Laman

Kamis, 11 Maret 2010

Tentang pernikahanku


Tak akan kubenamkan asaku dalam sekulit duka di masalalu
Dalam keyakinanku, aku tak pernah sendiri
Selalu ada Tuhan yang mengiringi langkah kecilku,….


Ku tatap dua pasang mata indah di depanku, dua gadis kecilku yang beranjak remaja. Bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka bahwa aku ibunya akan menikah lagi. Setelah pernikahan pertamaku yang berakhir dengan perceraian, bukankah akan membuahkan kekhawatiran dalam diri gadis kecilku karena pengalaman buruk dulu. Aku tersudut dalam pikiranku sendiri, ku putar semua kata-kata yang telah ku susun sejak pagi tadi. Semuanya buyar ketika iris mata coklat itu tersenyum padaku.

Menikah lagi,..mungkin itu satu pertanyaan yang selama ini selalu ku hindari. Sulit kuyakinkan hati, bahwa ternyata Tuhan menggariskan dalam hidupku harus menikah dua kali. Apa aku harus bangga??, tidak,..sama sekali aku tidak bangga. Kalau bisa memilih tentu aku hanya ingin menikah sekali seumur hidupku. Perceraian yang pernah terjadi bukanlah sebuah prestasi dalam kehidupanku, meskipun halal tapi tetap saja suatu hal yang dibenci oleh Allah. Bagaimanapun hatiku sedih saat memisahkan anak-anakku dari ayah kandung mereka.

Tapi jika hanya dengan perceraian semuanya menjadi lebih bermakna, apakah aku harus mundur mengambil keputusan itu?? dan itu yang aku rasakan dan telah aku lakukan, bahwa aku harus bertahan untuk selalu berbahagia demi anak-anakku, mempertahankan bersama dalam satu rumah yang sudah seperti neraka juga bukan pilihan yang baik untuk anak-anakku. Dulu ku pikir ini suatu hal yang memalukan, mungkin juga karena stereotype kebanyakan orang yang membuat penilaian seperti itu. Namun akhirnya harus ku sadari aku tak perlu bertahan dan mengorbankan sebuah kebahagiaan hati yang juga layak kusematkan di dadaku.

------

Memang benar rasa cinta dan benci itu hanya memiliki batasan yang sangat tipis, seperti perasaan cinta rasa benci juga demikian selalu meledak-ledak dan berkobar-kobar dalam hal yang kecil sekalipun. Tak satupun yang ku mengerti ketika seorang lelaki yang sangat mencintaiku dulu berubah menjadi seseorang yang tak pernah menganggap aku seseorang yang penting lagi dalam hidupnya.

“Apa masalahmu mas??,..akhir-akhir ini aku merasa kau semakin uring-uringan tanpa sebab. Kalau aku punya salah tolong katakan, jangan mendiamkan aku berhari-hari seperti ini”. Akhirnya ku beranikan juga bertanya pada Hadi, sikapnya yang semakin tidak ku mengerti perlahan-lahan mulai mengganggu perkembangan nilai-nilai anak-anakku di sekolah dan pekerjaanku di kantor.

Terkadang ku dapati wajah Syifa dan Nadia yang tegang saat melihat aku beradu argumentasi dengan ayahnya. Terkadang mereka melihat aku menangis sesenggukan. Tapi mereka hanya diam tak berani bertanya banyak. Hanya pelukan yang mereka berikan saat ku merasa semua yang kulakukan selama ini tiada berharga di mata Hadi.

Pernikahanku yang pertama terjadi sepuluh tahun yang lalu. Sama halnya seperti pasangan yang lain, aku dan suamiku sempat merasakan indahnya percintaan itu. Kami berkenalan dan menjajaki pikiran masing-masing selama setahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah membangun kebahagiaan dalam kasih sayang Allah.

Di awal pernikahan aku bekerja sebagai staf keuangan di sebuah lembaga pendidikan, sementara Hadi suamiku bekerja sebagai honorer di kantor pemerintahan. Tak ada yang salah dalam pernikahan kami hingga di tahun kelima itu terlampaui. Aku pikir kisah pilu itu berawal dari sini, entah mengapa hal ini kemudian selalu menjadi sumber perselisihan antara kami. Ya,..masalah itu berjudul harga diri laki-laki.

