampu menggauli maka boleh diajukan permohonan cerai atau si istri bisa bersabar dengan sebenar-benarnya.

Terdiam aku mendengar penjelasan pak ustadz. Bercerai?? Ah, tidak boleh sejauh itu. Mungkin saja suamiku kelelahan jawab hatiku karena begitulah selalu jawaban yang ku peroleh tiap kali aku bertanya mengapa dia tak menggauliku lagi, tapi mengapa kelelahan terus saja berbulan-bulan??timpal hatiku yang lain pula. Bukankah aku juga lelah mengurusi rumah dan anak seorang diri tanpa pembantu pula?? Tapi aku tetap ingin melaksanakan tugasku sebagai istri yang melayaninya dengan baik.

Pernah kutemukan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dikatakan bahwa jika seorang istri menolak digauli oleh suaminya maka wanita itu akan dilaknat Allah. Ingin sekali aku memperoleh keterangan jika kondisinya dibalikkan. Bagaimana jika suami yang menolak ajakan istrinya, apakah si suami juga akan dilaknat Allah??...namun aku tak pernah menemukan satupun hadist yang menggambarkan kondisi sebaliknya. Akhirnya aku hanya menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa suami yang terbaik adalah yang memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya.

Ku buang jauh-jauh setiap tanya dan kemungkinan dalam hatiku. Walaupun akhirnya aku merasa bahwa suamiku seperti tak tertarik lagi padaku atau bahkan tak menginginkanku lagi. Hanya lelahkah?? Dulu bagiku jawaban itu sudah cukup, suamiku lelah maka aku harus mengerti. Aku terlalu malu meminta lagi ketika setiap kali ditolaknya, akhirnya aku hanya diam dan pasrah menunggu kapan dia akan mendekatiku lagi.

Seiring waktu tahun keempat sudah pernikahan kami, aku mulai merasakan kejenuhan itu.
Tanpa ada kemesraan, tanpa komunikasi dua arah. Tak ada kondisi saling berbagi cerita lagi, semua itu hilang entah kemana seperti asap yang mengepul ke atas hilang bersama partikel-partikel udara. Tapi aku tak mau kalah dengan keadaan ini, aku tetap ingin mempertahankan pernikahanku sampai seseorang yang berada di masalaluku kembali hadir lagi menghiasi hari-hariku.

---------

Laki-laki itu mantan pacarku, dulu kami pernah hampir menikah. Aku memperoleh nomer telponnya lewat jejaring pertemanan di internet dari seorang sahabat lama kami. Semua berawal dari sebuah pesan singkat lalu berlanjut di telpon. Akhirnya komunikasi itu semakin lancar ketika kami berdua sama-sama mencurahkan isi hati dari masalah-masalah dalam rumah tangga kami.

Lagi-lagi aku tak ingin menyatakan ini benar. Bagaimanapun masalah rumahtangga cukuplah hanya diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Aku sadar aku salah, tapi nafsu terlalu memasung hasratku untuk melangkah dalam jalur yang tidak benar. Kehadiran laki-laki itu seperti menutupi kesedihan yang kurasakan selama menjadi istri yang tersia-siakan.

Hubungan kami hanya berlangsung lewat telpon. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya, semua pembicaraan kami selalu disampaikan via telpon atau email. Ketika masalah hadir aku cepat-cepat mencarinya untuk berbagi. Awal-awalnya semua biasa saja, tapi lama kelamaan sisa-sisa cinta di masalalu antara kami akhirnya berkuncup juga bahkan mulai mekar seolah-olah tak perduli di antara kami ada terlalu banyak alasan untuk mengakhiri semua kisah lalu itu.

Perselingkuhan via telpon itu berlangsung enam bulan sudah. Perasaanku padanya semakin menggebu-gebu di tengah hubunganku dengan suami yang semakin rumit. Aku tahu, ini bukan alasan atas legalisasi perselingkuhan. Bagaimanapun semua ini harus diakhiri ucapku dalam hati. Kupaksakan hatiku untuk mengakhiri semuanya, kembali ku ingat romantisme saat pertama kali menjadi pengantin baru. Kembali ku buka foto-foto ku dan suami saat masih pacaran dulu, ku coba mengingat kembali bahwa kami juga pernah merasakan bahagia itu dulu.

“aku tak ingin hubungan ini terlalu jauh, aku harap kau mengerti. Walaupun ada yang salah dengan pernikahan kita masing-masing, tapi aku sangat sadar hubungan lain yang terajut di tengah badai rumah tangga juga merupakan kesalahan terbesar” ku akhiri emailku buat sang mantan kekasihku dulu. Semua harus berakhir, sekarang juga tekadku di hati. Memang sejak saat itu tak ada komunikasi apapun antara kami.

Dulu bagiku setiap permasalahan apapun itu pasti ada jalan keluarnya. Tapi perselingkuhan memiliki tingkat penanganan yang lebih serius, ketika berselingkuh akan ada perbandingan antara pria idaman lain dengan suami sendiri. Terkadang nafsu dan syaitan terlalu pandai memainkan perasaan manusia, padahal belum tentu apa yang kita inginkan akan indah seperti yang kita bayangkan.

“Apa ini….” Suamiku melemparkan handphoneku di atas kasur sebelum aku beranjak tidur.
Aku hanya diam saat matanya melotot menahan marah yang menyelubungi setiap sendi tubuhnya.

“Sekarang juga,…bereskan pakaianmu, keluar dari rumahku” aku menatap tak percaya atas apa yang dia lakukan, ini sudah jam 11 malam, aku harus kemana dengan tanpa uang dan tanpa saudara seorangpun di kota ini. Bukankah dalam kelam malam selalu ada kejahatan yang tersembunyi, lalu bagaimana dia tega mengusirku di tengah malam seperti ini.

Aku sujud tersungkur di kaki laki-laki yang dulu pernah membahagiakanku. Sekarang tanpa bertanya banyak, tanpa meminta penjelasan dariku dia mengusirku dengan cara yang sangat hina. Mungkin benar aku tak pernah pantas mendapatkan kata maaf, tapi seburuk apapun yang telah aku lakukan, bukan berarti dia boleh bentindak semena-mena padaku. Bukankah dulu dia mengambilku dari kedua tangan orangtuaku dengan cara yang baik, lalu mengapa dia ingin mengembalikanku tanpa mengantarkannya kembali dengan cara yang baik pula??

Apakah dengungan cinta yang membahana ruang hati kami dahulu telah sirna atau mungkin suamiku merasa terhina atas perselingkuhanku. Entahlah apapun alasannya, aku merasa perlakuannya kali ini lebih menyakitkan daripada alphanya dia memberikanku nafkah bathin. Masih beruraian air mata, perlahan kumasukkan beberapa baju ke dalam tas besar lalu memasukkan juga beberapa baju anakku.

“Tidak,…baju Wiena tidak boleh dibawa, dia akan tetap di sini bersamaku bukan bersama ibu yang tak tahu diri seperti dirimu”

Kata-kata suamiku begitu tajam kurasakan menyayat hatiku. Apakah aku harus membela diri dengan mengatakan aku menyesal dan aku telah mengakhiri hubungan dengan mantan pacarku karena ingin mempertahankan pernikahan kami??? Apakah dia masih mau mendengarkan ketika cinta yang menyatukan kami telah lenyap dalam pekatnya amarah..., Tuhan mungkin punya rencana yang lain, suamiku menendangku dari ikatan yang menyatukan kami. Bahkan dengan teganya dia memisahkan aku dari anak yang sangat kusayangi.

