Laman

Minggu, 28 Maret 2010

Kisah Cinta Wanita Rupawan


Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat –Hamka

Wanita itu duduk tepat di sampingku, perutnya yang kelihatan membuncit dapat dipastikan wanita itu sedang hamil. Wajahnya manis, matanya indah aku mengagumi kecantikannya perpaduan wajah melayu oriental dan arab. Tak jarang aku mencoba sesekali mencuri-curi pandang ke arahnya setiap kali kami bertemu di ruang tunggu pemeriksaan kandungan.

Beberapa kali jadwal pemeriksaan kandungan kami selalu bersamaan. Wanita itu selalu datang sendiri, lalu duduk di sudut ruangan sambil membaca sebuah buku atau Qur’an. Sesekali aku melirik apa judul setiap buku yang dibacanya. Selalu berubah, ternyata wanita itu melumat semua jenis buku tidak terpaku pada sastra saja atau politik saja misalnya. Beberapa kali dia tersenyum padaku, ketika mengucapkan permisi duduk di bangku kosong di sebelahku. Semenjak itu pula aku selalu berusaha memulai sebuah percakapan antara kami.

“Udah trimester berapa mba??” tanyaku membuka percakapan.

“Trimester kedua mba, masuk bulan keenam” jawab wanita itu dengan senyuman.

“Oh,..sama dunk dengan saya timpalku kemudian.

“Hamil anak pertama juga mba??” tanyaku lagi

“Kedua,..jawabnya lagi masih mengembangkan senyumnya.

“Ohya,..saya pikir anak pertama juga...

“Hasil USGnya laki-laki atau perempuan mba” aku kembali bertanya, masih ku tatap mata indahnya. Aku belum menemukan sebuah tanda kurang berkenan dari sorot matanya yang bening. Jadi tetap saja ku lanjutkan bertanya. Entah mengapa aku semakin ingin tahu tentang wanita ini, senyumnya sering menimbulkan tanya. Kembali ennegramku yang dominan pengamat beraksi lagi.

“Anak pertama saya perempuan, kalau yang ini kata obgynnya seh laki-laki. Kalau mba hasil USG nya apa?” sekarang wanita itu mulai membuka pembicaraan dua arah denganku.

“Dokter bilang laki-laki juga mba, tapi saya pengalaman hamil yang pertama ne” aku melirik ke arahnya mencoba mencari kesamaan dari pernyataanku dengannya.

“Hamil yang pertama saya terpaksa melahirkan dengan tindakan cesar, karena sudah tidak ada pembukaan dan bayi saya terlalu besar, tapi alhamdulillah semua sehat-sehat saja, sekarang umurnya sudah 3 tahun cantik dan cerdas lagi” aku menangkap ada nada bangga di balik ucapan wanita itu.

“Ohya, pasti seneng banget ya mba”

“Ya, ucap wanita itu datar lalu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kata-katanya.

”Tapi saya hanya bisa melihatnya 3 bulan sekali itupun kalo ada kesempatan, karena dia ikut papanya di jakarta” sambung wanita itu kemudian. Sorot matanya yang tajam menunjukkan sesuatu yang bermakna hilang.

“Ehhhmmm,..konsekuensi dari pekerjaan ya mba” ujarku dengan percaya diri.

“Bukan karena pekerjaan, tapi akibat perceraian, pengadilan memutuskan anak saya diasuh oleh bapaknya” aku terdiam mendengar pengakuan wanita yang rupawan ini. Wanita secantik ini bisa diceraikan juga pikirku.

“Oh, maaf mba…saya ga bermaksud mengingatkan mba kepada kisah itu” aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami dengan menyodorkan minuman dingin padanya.

“Tidak apa-apa, sudah berlalu kok setengah tahun yang lalu” ucap wanita itu sambil mengambil botol minuman yang kusodorkan padanya.

Setengah tahun yang lalu?? Baru enam bulan yang lalu berarti massa iddahnya baru berlalu kurang dari dua bulan yang lalu karena massa iddah seorang wanita adalah empat bulan. Ingin sekali aku bertanya jika perceraian itu sudah enam bulan yang lalu. Lalu apakah sekarang wanita ini sudah menikah lagi?? Atau mungkin kehamilan ini hasil dari pernikahannya terdahulu?? Tapi kuurungkan niatku bertanya, aku tak ingin terlalu dalam ingin mengetahui kehidupannya, kecuali jika dia berinisiatif untuk menceritakannya padaku kemudian.

“Eh, sampai lupa kenalkan nama saya Almira” ku sodorkan tanganku ke arah wanita itu, yang langsung disambut hangat olehnya.

“Aurora, panggil saja Rora ucapnya lembut.