Tanpa perlu melakukan pengamatan aku yakin seyakin-yakinnya dengan perubahan Hadi, seolah-olah aku tak pernah benar-benar mengenalinya dengan baik. Dia justru berubah di saat dua orang malaikat cantik kami butuh perhatian ekstra di usia sekolah. Entah mengapa semua menjadi buram di matanya saat promosi karierku menanjak pesat dengan penghasilanku tiga kali lipat lebih banyak dari penghasilannya. Semua semakin terlihat salah saat aku menjabat sebagai manager pendidikan di tempatku bekerja.

Benar, tak pernah cukup waktu untuk mengenali seseorang, bahkan setelah menikah sekalipun. Hadi yang dulu sangat manis berubah menjadi laki-laki dengan kepribadian yang sama sekali tidak kukenal lagi. Akhirnya aku menyadarinya bahwa jabatan baruku telah memancing ego kelaki-lakiannya. Dia cemburu, cemburu oleh persaingan yang dihadirkannya sendiri. Cemburu yang mampu menghilangkan rasa cintanya padaku, cemburu karena merasa tak sebanding denganku lagi, cemburu karena dia merasa aku berada jauh di atasnya. Mungkin begitulah dia melampiaskan perasaannya.

“Apakah karena jabatan baruku membuatmu seperti ini?? Entah untuk berapa kali sudah ku ulangi pertanyaan itu, namun dia tetap diam. Mendiamkan aku berminggu-minggu, melupakan anak-anak yang butuh kehadiran seorang ayah. Bahkan dia lebih memilih meletakkan kesetiaannya pada kartu-kartu remi kesayangannya semalaman bersama teman-temannya daripada pulang menemani aku dan anak-anak tidur.

Bagiku bekerja dan beraktivitas merupakan sebuah eksistensi diri selain karena kebutuhan hidup kami yang semakin besar dan rasa tanggung jawabku sebagai anak tertua yang sudah waktunya ikut membantu biaya kuliah adik-adikku, tapi bagaimana aku harus menjalani ini semua jika tanpa ada dukungan seseorang yang sangat kucintai. Apa aku telah menyalahi kodratku?? Tidak,..aku bukan pencinta emansipasi wanita yang melewati koridornya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Karenanya aku tak pernah lupa memasakkan sarapan sekeluarga di pagi hari, aku tak pernah lupa menyiapkan bekal untuk Syifa ke sekolah, bahkan malam sekalipun aku selalu sempatkan diri untuk menemani Nadia membaca buku sebelum tidur.
Lalu dimana letak kesalahanku?? Hadi tak pernah bicara, bahkan tak ingin membahas ini semua denganku tidak juga dengan yang lain kecuali dengan kartu-kartu reminya yang semakin hari semakin membuatnya senewen dan bertambah aneh.


---------

Berulang kali aku bertanya dalam hati, apakah Hadi membenciku?? Apakah Hadi tak mencintaiku lagi??,..tiap kali ku bertanya, tiap kali pula tak ku temukan jawabannya. Jika ia masih mencintaiku tetapi mengapa sikapnya demikian kasar padaku, mengapa seolah-olah semua yang kulakukan menjadi salah dimatanya??. Berulang kali kucoba memahami perasaannya, tapi Hadi tak pernah memberiku kesempatan untuk itu.

“Ada acara makan malam bersama dengan beberapa orang kolegaku, kamu mau kan ikut??” kata-kataku sedikit merayu hadi berharap dia mau membuka diri dan mengenali pekerjaanku. Hanya sekedar mengenali dan tahu apa yang istrinya lakukan selama ini sangat membutuhkan dukungan yang besar dari keluarga terutama dari suami.

“Tidak,..aku ga mau ikut” jawabnya ketus.

“Masalah mu apa mas?? Aku semakin tidak mengerti kondisi kita seperti ini. Seolah-olah aku telah melakukan kesalahan yang besar. Semakin ku coba untuk mengerti tentang keinginanmu, semakin aku tak menemukan apa sebenarnya yang kau inginkan” sifatku yang terkadang emosional menghadapi sesuatu semakin membuat Hadi tak bergeming.

Baiklah, katakanlah aku bukan ibu yang becus atau katakanlah aku bukan istri yang selalu bisa memperhatikannya. Tapi tolong katakan dimana letak kesalahannya atau caraku menyampaikannyakah yang salah??... Aku tak berubah samasekali padanya dan anak-anak. Aku masih menyiapkan sarapan mereka, aku masih menyiapkan baju dinasnya untuk ke kantor. Aku juga membayar kebiasaan waktu mengobrol kami dengan selalu menelpon di sela-sela kesibukanku. Lalu salahnya dimana?? Ah,..percuma aku bertanya dimana letak kesalahan itu, rasa-rasanya semua akan terlihat salah jika hati Hadi telah memvonisku salah. Bahkan segala sikapnya selama ini selalu menunjukkan permusuhan padaku. kembali hati kecilku berkata bahwa dia memang tidak mencintaiku lagi.