Aku tak ingin membela diriku, karena mungkin aku tak punya hak untuk membela diri.
Dengan segala keresahanku ku tampung semua duka hatiku ketika kukuatkan hati bahwa aku telah diceraikan dengan cara yang sangat menyakitkan. Apakah dia akan mendengarkan bahwa aku tersiksa dengan semua perlakuannya selama ini????... Apakah dia mau tahu penyebab dari semua ini???..ingin sekali aku meneriakkan di wajahnya dimana janjinya yang ingin membawaku ke syurga?? Dimana janjinya untuk selalu bisa menjadi imam dalam shalat jama’ah kami, dimana janjinya untuk bisa membangunkanku tahajjud bersama??...aku hanya diam ketika dia mengusirku dengan segala ketakberdayaanku.

Kulangkahkan kakiku bersama hancurnya tiap keping jiwaku, kukecup lembut kening anak semata wayangku yang masih tertidur pulas.

“Maafkan bunda sayang,…bunda bertahan untukmu, tapi bunda tak berdaya untuk membawamu serta,..bunda Cinta Wiena”

Malam itu aku benar-benar bisa merasakan bagaimana rasanya tanpa arti lagi. Langkah gontaiku di pekat malam semakin membuat kesendirian ini begitu terasa. Aku istri yang tak berbudi, aku ibu yang tak bertanggung jawab. Semua kata-kata itu seperti bayangan gelap mencekam yang membuntuti setiap langkahku. Aku telah tercampakkan, sangat dalam.

Masih kutatap bayanganku dalam redup lampu-lampu rumah yang menerangi mata kakiku untuk melangkah. Langit hitam, tanpa bintang dan bulan. Tak seorang pun yang menahanku untuk pergi. Semua diam, hanya isak tangisku saja yang kudengar hingga menembus kepekatan malam yang lengang.

Bagaimana ku tatap duniaku lagi yang memandangku penuh benci ketika hembusan perselingkuhan itu menjadi topik utama dalam sidang perceraian kami. Semua melihat akibatnya tanpa mencari penyebabnya. Harus ku kemanakan hatiku jika bukan karena iman aku sudah meminta Allah mencabut nyawaku. Karena isu perselingkuhan itu pula, hak asuh anak semata wayangku jatuh pada suamiku. Serasa dunia kiamat di depanku, serasa beribu gunung yang runtuh di depanku seketika.

Seburuk apapun aku akan bangkit, sekeras apapun terjangan itu aku harus kuat. Terakhir kali suamiku menggauliku ternyata membuahkan seorang janin di kandunganku. Tapi lagi-lagi aku harus dua kali lebih sabar dan kuat ketika anak yang ku kandung dianggap menjadi insan yang tak diinginkan ayahnya karena menurut suamiku janin yang kukandung bukan anaknya.

Lengkap sudah penderitaanku, ku kepakkan sayap lemahku demi anak yang dititipkan Allah padaku. Aku hanya ingin menjadi ibu yang shaleh. Aku hanya ingin membahagiakan anakku, walaupun mati-matian ku kumpulkan setiap pundi-pundi ketegaranku. Bagaimanapun aku hanya manusia biasa, wanita biasa yang terkadang lemah jika diterjang dari segala arah, terkadang sayapku juga terasa sakit akibat patah kena hantaman kehidupan. Tapi aku harus bangkit, tak ada gunanya meratapi yang lalu hanya akan menyisakan perih yang tak pernah usai.

------

Aurora masih terisak dalam pelukanku, aku bisa merasakan beban berat yang dia pikul sendiri saat ini. Tubuhnya berguncang hebat menahan air mata yang mengalir. Ku tatap ada sorot mata penyesalan, tapi aku juga melihat ada sorot kelegaan. Antara menyesal telah melakukan sebuah kesalahan dengan kelegaan terlepas dari beban bathin yang telah menghadangnya selama berumah tangga.

“Mira,…menurutmu apa aku ibu yang baik??

Ku anggukkan kepalaku sambil memberikan sapu tangan pada Rora. Sebersit aku menatap kagum pada wanita satu ini. Beban hidupnya begitu berat, kenyataan hidupnya begitu pahit untuk dipikul sendiri. Bukankah Allah Maha Pengampun atas setiap dosa yang dilakukan?? Bukankah Allah Maha Penyayang sehingga Rora mampu menjalani ini semua.

Tapi setiap hati memiliki cara merasakan masing-masing pada setiap masalah. Mungkin Rora salah telah berselingkuh lewat dunia maya, tapi bukan berarti suaminya juga suami yang baik untuk seorang Rora. Tak ada seorangpun yang tahu bagaimana aib itu tersingkap dan tersimpan dengan baik.

Diam aku menatap sajadah panjangku setelah menghabiskan bacaan surah Ar-rahman. Wahai yang Maha Sayang,..sayangilah hamba dan suami hamba untuk selalu berjuang mempertahankan pernikahan kami dalam kasih dan sayang. Wahai yang Maha Pengasih Kasihilah wanita-wanita yang teraniaya hatinya, ampunilah khilafnya dalam sebuah tabir penyesalan,..Amiennn

Untuk Wanita yang menghampiriku
Dengan genangan air mata
Ahris Nafsaka anittadbir (Ringankanlah dirimu atas apa yang menjadi kehendakNya)

Jakarta, 28 Maret 2010
Aida affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi

Jumat, 19 Maret 2010

Wanita Kedua Itu Sahabatku


aku bertanya padamu,….
Bukankah sahabat berarti berbagi, peduli dan memaafkan sahabatnya??
Tapi kau menjawabnya,…
Sahabat berarti berbagi, peduli dan mengambil orang yang dicintai sahabatnya,..


Luka tetaplah sebuah luka, walaupun telah ditelan waktu sekalipun mungkin luka itu masih tetap tersisa di hati. Dulu ku pikir meminta maaf adalah sesuatu hal yang sulit untuk di lakukan, namun ternyata berada di posisi memberi maaf tanpa menyisakan perih dan dendam jauh lebih sulit dari apapun. Namun akhirnya aku sadar itulah sejatinya perjuangan sebuah hati.

Seperti bebatuan yang jatuh tepat di ubun-ubun kepalaku laksana siksaan batu neraka yang dikirimkan Allah untuk ummat Nabi Luth. Dalam keadaan berjuang hidup dan mati, aku benar-benar tak percaya, ketika aku mendapati kenyataan bahwa wanita yang telah bertahun-tahun menjadi sahabatku menambatkan hatinya pada seorang laki-laki yang justru adalah suamiku sendiri.

--------------

Tiga tahun yang lalu saat di sebuah training pengembangan diri aku bertemu dengan Shinta. Seperti seorang gadis kecil sikapnya sangat manja, mungkin karena umur kami yang terpaut 5 tahun. Shinta memang lebih muda dariku, tapi entah mengapa antara kami hadir sebuah kecocokan hingga terjalin persahabatan itu. Mungkin karena sikapku yang berperan sebagai kakak dan shinta sebagai adik yang manis.
Shinta memang seperti malaikat, dia selalu ada di saat aku sangat membutuhkannya bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Bak seorang ibu peri dengan tongkat ajaibnya dia membuat anak-anakku jatuh hati padanya. Setiap pulang dari tempatnya bekerja Shinta selalu menyempatkan mampir ke rumahku hanya untuk membawakan mainan dan kroket kesukaan anak-anakku.

Apa yang harus aku katakan, wanita ini memang mampu mengalihkan perhatian semua orang karena kebaikan hatinya. Ya, Shinta bukan hanya baik tapi aku pikir Shinta juga sedikit berbeda, di saat yang lain membenarkan apa yang aku lakukan, tapi Shinta selalu menjadi sisi yang menunjukkan aku arah yang benar. Yah, aku pikir memang semestinya seorang sahabat menunjukkan sesuatu yang benar bukan selalu membenarkan apa yang kita lakukan.

Tak ada satupun yang menyangka bahwa persahabatan kami akan berakhir seperti ini. Tak terfikirkan olehku bahwa wanita yang childish itu mampu menaklukkan semuanya. Tak terfikirkan olehku bahwa wajah yang seolah-olah tanpa dosa itu mampu memporak porandakan semua pondasi hatiku. Sungguh, sama sekali tak terfikirkan olehku karena aku terlalu mempercayainya.

Aku tak pernah melihat sisi yang lain dari seorang Shinta. Selain ku akui Shinta memiliki wajah yang cantik, tubuh bak model catwalk tak kurang dari 170 cm tingginya. Mungkin di situlah letak sex appeal nya seorang Shinta sehingga membuat suamiku jatuh cinta lagi.

Aku ingat pertama kali saat aku meperkenalkan Shinta pada suamiku. Tak terbersit sedikitpun di hatiku untuk mencurigai mereka sama sekali, bahkan gelagat bahwa mereka akan mengkhianatiku di kemudian haripun tak pernah benar-benar kurasakan. Walaupun terkadang mereka asik bermain dan berbincang bersama anak-anakku di taman belakang rumah kami di saat aku sibuk di dapur dengan macaroni schuttle, aku tetap merasa bahwa kondisi itu wajar atau mungkin karena aku terlalu mempercayai mereka. Aku memang tak menaruh curiga sedikitpun sampai suatu hari itu dimulai ketika dokter memvonisku positif mengidap kanker serviks atau kanker leher rahim.

---------

Seperti wanita yang kehilangan kepercayaan diri ketika vonis itu dijatuhkan padaku. Mendadak aku ingin sendiri, merenungi apa yang harus aku lakukan setelah ini. Hidupku benar-benar hampa dengan berita itu. Kadang ku coba bangkit mengingat anak-anakku yang masih balita, siapa yang akan mengasuh mereka jika ibunya hilang semangat untuk bertahan hidup.

Dalam keadaan seperti itu Shinta hampir selalu hadir. Tak dapat kutampik aku merasakan betapa besar pengaruhnya saat itu. Dia selalu menyemangatiku untuk tetap optimis bahwa aku pasti sembuh, bahwa aku pasti kembali sehat. Dia selalu memompa semangatku tiap kali rasa lemah itu hadir. Terkadang dia hadir dengan leaflet berisikan tentang info pengobatan kanker serviks. Terkadang dia juga membawakanku obat-obatan tradisional guna mengurangi penyebaran sel kanker sebelum penanganan medis dari dokter dilakukan.

Seperti pepatah jawa Tresno jalarang suko kulino, ya cinta itu hadir karena sering bersama. Semua berawal saat kami sekeluarga ke singapura. Suamiku sengaja mengajak aku dan anak-anak jalan-jalan ke singapura untuk mengurangi stresku sebelum melakukan pembedahan sel kanker pada leher rahimku. Menurut dokter sel kanker yang menyerangku masih bersifat karsinoma in situ atau kanker yang terbatas pada lapisan serviks luarnya saja, dengan bantuan pisau bedah atau pun melalui LEEP (Loop electrosurgical excision procedure) seringkali sel kanker dapat diambil. Walaupun kemudian aku harus bolak balik kembali untuk pap smear setiap tiga bulan sekali.

Entah mengapa mungkin karena rasa percayaku pada suami dan Shinta, dengan tanpa maksud apapun aku minta ijin pada suamiku agar mengajak Shinta ikut serta ke Singapura dengan semua biaya ditanggung oleh suamiku. Sungguh itu terjadi di luar keinginanku, di luar kontrolku untuk segera mendeteksi rambu-rambu penunjuk tanda bahaya itu.

“Bukankah sebuah perselingkuhan terjadi karena adanya sebab akibat” ungkap suamiku suatu hari saat membela diri.

Ya, sebab aku terlalu mempercayai suamiku dan Shinta. Ya, sebab aku memberikan kesempatan waktu untuk mereka berdua mencurahkan signal-signal cinta yang telah hadir sejak lama. Di situkah letak kesalahanku?? Apa karena Shinta lebih muda dariku??? Apa karena Shinta lebih cantik dariku?? Apa karena Shinta selalu hadir di saat aku gundah menerima kenyataan bahwa aku mengidap kanker??

Ah, laki-laki…apa demikian mudahnya untuk jatuh cinta lagi?? Apa demikian visualnya seorang laki-laki ketika yang hadir di depan mata jauh lebih cantik dan lebih muda daripada yang sudah menemaninya berjuang hidup bersama selama 7 tahun yang lalu??,…Ah, laki-laki seperti tak pernah habis waktuku untuk menelusuri bagaimana sebenarnya cinta itu hadir begitu saja antara mereka.

Tak ada seorangpun yang menyampaikan padaku bahwa mereka mengkhianatiku. Sungguh, tak seorangpun yang khusus datang menyampaikan apa yang telah mereka lakukan di belakangku. Tapi Tuhan telah menyampaikannya padaku dengan cara Nya sendiri tentang kenyataan yang mengiris hatiku itu. Hampir aku tak bisa menerima kenyataan ketika pertama kali dalam keadaan setengah sadar pasca pembedahan dan kesakitan di ruang rawat inap, ku lihat di sudut ruangan suamiku memeluk Shinta dengan mesranya. Mereka benar-benar telah menempatkan sebuah posisi yang lebih besar untuk sesuatu yang bernama “Nafsu”.

Mereka tak menyadari dalam keadaan samar aku masih bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan. Mereka tak menyadari dalam keadaan setengah sadar sekalipun hatiku masih merasakan sesuatu yang janggal telah terjadi di sekitarku. Berulang kali aku bertanya dalam hatiku, apa mereka tak berfikir seketika sewaktu-waktu aku bisa saja terbangun atau dua orang anakku bisa saja terbangun mendapati perbuatan mereka yang sudah sangat keterlaluan.

Oh Tuhan,..sudah berapa lama mereka melakukan ini padaku. Dengan bermodalkan rasa kepercayaanku mereka benar-benar telah menghancurkan semua pengharapanku. Seketika aku ingin mati saja, dalam keadaan masih lemah, dalam keadaan masih merasakan sakit aku benar-benar memohon pada Tuhan agar nyawaku diambil saja. Aku sungguh tak mampu bertahan menerima kenyataan telah dikhianati oleh suami yang sangat kucintai dan oleh seorang sahabat yang sangat kusayangi.

Ya Rabbi,..kemana harus kutambatkan hatiku jika bukan Engkau yang menerimaku. Ya Allah, kemana kuharus mengadukan resahku jika bukan Engkau yang Maha mendengarkannya. Hamba lemah ya Allah diperlakukan seperti ini. Hamba lemah ya Allah, hamba hanya manusia biasa yang hatinya juga merasakan sakit yang teramat dalam. Kemana hamba harus membuang lara jika bukan Engkau yang menguatkan hamba.

Aku menangis dalam tanyaku pada Allah, rasa sakit itu bukan main telah menjalari sekujur tubuhku. Lebih ganas dari sel kanker yang diam-diam menggerogoti tubuhku. Lebih sakit dari bekas luka operasi yang baru saja ku jalani. Sakit, sungguh sakitnya tak terperi.

Aku hanya diam dan menyimpan semua yang telah kuketahui tentang pengkhianatan mereka padaku. Aku memilih diam dan bertahan demi anak-anakku. Anak-anakku masih terlalu kecil untuk mengerti tentang hal ini jika tiba-tiba aku melepaskan amarahku di depan mereka, namun ternyata dengan diam semakin menyiksaku, menyiksa semua pertahananku untuk tetap tenang dan berfikir. Tapi ku pikir aku harus tetap bertahan.