Terkadang cepat kutepis ketika perasaan itu hadir ketika melihat hadi bersikap manis padaku. Sebagai seorang istri tak ada hal yang lebih indah saat melihat suami berwajah manis di hadapan istrinya walau akhirnya kutahu semua sikap manisnya selalu berujung uang dan uang. Yah,..hadi selalu bersikap manis padaku saat ia membutuhkan uang dalam jumlah yang besar untuk beberapa kebutuhannya.

“Bicara apa kamu mas tentang keikhlasan?? Aku murka ketika Hadi menuduhku berkuasa atas rumah tangga kami, karena sebagian besar pengeluaran bahkan uang sekolah untuk adik-adiknya dibiayai olehku. Tubuhku bergetar menahan amarah yang teramat sangat. Darimana pikiran picik itu hadir, apakah dari ketakpercayaan diri Hadi yang sudah sangat terlalu??....

Ku usap dadaku, tak sanggup ku menahan sesak yang membuncah di hatiku. Beribu kali aku terpaku dalam keadaan yang semakin membuat hubungan kami terasa jauh. Oh Hadi, apakah dia tahu bagaimana hatiku dengan sangat bahagia membiayai kebutuhan ibu bapaknya dan biaya kuliah adiknya. Bahkan aku tak pernah mempermasalahkan ketika bertahun-tahun sudah dia tak memberiku nafkah. Apakah dia tahu bagaimana mirisnya hatiku telah dianggap tidak ikhlas dalam hal memberi??...Ah, Apa aku perlu bertanya lagi jika jawaban yang mengalir dari mulutnya hanya sebuah penghinaan dan hujatan. Kembali ku usap dadaku yang terasa perih, telah kucukupkan hari ini tak akan ku bertanya lagi.

-------------

Allah humma Arinal haqqa haqqan, Warzuknattiba’ah
Wa Arinal Bathila Bathilan Warzuknajtinabah
Ya Allah, tunjukkanlah yang Hak adalah Hak dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk mengikutinya
Dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berikanlah
Hamba kekuatan untuk menjauhinya
.


Tak cukup sampai di situ keanehan yang di alami Hadi, dia semakin uring-uringan saat aku semakin sering berurusan dengan pejabat-pejabat tinggi di kota kami. Rasa cemburunya semakin menjadi-jadi, bahkan membuat dia sama sekali tak percaya lagi padaku. Ku akui aku lelah dengan situasi ini namun tetap ku coba menetralkan suasana hatinya dengan mengajaknya bersama di beberapa acara kantorku, tapi kembali dia selalu merasa niat baikku adalah untuk menjatuhkan harga dirinya sebagai suami.

“Akui saja,..latihan tennis ataupun golf bersama pengusaha-pengusaha itu hanya sebuah alasan legalisasi perselingkuhanmu kan…” tiba-tiba Hadi menyalak di depanku, persis seperti seorang terdakwa aku dituduh tanpa bukti. Matanya merah menatapku, bau alkohol dari mulut Hadi menyelinap masuk ke rongga hidungku sampai membuatku ingin muntah.

“Seharusnya aku yang bertanya, kemana saja uang yang kau peroleh selama ini?? Untuk mabuk-mabukan seperti inikah?? Aku malu pada keluargaku atas sikapmu akhir-akhir ini. Apa kau fikir anak-anak tidak malu menemui ayahnya seperti seorang preman jalanan”…emosiku kian memuncak, kata-kata yang keluar dari bibirku sudah di luar kontrolku, aku marah dengan keadaan ini.

Tangan Hadi mengancang-ancang hendak menampar mukaku. Sekejap mataku ku tutup rapat, tak sanggup kurasakan sakitnya jika memang benar kepalan tangan Hadi akan mendarat di pipiku. Cucuran airmata di pipiku tak sanggup ku tahan lagi, badanku bergetar sesenggukan aku menahan sakit yang tak terperi di hatiku. Ini bukan Hadiku lagi, ini syaitan yang telah menjelma di hadapanku.