--------

Ternyata perjalanan ke singapura merupakan salah satu jalan ketika semua kebathilan yang tersembunyi di balik mata itu terbuka juga dengan izin Allah. Aku masih tetap diam, diamku bukan berarti aku rela dan menyerah dengan semua keadaan ini. Mereka masih tetap bersikap manis di depanku dan bercumbu di belakangku seolah-olah aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh ini sebuah hal yang memuakkan.

Hari ini, mungkin menjadi suatu hari yang tak pernah terlupakan seumur hidupku. Kupaksa Shinta menemaniku makan siang di luar, tentu saja di luar kebiasaanku yang tak pernah sekalipun menemuinya di jam makan siang.

Aku menangkap mata itu resah, sikapnya serba salah. Tak seperti biasanya shinta menjadi seorang yang sangat pendiam. Dia masih mencoba tersenyum, walaupun ku tahu itu bukan sebuah senyuman dari hati seperti yang selama ini kulihat. Tiap kali kucoba menatap matanya, kembali shinta memainkan jari-jarinya untuk kesekian kalinya pula.

“ada apa, mengapa sikapmu begitu gugup Shin” ucapku basa basi

“banyak kerjaan di kantor mba” jawab Shinta mencoba mengalihkan arah pertanyaanku.

“aku ga akan lama kok Shin, aku pingin ketemu kamu untuk mengungkap suatu hal saja” jawabku santai sambil melirik ke arah Shinta. Ku lihat wajahnya berubah pucat, matanya semakin setia menekuri setiap sudut meja di hadapan kami.

“apa kau mencintai Mas Rangga??” tanyaku menantang kejujuran Shinta.

“eeehhh,..kok mba nanya nya gitu?” Shinta semakin gugup.

“jawab saja, apa kau mencintainya?? sejauh apa Shin,..apa kalian sudah melakukannya selayaknya suami istri” aku semakin memburunya, emosiku terpancing juga dengan ketidakjujuran Shinta.

“mba,..mba ngomong apa??siapa yang berusaha merusak persahabatan kita mba??” Shinta berdalih, tapi kali ini dia gagal karena aku sangat faham bagaimana sifatnya seorang Shinta.

“Kamu Shin,..kamu yang merusak persahabatan kita, sampai saat ini aku terus mencari dimana letak kesalahanku sehingga kau dan mas Rangga berani berbuat ini padaku.
Tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang pengkhianatan kalian, tidak,… tidak,.. seorangpun hanya Allah saja. Aku dan anak-anak mungkin tidak tahu dosa yang kalian lakukan di belakangku, tapi Tuhan, apa Dia tidur menyaksikan semua dusta yang kalian lakukan?? Shinta sama sekali tak menjawab bahkan dia sama sekali tak berani membela diri.

“mengapa diam??,..katakan, apa aku pernah sangat menyakiti hatimu Shin, kalau memang benar aku pernah menyakitimu aku bersedia minta maaf tapi bukan berarti kau boleh berbuat ini padaku..sudah sejauh apa?? Jawab pertanyaanku,..suaraku agak sedikit keras dan terkesan membentak Shinta, beribu kali ku kuatkan hatiku untuk tak setitikpun menitikkan air mata, aku tak ingin Shinta melihat aku begitu lemah dengan peristiwa ini.

“maafkan aku mba, aku sungguh tak ingin membuatmu terluka. aku tak sengaja jatuh cinta pada mas Rangga, mas Rangga juga demikian semua terjadi begitu saja” shinta menitikkan air mata berusaha menjangkau jemariku di atas meja mencoba untuk meyakinkanku.

“itu pembelaanmu Shin,..kau benar-benar telah menyakitiku dengan mengambil semua rasa kepercayaanku padamu, katakan padaku jika kau berada di posisiku apa kau akan memaafkan kesalahan seperti ini??” apa kau tidak terluka dikhianati Shinta,..jawab aku apa kau masih punya hati untuk merasakan apa yang aku rasakan sekarang?? Coba Shinta,..coba kau rasakan detak amarah yang terus mengalir di setiap jantungku”kutarik dengan paksa tangan Shinta untuk merasakan detak di dadaku.

Shinta semakin sesenggukan dengan semua pertanyaanku. Hatiku sangat hancur bahkan ku tak mampu menangis lagi di depan wanita yang telah menghancurkanku dan rumah tanggaku. Katakan, apa aku salah telah menghakimi Shinta, aku tak bisa menafikan bahwa semuanya terjadi karena ada yang menawarkan dan ada yang menerimanya. Mungkin suamiku yang memulai dan shinta menerimanya, atau bisa saja shinta yang memulai lalu suamiku mengabulkannya.

“katakan,..aku harus bagaimana sekarang??, apa kau pikir luka ini bisa hilang secepat ketika kau menorehkannya?? Entahlah,..antara kita berdua harus ada yang mengakhiri ini. Jika bukan kau tentu aku”…kutarik nafas dalam-dalam, percuma aku menguras energy untuk tetap marah pada shinta. Aku berlalu meninggalkannya dengan amarah yang meluap-luap di dadaku. Terlalu lelah untuk menata hatiku jika terus berhadapan dengannya, bagaimanapun aku ingin lebih bijaksana dalam menyikapi ini.

-------------

Aku bahkan tak punya tenaga lagi saat kudapati suami yang sangat kubanggakan malah menyalahkanku atas semua kejadian ini, menyalahkanku karena beberapa kelemahanku, menyalahkanku untuk alasan yang kurang relevan dan tak berhubungan dengan kehadiran Shinta di hatinya. Mas Rangga sama sekali tak ingin disalahkan, lalu siapa yang salah?? Aku kah yang salah karena tidak mengerti cinta mereka. Oh,..ini sungguh terlalu.

“mengapa kau harus menghakimi Shinta?? Bukankah aku juga bagian dari masalah ini” kata-kata mas Rangga begitu menyayat hatiku, kata-kata itu menghujam tepat pada jantungku. Mas Rangga membela Shinta, mas Rangga telah melupakan cinta antara kami berdua demi wanita yang lebih muda lima tahun dari umurku. Kenyataan yang begitu menyakitkanku.

“aku tak hanya kecewa padanya tapi juga padamu, suami yang selalu ku utamakan dari apapun di dunia ini ternyata malah menjadikan aku orang lain di hatinya demi wanita lain. Apa kalian punya alasan untuk membela diri, seolah-olah aku tak boleh menghakimimu dan Shinta??” aku kembali bertanya.

“jika benar kami salah menurutmu, tapi kau tak perlu memarahi Shinta seperti itu. Bukankah kau juga telah membuat dia semakin merasa bersalah dan sakit??” mas Rangga mengucapkan kata-kata yang seolah-olah tak membuatku kaget setengah mati mendengarnya.

Apa??? Sakit??? Sakit hatikah Shinta karena perlakuanku ketika aku meminta pengakuannya?? Sakit hatikah Shinta karena seorang sahabat bertanya bagaimana teganya dia menyakiti perasaan sahabatnya sendiri??,…sakit, siapakah yang lebih sakit saat seperti ini. Shinta wanita yang datang dalam hari-harimu belakangan ini selalu menjadi indah dibanding istrimu yang terkadang terlihat kelemahannya karena telah bertahun-tahun bersamamu. Lalu siapa yang lebih sakit??? Shinta atau Aku????,….

Aku berteriak-teriak bersama linangan airmataku. Bukankah aku yang paling sakit saat ini, bukankah aku yang paling menyedihkan saat ini. Bagaimana mereka masih menganggap aku tidak sakit hati, bagaimana mereka bisa memaksaku untuk menerima semua cinta yang hadir antara mereka, bagaimana bisa mereka berlaku demikian kejam padaku. Bahkan yang membuat aku semakin ingin mati ketika mas Rangga dengan entengnya memintaku untuk menandatangi surat izin mas Rangga untuk menikahi Shinta.

“Gila,…lelucon macam apa ini?? aku bukan hanya disakiti dengan perselingkuhan suami dan sahabatku, tapi aku juga dipaksa merelakan dan memberikan legitimasi atas cinta mereka. Ini bukan hanya terlalu, tapi sungguh sangat keterlaluan.

“shinta,..aku pernah bilang semua ini harus berakhir, jika bukan kau orangnya berarti akulah yang akan mengakhirinya”…tak ingin kulihat wajah Shinta lagi. Bukan karena aku merasa kalah, tapi aku merasa benci itu semakin besar hadir atas sikap dua orang yang sama sekali tak ku kenal lagi, semua berubah karena cinta yang menggebu-gebu antara mereka. Sungguh mereka telah dibutakan cinta untuk memahami perasaanku.

“Mas Rangga, Sekarang aku mohon dengan sangat, jika kau laki-laki sejati ceraikan aku” tangisanku akhirnya meledak juga.

Dua kalimat itu terasa tercekat di leherku. Memikirkan kalimat itu saja hampir tak pernah sekalipun dalam hidupku, membayangkan hidup tanpa suami dan membesarkan anak seorang diri adalah hal yang paling menyedihkan bagiku. tapi sekarang aku telah memintanya dengan lantang karena merasa harga diriku yang telah diinjak-injak demikian hinanya di mata suamiku, dan yang paling menyedihkan karena aku kalah oleh kenyataan bahwa suamiku jatuh cinta lagi pada wanita yang jauh lebih cantik dan menarik dari istri yang tak berharga lagi di matanya.

Terkadang aku pernah bertanya dalam hati. Bukankah tak ada seorangpun di dunia ini yang tampak sempurna selain Rasulullah??,..bukankah kekurangan seorang istri atau suami akan senantiasa tampak ketika kita melihat yang lain “bukankah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita sendiri”. Sama halnya seperti yang aku alami dulu, ketika sebelum menikah semuanya seolah-olah akulah yang nomor satu di mata mas Rangga. Namun ketika dia mengenal Shinta segalanya tentang aku hanyalah sebuah cerita picisan belaka. Aku tak tahu apakah ini akan berlaku pada Shinta juga kelak.

Kulihat mimik wajah Shinta yang terkejut dengan permintaan ceraiku. Aku tak ingin mempertimbangkan apapun lagi, bukankah memang itu yang mereka inginkan dariku. Pergi dari kehidupan mereka dan berjalan jauh sebagai seorang yang kalah. Mungkin aku kalah karena tak mampu mempertahankan pernikahanku, tapi aku menang membela hak-hakku sebagai seorang wanita yang benci atas nama pengkhianatan.

-----------

Perceraian,..tak ada seorangpun wanita di bumi ini ingin bercerai, perceraian dulu bagiku selalu menjadi momok yang menakutkan. Namun ternyata semua hal itu menjadi berat ataupun ringan hanya ada di pikiran kita saja. Harus ku hadapi kenyataan saat ini walau seberat apapun itu harus ku jalani. Untungnya aku selalu siap untuk menjadi mandiri karena bagiku seorang istri harus tegar dalam kondisi apapun. Mungkin karena aku terbiasa melakukan banyak hal seorang sendiri walaupun mas Rangga masih bersamaku dulu.

Bersama dua anak-anakku aku menjalani hari yang sungguh sangat berbeda dari yang sebelumnya. Shinta menikah dengan mas Rangga dan aku memilih menjauh, jauh dalam segala hal yang berhubungan dengan mereka. Apalagi ku ketahui mas Rangga sedang menikmati waktunya menjadi ayah, anak yang dilahirkan Shinta. Sungguh,.. aku belum mampu memaafkan mereka. Walaupun beberapa kali Shinta mengirimiku surat, email, pesan singkat bahkan telpon untuk memohon maafku, tapi hatiku tetap tak bergeming.

Berulang kali kucoba menghilangkan dendam dan benci di hati ini, tapi selalu tanpa hasil. Semakin ku coba, aku semakin terperangkap dalam kubangan kebencian yang teramat dalam. Apakah benar hatiku telah membeku untuk memberikan kata maaf yang bisa saja terucapkan oleh lidah tapi sulit diamini oleh hati. Entahlah mungkin suatu saat nanti, mungkin Allah akan menghilangkan kebencian itu dari hatiku. Sama halnya ketika Allah menghadirkan kebencian itu di hatiku.

Berdasarkan Kisah seorang sahabat,..
“apakah benar salah satu hubungan yang tak terputus itu
adalah sebuah persahabatan??”

Jakarta, 16 Maret 2010
Aida m. Affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com

Kamis, 11 Maret 2010

Tentang pernikahanku


Tak akan kubenamkan asaku dalam sekulit duka di masalalu
Dalam keyakinanku, aku tak pernah sendiri
Selalu ada Tuhan yang mengiringi langkah kecilku,….


Ku tatap dua pasang mata indah di depanku, dua gadis kecilku yang beranjak remaja. Bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka bahwa aku ibunya akan menikah lagi. Setelah pernikahan pertamaku yang berakhir dengan perceraian, bukankah akan membuahkan kekhawatiran dalam diri gadis kecilku karena pengalaman buruk dulu. Aku tersudut dalam pikiranku sendiri, ku putar semua kata-kata yang telah ku susun sejak pagi tadi. Semuanya buyar ketika iris mata coklat itu tersenyum padaku.

Menikah lagi,..mungkin itu satu pertanyaan yang selama ini selalu ku hindari. Sulit kuyakinkan hati, bahwa ternyata Tuhan menggariskan dalam hidupku harus menikah dua kali. Apa aku harus bangga??, tidak,..sama sekali aku tidak bangga. Kalau bisa memilih tentu aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku. Perceraian yang pernah terjadi bukanlah sebuah prestasi dalam kehidupanku, meskipun halal tapi tetap saja suatu hal yang dibenci oleh Allah. Bagaimanapun hatiku sedih saat memisahkan anak-anakku dari ayah kandung mereka.

Tapi jika hanya dengan perceraian semuanya menjadi lebih bermakna, apakah aku harus mundur mengambil keputusan itu?? dan itu yang aku rasakan dan telah aku lakukan, bahwa aku harus bertahan untuk selalu berbahagia demi anak-anakku, mempertahankan bersama dalam satu rumah yang sudah seperti neraka juga bukan pilihan yang baik untuk anak-anakku. Dulu ku pikir ini suatu hal yang memalukan, mungkin juga karena stereotype kebanyakan orang yang membuat penilaian seperti itu. Namun akhirnya harus ku sadari aku tak perlu bertahan dan mengorbankan sebuah kebahagiaan hati yang juga layak kusematkan di dadaku.

------

Memang benar rasa cinta dan benci itu hanya memiliki batasan yang sangat tipis, seperti perasaan cinta rasa benci juga demikian selalu meledak-ledak dan berkobar-kobar dalam hal yang kecil sekalipun. Tak satupun yang ku mengerti ketika seorang lelaki yang sangat mencintaiku dulu berubah menjadi seseorang yang tak pernah menganggap aku seseorang yang penting lagi dalam hidupnya.

“Apa masalahmu mas??,..akhir-akhir ini aku merasa kau semakin uring-uringan tanpa sebab. Kalau aku punya salah tolong katakan, jangan mendiamkan aku berhari-hari seperti ini”. Akhirnya ku beranikan juga bertanya pada Hadi, sikapnya yang semakin tidak ku mengerti perlahan-lahan mulai mengganggu perkembangan nilai-nilai anak-anakku di sekolah dan pekerjaanku di kantor.