Ploooookkkkk,….sebuah pukulan tepat di wajahku. Terasa begitu panas dan menyakitkan, terhuyung-huyung aku merasakan pukulan yang hebat itu, hadi bukan hanya memukul fisikku tapi juga telah dengan keras memukul hatiku. Hadi berlalu meninggalkanku dalam keadaan terisak dan sujud di kakinya, selama ini dia tak pernah memukulku tak pernah sekalipun walaupun sering mengancam akan memukulku. Namun kali ini dia telah melakukannya, kurasakan beban hatiku semakin berat dengan perlakuannya saat ini. Menangis hanya itu yang sering aku lakukan. Bahkan aku tak pernah malu lagi ketika berulang kali menangis memohon pertolongan Allah dalam sajadah malamku.

Ya Allah,..tolong hamba jika Hadi memang jodoh yang Engkau pilihkan buat hamba hingga akhirat kelak, berilah kami tanda terang untuk memperbaiki ini semua. Jika tidak, hamba serahkan semuanya padaMu ya Allah, Engkau selalu tahu apa yang terbaik buat kami.

Perselisihan itu masih terus berlangsung hampir dua tahun, terkadang berat ku hadapi ini. Apalagi melihat Syifa dan Nadia yang lebih sensitive dari biasanya. Syifa yang dipaksa dewasa dari umurnya untuk faham tentang masalah yang dihadapi orangtuanya. Hingga suatu hari ketika semuanya menjadi terang untukku bersikap, setelah tak lelah menanti jawaban atas do’a-do’aku selama ini.

“Oh,..jadi ini yang selama ini yang kau lakukan, sekarang aku mengerti kemana semua uangmu kau larikan. Ternyata untuk taruhan atas kesetiaanmu pada kartu-kartu remimu ini” kali ini aku benar-benar murka. Ku dapati Hadi dengan bertelanjang dada dan wajah yang penuh ambisi menang bertaruh di meja judi. Aku meledak-ledak. Bagaimana tidak, aku sama sekali tak mendapati suamiku yang santun ketika menikahiku dulu, yang kutemukan kali ini adalah seorang laki-laki kasar dan pencandu judi. Entah berapa lama dia telah menyelingkuhi uang-uangnya itu di belakangku. Sejenak namun pasti, kurasakan semua perasaan cinta itu hilang dari hatiku bersama kekecewaan yang teramat dalam padanya.

“Perempuan jalang,..mau apa kau kemari?? Urus saja selingkuhan-selingkuhanmu yang kaya raya itu”. Hadi spontan menjawab pertanyaanku, bahkan dia tak menyadari bahwa aku sangat hancur dengan semua kebohongan dan kata-katanya yang menghantam keras tepat di hatiku.

Tak sebaris katanyapun kujawab lagi, aku berlari membawa hatiku yang remuk dan semakin jauh dari ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang telah kalah oleh kemenangan nafsu dan syaitan. Ku tenangkan diriku sejenak di dalam mobil. Kutarik nafasku perlahan-lahan mengurangi energy negative yang memenuhi pikiranku sebelum menjemput Syifa dan Nadia.

“Kita pulang ke rumah nenek nak”,..aku duduk di depan dua gadis kecilku yang sedari tadi menatap mataku yang bengkak karena kenyang menangis.

“Nanti begitu sampai di rumah nenek, mama akan jelaskan semuanya pada kalian. Sekarang bantu mama persiapkan semua baju-baju kalian masing-masing selama kita tinggal di rumah nenek nanti. Kulihat Syifa lebih dewasa menanggapi ini ketika Nadia mencoba bertanya mengapa ayahnya tidak ikut bersama kami.

“Hushh,..jangan banyak nanya Nad,..kan kata mama, begitu kita sampai di rumah nenek akan dijelaskan semuanya kan” Syifa melirik ke arahku, aku tahu dia semakin dewasa atau memang terpaksa menjadi dewasa karena kondisi yang kami alami.

Aku tak tahu apa aku telah berdosa meninggalkan rumah tanpa minta izin pada suami yang tak bertanggung jawab itu. Yang ku tahu seorang istri harus mendapat izin dari suami sebelum meninggalkan rumah, tapi apakah hal ini juga berlaku pada laki-laki yang tak pernah berniat untuk mempertahankan pernikahan kami. Jika iya, aku mohon ampunan Allah, aku hanya ingin menjaga perasaan anak-anakku yang belum mengerti permasalahan yang dihadapi kedua orangtuanya.

Rasanya perjalanan ini begitu lama ku rasakan, aku ingin memeluk ibuku, aku ingin bersujud di kedua kaki ayahku memohon diberikan doa untuk anaknya yang telah dihancurkan oleh suaminya sendiri. Betapa hatiku sangat membutuhkan sandaran saat ini. Satu-satunya yang membuatku kuat adalah kedua putriku yang sedang tertidur pulas dalam pelukanku.