Terkadang ku dapati wajah Syifa dan Nadia yang tegang saat melihat aku beradu argumentasi dengan ayahnya. Terkadang mereka melihat aku menangis sesenggukan. Tapi mereka hanya diam tak berani bertanya banyak. Hanya pelukan yang mereka berikan saat ku merasa semua yang kulakukan selama ini tiada berharga di mata Hadi.

Pernikahanku yang pertama terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sama halnya seperti pasangan yang lain, aku dan suamiku sempat merasakan indahnya percintaan itu. Kami berkenalan dan menjajaki pikiran masing-masing selama setahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah membangun kebahagiaan dalam kasih sayang Allah.

Di awal pernikahan aku bekerja sebagai staf keuangan di sebuah lembaga pendidikan, sementara Hadi suamiku bekerja sebagai honorer di kantor pemerintahan. Tak ada yang salah dalam pernikahan kami hingga di tahun kelima itu terlampaui. Aku pikir kisah pilu itu berawal dari sini, entah mengapa hal ini kemudian selalu menjadi sumber perselisihan antara kami. Ya,..masalah itu berjudul harga diri laki-laki.

Tanpa perlu melakukan pengamatan aku yakin seyakin-yakinnya dengan perubahan Hadi, seolah-olah aku tak pernah benar-benar mengenalinya dengan baik. Dia justru berubah di saat dua orang malaikat cantik kami butuh perhatian ekstra di usia sekolah. Entah mengapa semua menjadi buram di matanya saat promosi karierku menanjak pesat dengan penghasilanku tiga kali lipat lebih banyak dari penghasilannya. Semua semakin terlihat salah saat aku menjabat sebagai manager pendidikan di tempatku bekerja.

Benar, tak pernah cukup waktu untuk mengenali seseorang, bahkan setelah menikah sekalipun. Hadi yang dulu sangat manis berubah menjadi laki-laki dengan kepribadian yang sama sekali tidak kukenal lagi. Akhirnya aku menyadarinya bahwa jabatan baruku telah memancing ego kelaki-lakiannya. Dia cemburu, cemburu oleh persaingan yang dihadirkannya sendiri. Cemburu yang mampu menghilangkan rasa cintanya padaku, cemburu karena merasa tak sebanding denganku lagi, cemburu karena dia merasa aku berada jauh di atasnya. Mungkin begitulah dia melampiaskan perasaannya.

“Apakah karena jabatan baruku membuatmu seperti ini?? Entah untuk berapa kali sudah ku ulangi pertanyaan itu, namun dia tetap diam. Mendiamkan aku berminggu-minggu, melupakan anak-anak yang butuh kehadiran seorang ayah. Bahkan dia lebih memilih meletakkan kesetiaannya pada kartu-kartu remi kesayangannya semalaman bersama teman-temannya daripada pulang menemani aku dan anak-anak tidur.

Bagiku bekerja dan beraktivitas merupakan sebuah eksistensi diri selain karena kebutuhan hidup kami yang semakin besar dan rasa tanggung jawabku sebagai anak tertua yang sudah waktunya ikut membantu biaya kuliah adik-adikku, tapi bagaimana aku harus menjalani ini semua jika tanpa ada dukungan seseorang yang sangat kucintai. Apa aku telah menyalahi kodratku?? Tidak,..aku bukan pencinta emansipasi wanita yang melewati koridornya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Karenanya aku tak pernah lupa memasakkan sarapan sekeluarga di pagi hari, aku tak pernah lupa menyiapkan bekal untuk Syifa ke sekolah, bahkan malam sekalipun aku selalu sempatkan diri untuk menemani Nadia membaca buku sebelum tidur.
Lalu dimana letak kesalahanku?? Hadi tak pernah bicara, bahkan tak ingin membahas ini semua denganku tidak juga dengan yang lain kecuali dengan kartu-kartu reminya yang semakin hari semakin membuatnya senewen dan bertambah aneh.


---------

Berulang kali aku bertanya dalam hati, apakah Hadi membenciku?? Apakah Hadi tak mencintaiku lagi??,..tiap kali ku bertanya, tiap kali pula tak ku temukan jawabannya. Jika ia masih mencintaiku tetapi mengapa sikapnya demikian kasar padaku, mengapa seolah-olah semua yang kulakukan menjadi salah dimatanya??. Berulang kali kucoba memahami perasaannya, tapi Hadi tak pernah memberiku kesempatan untuk itu.

“Ada acara makan malam bersama dengan beberapa orang kolegaku, kamu mau kan ikut??” kata-kataku sedikit merayu hadi berharap dia mau membuka diri dan mengenali pekerjaanku. Hanya sekedar mengenali dan tahu apa yang istrinya lakukan selama ini sangat membutuhkan dukungan yang besar dari keluarga terutama dari suami.

“Tidak,..aku ga mau ikut” jawabnya ketus.

“Masalah mu apa mas?? Aku semakin tidak mengerti kondisi kita seperti ini. Seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang besar. Semakin ku coba untuk mengerti tentang keinginanmu, semakin aku tak menemukan apa sebenarnya yang kau inginkan” sifatku yang terkadang emosional menghadapi sesuatu semakin membuat Hadi tak bergeming.

Baiklah, katakanlah aku bukan ibu yang becus atau katakanlah aku bukan istri yang selalu bisa memperhatikannya. Tapi tolong katakan dimana letak kesalahannya atau caraku menyampaikannyakah yang salah??... Aku tak berubah samasekali padanya dan anak-anak. Aku masih menyiapkan sarapan mereka, aku masih menyiapkan baju dinasnya untuk ke kantor. Aku juga membayar kebiasaan waktu mengobrol kami dengan selalu menelpon di sela-sela kesibukanku. Lalu salahnya dimana?? Ah,..percuma aku bertanya dimana letak kesalahan itu, rasa-rasanya semua akan terlihat salah jika hati Hadi telah memvonisku salah. Bahkan segala sikapnya selama ini selalu menunjukkan permusuhan padaku. kembali hati kecilku berkata bahwa dia memang tidak mencintaiku lagi.

Terkadang cepat kutepis ketika perasaan itu hadir ketika melihat hadi bersikap manis padaku. Sebagai seorang istri tak ada hal yang lebih indah saat melihat suami berwajah manis di hadapan istrinya walau akhirnya kutahu semua sikap manisnya selalu berujung uang dan uang. Yah,..hadi selalu bersikap manis padaku saat ia membutuhkan uang dalam jumlah yang besar untuk beberapa kebutuhannya.

“Bicara apa kamu mas tentang keikhlasan?? Aku murka ketika Hadi menuduhku berkuasa atas rumah tangga kami, karena sebagian besar pengeluaran bahkan uang sekolah untuk adik-adiknya dibiayai olehku. Tubuhku bergetar menahan amarah yang teramat sangat. Darimana pikiran picik itu hadir, apakah dari ketakpercayaan diri Hadi yang sudah sangat terlalu??....

Ku usap dadaku, tak sanggup ku menahan sesak yang membuncah di hatiku. Beribu kali aku terpaku dalam keadaan yang semakin membuat hubungan kami terasa jauh. Oh Hadi, apakah dia tahu bagaimana hatiku dengan sangat bahagia membiayai kebutuhan ibu bapaknya dan biaya kuliah adiknya. Bahkan aku tak pernah mempermasalahkan ketika bertahun-tahun sudah dia tak memberiku nafkah. Apakah dia tahu bagaimana mirisnya hatiku telah dianggap tidak ikhlas dalam hal memberi??...Ah, Apa aku perlu bertanya lagi jika jawaban yang mengalir dari mulutnya hanya sebuah penghinaan dan hujatan. Kembali ku usap dadaku yang terasa perih, telah kucukupkan hari ini tak akan ku bertanya lagi.

-------------

Allah humma Arinal haqqa haqqan, Warzuknattiba’ah
Wa Arinal Bathila Bathilan Warzuknajtinabah
Ya Allah, tunjukkanlah yang Hak adalah Hak dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk mengikutinya
Dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk menjauhinya
.


Tak cukup sampai di situ keanehan yang di alami Hadi, dia semakin uring-uringan saat aku semakin sering berurusan dengan pejabat-pejabat tinggi di kota kami. Rasa cemburunya semakin menjadi-jadi, bahkan membuat dia sama sekali tak percaya lagi padaku. Ku akui aku lelah dengan situasi ini namun tetap ku coba menetralkan suasana hatinya dengan mengajaknya bersama di beberapa acara kantorku, tapi kembali dia selalu merasa niat baikku adalah untuk menjatuhkan harga dirinya sebagai suami.

“Akui saja,..latihan tennis ataupun golf bersama pengusaha-pengusaha itu hanya sebuah alasan legalisasi perselingkuhanmu kan…” tiba-tiba Hadi menyalak di depanku, persis seperti seorang terdakwa aku dituduh tanpa bukti. Matanya merah menatapku, bau alkohol dari mulut Hadi menyelinap masuk ke rongga hidungku sampai membuatku ingin muntah.

“Seharusnya aku yang bertanya, kemana saja uang yang kau peroleh selama ini?? Untuk mabuk-mabukan seperti inikah?? Aku malu pada keluargaku atas sikapmu akhir-akhir ini. Apa kau fikir anak-anak tidak malu menemui ayahnya seperti seorang preman jalanan”…emosiku kian memuncak, kata-kata yang keluar dari bibirku sudah di luar kontrolku, aku marah dengan keadaan ini.

Tangan Hadi mengancang-ancang hendak menampar mukaku. Sekejap mataku ku tutup rapat, tak sanggup kurasakan sakitnya jika memang benar kepalan tangan Hadi akan mendarat di pipiku. Cucuran airmata di pipiku tak sanggup ku tahan lagi, badanku bergetar sesenggukan aku menahan sakit yang tak terperi di hatiku. Ini bukan Hadiku lagi, ini syaitan yang telah menjelma di hadapanku.

Ploooookkkkk,….sebuah pukulan tepat di wajahku. Terasa begitu panas dan menyakitkan, terhuyung-huyung aku merasakan pukulan yang hebat itu, hadi bukan hanya memukul fisikku tapi juga telah dengan keras memukul hatiku. Hadi berlalu meninggalkanku dalam keadaan terisak dan sujud di kakinya, selama ini dia tak pernah memukulku tak pernah sekalipun walaupun sering mengancam akan memukulku. Namun kali ini dia telah melakukannya, kurasakan beban hatiku semakin berat dengan perlakuannya saat ini. Menangis hanya itu yang sering aku lakukan. Bahkan aku tak pernah malu lagi ketika berulang kali menangis memohon pertolongan Allah dalam sajadah malamku.

Ya Allah,..tolong hamba jika Hadi memang jodoh yang Engkau pilihkan buat hamba hingga akhirat kelak, berilah kami tanda terang untuk memperbaiki ini semua. Jika tidak, hamba serahkan semuanya padaMu ya Allah, Engkau selalu tahu apa yang terbaik buat kami.

Perselisihan itu masih terus berlangsung hampir dua tahun, terkadang berat ku hadapi ini. Apalagi melihat Syifa dan Nadia yang lebih sensitive dari biasanya. Syifa yang dipaksa dewasa dari umurnya untuk faham tentang masalah yang dihadapi orangtuanya. Hingga suatu hari ketika semuanya menjadi terang untukku bersikap, setelah tak lelah menanti jawaban atas do’a-do’aku selama ini.

“Oh,..jadi ini yang selama ini yang kau lakukan, sekarang aku mengerti kemana semua uangmu kau larikan. Ternyata untuk taruhan atas kesetiaanmu pada kartu-kartu remimu ini” kali ini aku benar-benar murka. Ku dapati Hadi dengan bertelanjang dada dan wajah yang penuh ambisi menang bertaruh di meja judi. Aku meledak-ledak. Bagaimana tidak, aku sama sekali tak mendapati suamiku yang santun ketika menikahiku dulu, yang kutemukan kali ini adalah seorang laki-laki kasar dan pencandu judi. Entah berapa lama dia telah menyelingkuhi uang-uangnya itu di belakangku. Sejenak namun pasti, kurasakan semua perasaan cinta itu hilang dari hatiku bersama kekecewaan yang teramat dalam padanya.

“Perempuan jalang,..mau apa kau kemari?? Urus saja selingkuhan-selingkuhanmu yang kaya raya itu”. Hadi spontan menjawab pertanyaanku, bahkan dia tak menyadari bahwa aku sangat hancur dengan semua kebohongan dan kata-katanya yang menghantam keras tepat di hatiku.

Tak sebaris katanyapun kujawab lagi, aku berlari membawa hatiku yang remuk dan semakin jauh dari ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang telah kalah oleh kemenangan nafsu dan syaitan. Ku tenangkan diriku sejenak di dalam mobil. Kutarik nafasku perlahan-lahan mengurangi energy negative yang memenuhi pikiranku sebelum menjemput Syifa dan Nadia.

“Kita pulang ke rumah nenek nak”,..aku duduk di depan dua gadis kecilku yang sedari tadi menatap mataku yang bengkak karena kenyang menangis.

“Nanti begitu sampai di rumah nenek, mama akan jelaskan semuanya pada kalian. Sekarang bantu mama persiapkan semua baju-baju kalian masing-masing selama kita tinggal di rumah nenek nanti. Kulihat Syifa lebih dewasa menanggapi ini ketika Nadia mencoba bertanya mengapa ayahnya tidak ikut bersama kami.

“Hushh,..jangan banyak nanya Nad,..kan kata mama, begitu kita sampai di rumah nenek akan dijelaskan semuanya kan” Syifa melirik ke arahku, aku tahu dia semakin dewasa atau memang terpaksa menjadi dewasa karena kondisi yang kami alami.

Aku tak tahu apa aku telah berdosa meninggalkan rumah tanpa minta izin pada suami yang tak bertanggung jawab itu. Yang ku tahu seorang istri harus mendapat izin dari suami sebelum meninggalkan rumah, tapi apakah hal ini juga berlaku pada laki-laki yang tak pernah berniat untuk mempertahankan pernikahan kami. Jika iya, aku mohon ampunan Allah, aku hanya ingin menjaga perasaan anak-anakku yang belum mengerti permasalahan yang dihadapi kedua orangtuanya.

Rasanya perjalanan ini begitu lama ku rasakan, aku ingin memeluk ibuku, aku ingin bersujud di kedua kaki ayahku memohon diberikan doa untuk anaknya yang telah dihancurkan oleh suaminya sendiri. Betapa hatiku sangat membutuhkan sandaran saat ini. Satu-satunya yang membuatku kuat adalah kedua putriku yang sedang tertidur pulas dalam pelukanku.

--------------

Ibu dengan mata yang penuh berkabut memelukku yang menangis tiada henti. Ibu membelai lembut rambutku, sama kurasakan lembutnya belaian ini saat ibu melepaskanku untuk menjadi istri Hadi delapan tahun yang lalu. Jika dulu ibu membelaiku menangis melepaskan anaknya saat dipersunting oleh seorang Hadi, namun kali ini ibu membelaiku menangis untuk memberikan kekuatan dan ketenangan atas perlakuan Hadi. Oh, itu sungguh dua hal yang sangat berbeda kurasakan.

“Aku sudah mencoba bertahan bu,.. tapi mungkin harus begini akhirnya. Sungguh bukan perceraian yang kuharapkan dalam sebuah pernikahan. Namun selama dua tahun konflik antara kami terjadi, semakin membuat suasana yang tidak sehat untuk kedua anakku. Aku tahu, bagaimanapun perceraian selalu berdampak negative bagi anak. Tapi mempertahankan pernikahan yang telah tanpa cinta juga memberi pengaruh yang tak jauh berbeda dengan perceraian.