--------------

Ibu dengan mata yang penuh berkabut memelukku yang menangis tiada henti. Ibu membelai lembut rambutku, sama kurasakan lembutnya belaian ini saat ibu melepaskanku untuk menjadi istri Hadi delapan tahun yang lalu. Jika dulu ibu membelaiku menangis melepaskan anaknya saat dipersunting oleh seorang Hadi, namun kali ini ibu membelaiku menangis untuk memberikan kekuatan dan ketenangan atas perlakuan Hadi. Oh, itu sungguh dua hal yang sangat berbeda kurasakan.

“Aku sudah mencoba bertahan bu,.. tapi mungkin harus begini akhirnya. Sungguh bukan perceraian yang kuharapkan dalam sebuah pernikahan. Namun selama dua tahun konflik antara kami terjadi, semakin membuat suasana yang tidak sehat untuk kedua anakku. Aku tahu, bagaimanapun perceraian selalu berdampak negative bagi anak. Tapi mempertahankan pernikahan yang telah tanpa cinta juga memberi pengaruh yang tak jauh berbeda dengan perceraian.

Ibu mengusap dadanya saaat ku ceritakan perlakuan Hadi selama ini padaku. Ayah yang biasanya tenang kali ini terlihat lebih gusar. Sesekali kupandangi mata coklatnya menunjukkan kecemasan yang tiada tara. Bagaimanapun aku tetap anaknya, mereka tak akan rela anaknya diperlakukan demikian menyedihkan.

“Sudahlah nak,..kalau memang kondisinya tak mungkin dipertahankan lagi, urus saja keperluan-keperluan untuk bercerai. kami juga tak ingin anak perempuan kami diperlakukan seperti itu”. Ayah kemudian diam setelah memberikan persetujuan atas keinginan bercerai dariku.

Hatiku didera kesedihan menyadari di hari tuanya ayah dan ibu masih memikirkan keadaan anaknya yang menyedihkan ini. Tiap kali kuseka air mataku tiap kali itu pula kembali bercucuran. Ku lihat dari sudut ruangan ibu bercakap-cakap dengan Syifa dan Nadia, aku tahu ibu mulai memberikan pengertian kepada dua gadis kecilku itu. Aku memang meminta ibu menceritakan hal yang aku alami sebelum aku sendiri yang akan menjelaskannya kemudian.


--------------

Kumantapkan langkahku menuju bangunan yang ber plat “Pengadilan Agama” aku tak akan mundur selangkah pun lagi. Hatiku telah terlanjur hampa dengan perlakuan Hadi. Ku bulatkan tekadku, jika Allah telah menentukan semua ini yang terbaik untuk kami, hatiku telah menerimanya dengan lapang dada.

“aku tak akan mengabulkan pengajuan perceraianmu di pengadilan” hadi berteriak-teriak di telpon sehingga membuat telingaku berdengung-dengung. Aku masih tetap bersikap tenang menghadapi sikap hadi yang meledak-ledak begitu mendengar bahwa aku telah mengajukan permohonan cerai atas dirinya.

Pengadilan memang telah memberikan surat panggilan kepada hadi untuk pertama kalinya. Hadi bertingkah dan berkelakuan aneh, dia mangkir untuk menghadiri sidang pertama perceraian kami, entah untuk alasan apa aku pun tidak mengerti. Bahkan beberapa kali mediasipun telah dilakukan pihak keluargaku, namun Hadi tetap tak bersedia memenuhi panggilan sidang.

Mungkin Hadi berfikir bahwa pengadilan tidak bisa menjatuhkan keputusan cerai jika tanpa persetujuannya. Padahal yang ku tahu, secara agama kami bisa dikatakan telah bercerai karena entah sudah beberapa kali Hadi mengancam akan menceraikanku secara siir ataupun terang-terangan di depan keluarga dan teman-temannya sebelum permohonan cerai ini kuajukan. Bukan hanya itu saja, aku pun telah cukup bukti untuk menggugat cerai atas perlakuan hadi yang menurut hukum agama dan Negara termasuk atas kekerasan dalam rumah tangga.

Namun kali ini karena merasa harga dirinya dipertaruhkan dia berusaha masih menyakitiku dengan menggantung permohonan ceraiku di pengadilan agama. Dia bukan hanya menyakitiku, tapi juga menyakiti anak-anaknya yang telah diabaikannya begitu saja.