Ibu mengusap dadanya saaat ku ceritakan perlakuan Hadi selama ini padaku. Ayah yang biasanya tenang kali ini terlihat lebih gusar. Sesekali kupandangi mata coklatnya menunjukkan kecemasan yang tiada tara. Bagaimanapun aku tetap anaknya, mereka tak akan rela anaknya diperlakukan demikian menyedihkan.

“Sudahlah nak,..kalau memang kondisinya tak mungkin dipertahankan lagi, urus saja keperluan-keperluan untuk bercerai. kami juga tak ingin anak perempuan kami diperlakukan seperti itu”. Ayah kemudian diam setelah memberikan persetujuan atas keinginan bercerai dariku.

Hatiku didera kesedihan menyadari di hari tuanya ayah dan ibu masih memikirkan keadaan anaknya yang menyedihkan ini. Tiap kali kuseka air mataku tiap kali itu pula kembali bercucuran. Ku lihat dari sudut ruangan ibu bercakap-cakap dengan Syifa dan Nadia, aku tahu ibu mulai memberikan pengertian kepada dua gadis kecilku itu. Aku memang meminta ibu menceritakan hal yang aku alami sebelum aku sendiri yang akan menjelaskannya kemudian.


--------------

Kumantapkan langkahku menuju bangunan yang ber plat “Pengadilan Agama” aku tak akan mundur selangkah pun lagi. Hatiku telah terlanjur hampa dengan perlakuan Hadi. Ku bulatkan tekadku, jika Allah telah menentukan semua ini yang terbaik untuk kami, hatiku telah menerimanya dengan lapang dada.

“aku tak akan mengabulkan pengajuan perceraianmu di pengadilan” hadi berteriak-teriak di telpon sehingga membuat telingaku berdengung-dengung. Aku masih tetap bersikap tenang menghadapi sikap hadi yang meledak-ledak begitu mendengar bahwa aku telah mengajukan permohonan cerai atas dirinya.

Pengadilan memang telah memberikan surat panggilan kepada hadi untuk pertama kalinya. Hadi bertingkah dan berkelakuan aneh, dia mangkir untuk menghadiri sidang pertama perceraian kami, entah untuk alasan apa aku pun tidak mengerti. Bahkan beberapa kali mediasipun telah dilakukan pihak keluargaku, namun Hadi tetap tak bersedia memenuhi panggilan sidang.

Mungkin Hadi berfikir bahwa pengadilan tidak bisa menjatuhkan keputusan cerai jika tanpa persetujuannya. Padahal yang ku tahu, secara agama kami bisa dikatakan telah bercerai karena entah sudah beberapa kali Hadi mengancam akan menceraikanku secara siir ataupun terang-terangan di depan keluarga dan teman-temannya sebelum permohonan cerai ini kuajukan. Bukan hanya itu saja, aku pun telah cukup bukti untuk menggugat cerai atas perlakuan hadi yang menurut hukum agama dan Negara termasuk atas kekerasan dalam rumah tangga.

Namun kali ini karena merasa harga dirinya dipertaruhkan dia berusaha masih menyakitiku dengan menggantung permohonan ceraiku di pengadilan agama. Dia bukan hanya menyakitiku, tapi juga menyakiti anak-anaknya yang telah diabaikannya begitu saja.

Aku yakin Allah tidak tidur, Allah mendengar do’a-do’a orang-orang yang teraniaya. Pengadilan Agama akhirnya mengabulkan permohonan ceraiku dan hak asuh anak jatuh padaku. Palu di ketuk dan hasil sidang dikirimkan kepada Hadi. Sujud syukur aku di ruang sidang bersama linangan air mata kebahagiaan. Walaupun ku tahu Hadi akan murka dengan hal ini, bahkan mungkin dia akan mempermasalahkan harta gono gini selama pernikahan kami, terutama rumah yang kutinggalkan begitu saja. Tapi untuk saat ini aku tak ingin memikirkan apapun, aku hanya ingin menemani kedua putriku pasca perceraian yang banyak menguras energiku selama ini, mereka butuh perhatianku saat ini, mereka butuh penjelasan yang bisa menenangkan hati mereka. Terimakasih ya Allah,…

---------

Perceraian itu memang telah terjadi, bahkan aku membiarkan Hadi mengambil hak kepemilikan atas rumah yang telah kubangun dengan hasil keringatku sendiri karena rasa kepercayaanku dulu pada seorang suami, maka nama Hadilah yang tertera sebagai pemilik rumah beserta tanahnya. Paling-paling rumah itu tak akan bertahan lama di tangannya karena kemudian akan dipertaruhkannya lagi di meja judi.

Aku memang masih membencinya, membenci sikapnya pada anak-anak kami yang tak pernah dinafkahinya lagi. Seolah-seolah anakku lahir tanpa ayah. Jangankan mengharap kiriman uang sekolah untuk anak-anak, menanyakan kabar anak-anaknya saja tak pernah dia lakukan. Dia benar-benar menghilang dari kehidupan kami juga menghilang dari hati anak-anaknya.

Tapi aku tak pernah mengajarkan anak-anakku untuk membenci ayah mereka, seburuk apapun Hadi tetap ayah mereka tak akan pernah menjadi mantan ayah sebagaimana sekarang dia menjadi mantan suamiku. Aku bahkan mengajari anak-anak agar mendo’akan hadi berubah dan bertaubat.

“Mama,..sejujurnya kami ga mau mama menikah lagi, tapi jikapun mama menikah lagi tolong menikahlah dengan laki-laki yang tidak seperti ayah, aku dan Nadia tak ingin melihat mama menangis lagi, aku juga ga mau melihat wajah ayah yang marah-marah pada kami” Syifa mendadak berbicara tentang rencana pernikahanku setelah dua tahun aku memilih sendiri menjalani hidup. Syifaku yang berumur 10 tahun berbicara dengan sangat bijaksana. Sungguh, aku sangat terharu.

“aku ga mau mama nikah lagi” sergah Nadia.

“kenapa” balas Syifa

“aku ga mau mama ga perhatian lagi ke aku dan kak Syifa” suara Nadia tersendat-sendat karena menahan tangisannya.

Aku tahu, ini kondisi yang berat untuk anak-anakku. Menikah lagi untuk yang kedua kalinya pula tentu melibatkan banyak hati-hati yang telah ada. Hati keluargaku yang tak ingin melihat aku disakiti lagi, dan yang terpenting adalah hati Syifa dan Nadia yang masih merasakan trauma di masalalu ibunya. Semua memang butuh waktu. Begitu juga hatiku, hatiku juga butuh kesiapan untuk memulai hubungan yang baru lagi tanpa menyisakan masalalu.

“Ga akan sayang,..Mama ga akan menyia-nyiakan kalian berdua, karena kak Syifa dan Nadialah Mama berjuang selama ini, karena Mama cinta kalian” ku rengkuh mereka dalam pelukanku, telah kutambatkan lara itu di ujung jalan sana, tak akan kubiarkan sedikitpun merusak kebahagiaan kami saat ini.

“Syifa dan Nadia,..Insya Allah Mama telah memilih sayap yang lain, yang lebih kuat, yang lebih setia dan yang lebih menyayangi kita dari pada yang sebelumnya. Semoga Allah menjaganya untuk kita bersama karena kita juga berhak untuk bahagia.

Untuk seorang wanita yang ku kagumi
Allah selalu punya rencana lain, tanpa harus bertanya pada hambaNya,…
Jakarta, 6 Maret 2010
Aida Affandi