Aku yakin Allah tidak tidur, Allah mendengar do’a-do’a orang-orang yang teraniaya. Pengadilan Agama akhirnya mengabulkan permohonan ceraiku dan hak asuh anak jatuh padaku. Palu di ketuk dan hasil sidang dikirimkan kepada Hadi. Sujud syukur aku di ruang sidang bersama linangan air mata kebahagiaan. Walaupun ku tahu Hadi akan murka dengan hal ini, bahkan mungkin dia akan mempermasalahkan harta gono gini selama pernikahan kami, terutama rumah yang kutinggalkan begitu saja. Tapi untuk saat ini aku tak ingin memikirkan apapun, aku hanya ingin menemani kedua putriku pasca perceraian yang banyak menguras energiku selama ini, mereka butuh perhatianku saat ini, mereka butuh penjelasan yang bisa menenangkan hati mereka. Terimakasih ya Allah,…

---------

Perceraian itu memang telah terjadi, bahkan aku membiarkan Hadi mengambil hak kepemilikan atas rumah yang telah kubangun dengan hasil keringatku sendiri karena rasa kepercayaanku dulu pada seorang suami, maka nama Hadilah yang tertera sebagai pemilik rumah beserta tanahnya. Paling-paling rumah itu tak akan bertahan lama di tangannya karena kemudian akan dipertaruhkannya lagi di meja judi.

Aku memang masih membencinya, membenci sikapnya pada anak-anak kami yang tak pernah dinafkahinya lagi. Seolah-seolah anakku lahir tanpa ayah. Jangankan mengharap kiriman uang sekolah untuk anak-anak, menanyakan kabar anak-anaknya saja tak pernah dia lakukan. Dia benar-benar menghilang dari kehidupan kami juga menghilang dari hati anak-anaknya.

Tapi aku tak pernah mengajarkan anak-anakku untuk membenci ayah mereka, seburuk apapun Hadi tetap ayah mereka tak akan pernah menjadi mantan ayah sebagaimana sekarang dia menjadi mantan suamiku. Aku bahkan mengajari anak-anak agar mendo’akan hadi berubah dan bertaubat.

“Mama,..sejujurnya kami ga mau mama menikah lagi, tapi jikapun mama menikah lagi tolong menikahlah dengan laki-laki yang tidak seperti ayah, aku dan Nadia tak ingin melihat mama menangis lagi, aku juga ga mau melihat wajah ayah yang marah-marah pada kami” Syifa mendadak berbicara tentang rencana pernikahanku setelah dua tahun aku memilih sendiri menjalani hidup. Syifaku yang berumur 10 tahun berbicara dengan sangat bijaksana. Sungguh, aku sangat terharu.

“aku ga mau mama nikah lagi” sergah Nadia.

“kenapa” balas Syifa

“aku ga mau mama ga perhatian lagi ke aku dan kak Syifa” suara Nadia tersendat-sendat karena menahan tangisannya.

Aku tahu, ini kondisi yang berat untuk anak-anakku. Menikah lagi untuk yang kedua kalinya pula tentu melibatkan banyak hati-hati yang telah ada. Hati keluargaku yang tak ingin melihat aku disakiti lagi, dan yang terpenting adalah hati Syifa dan Nadia yang masih merasakan trauma di masalalu ibunya. Semua memang butuh waktu. Begitu juga hatiku, hatiku juga butuh kesiapan untuk memulai hubungan yang baru lagi tanpa menyisakan masalalu.

“Ga akan sayang,..Mama ga akan menyia-nyiakan kalian berdua, karena kak Syifa dan Nadialah Mama berjuang selama ini, karena Mama cinta kalian” ku rengkuh mereka dalam pelukanku, telah kutambatkan lara itu di ujung jalan sana, tak akan kubiarkan sedikitpun merusak kebahagiaan kami saat ini.

“Syifa dan Nadia,..Insya Allah Mama telah memilih sayap yang lain, yang lebih kuat, yang lebih setia dan yang lebih menyayangi kita dari pada yang sebelumnya. Semoga Allah menjaganya untuk kita bersama karena kita juga berhak untuk bahagia.

Untuk seorang wanita yang ku kagumi
Allah selalu punya rencana lain, tanpa harus bertanya pada hambaNya,…
Jakarta, 6 Maret 2010
Aida Affandi

1 komentar:

  1. bagus bgt tulisannya bikin baper,,, walaupun kisahnya sgt sedih dan membuat pembaca terharu

    BalasHapus