Demikian perkenalanku dengan wanita yang menarik perhatianku itu. Wajahnya yang cantik, senyuman yang menghiasi bibirnya yang selalu membuatku ingin mengetahui siapa dia. Entah mengapa ketika berawal dari proses mengamati segala hal, terutama tentang kehidupan wanita lain di luar hidupku. Banyak hikmah di balik kisah hidup setiap orang, mendengar banyak kisah selalu membuatku tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang Allah berikan padaku sampai dengan hari ini.

--------

Hampir dua bulan aku menjadi sahabat baru Rora, komunikasi antara kami tidak hanya di ruang tunggu pemeriksaan kandungan, tapi juga berlanjut di telpon selular dan email. Kedekatan itu terjadi begitu saja, mungkin karena kami berdua sama-sama datang sendiri tanpa suami, Rora memang hanya datang seorang diri, sementara aku terpaksa datang sendiri memeriksakan kandunganku karena suamiku bekerja di luar kota.

“Aku yang salah Mir,..” Rora sesenggukan menahan air matanya yang jatuh berlinang tak tertahankan lagi. Matanya yang bening berubah keruh dan memerah. Aku menatapnya dengan sendu dan haru.

“Aku yang sudah membuat perceraian itu terjadi, aku telah menduakannya, aku menyelingkuhinya dalam hatiku,…” Rora semakin tak sanggup menahan lara yang menyesakkan dadanya saat menceritakan kembali kisah cintanya dulu pada pernikahannya yang pertama.

“Aku merasa belum cukup dewasa dalam bersikap, aku hanya memikirkan apa yang ada di depanku saja, apa yang ada di fikiranku saat itu. Bahkan aku berani menduakan cinta suami yang sangat kucintai”

“Mengapa bisa begitu mba” tanyaku penasaran.

Rora menarik nafas dalam, menatapku lekat masih dengan buraian air mata. Dadanya bergerak naik turun menahan emosi yang berlebihan. Seperti mengumpulkan seluruh kekuatan dalam sebuah start pertandingan sprint atau lari jarak pendek saat dia mulai berbagi kisahnya itu denganku.

----------

Kilas Balik

Aku pikir pernikahanku sangat indah. Setiap hari yang aku lalui penuh dengan kata cinta.
Namun ternyata tembang cinta dalam kehidupan berumah tangga itu tak selamanya indah sesuai irama, terkadang terdengar sumbang, terkadang sering terdengar keluar jalur tangga nada. Tapi begitulah hidup berumah tangga, ada dua kepala yang berbeda latar belakang sifat, didikan dan sebagainya dipertemukan menjadi satu. Tentu terkadang benturan itu hadir tanpa diminta sekalipun. Ibarat sendok dan garpu yang bertemu dalam sebuah piring makan, sesekali akan berbenturan nyaring satu sama lainnya, begitulah juga sebuah pernikahan.

Semenjak menikah aku diboyong ke kota dimana tempat suamiku bekerja dan dilahirkan. Aku pun berhenti bekerja demi bisa hidup bersama-sama di satu kota agar lebih mendapat ketenangan. Awalnya aku ngotot untuk tetap bekerja di kota asalku, tapi mengingat pesan seorang sahabat yang mengatakan bahwa salah satu ciri keluarga sakinah itu adalah selalu bersama, tidak berbeda tempat dalam waktu yang lama. Akhirnya aku mengalah untuk ikut saja, lagi pula aku dan suami ingin segera punya momongan, bagaimana mau cepat dapat momongan jika kami berpisah terus pikirku.

Ternyata tak semuanya indah seperti yang kita harapkan. Aku ikut suami dan tinggal di rumah mertuaku. Berawal dari rasa khawatir jika ibu mertuaku yang sudah melewati usia 60 tahun harus tinggal sendirian di rumah, akhirnya tinggallah kami serumah dengan ibu mertuaku. Dengan adanya aku di rumah, diharapkan bisa menemani beliau ya paling tidak untuk ke pengajian dan teman ngobrol di saat senggang.

Aku sangat hafal ketika pak ustadz berbicara berulang kali di pengajian. Bahwa manusia itu ibarat lingkaran, kondisinya akan terus berputar seperti sedia kala. Saat bayi di lahirkan tanpa kemampuan untuk duduk, berjalan dan sebagainya. Kemudian kondisi itu juga akan hadir kembali ketika usia telah lanjut. Barang siapa yang dipanjangkan umurnya maka akan dikurangi nikmat fisiknya.

Mungkin karena seiring pertambahan umur tadi maka semakin berkurang nikmat fisik dan kemampuannya pula, maka tak jarang orang yang sudah tua akan cenderung lebih cerewet daripada saat dia masih muda. Awal-awalnya aku mencoba memahami itu, bersikap sabar dengan kondisi ini. Tapi lama kelamaan aku pikir kondisi ini semakin tidak sehat terutama untuk rumah tangga kami.

Memang tak bisa dipungkiri perasaan seorang ibu yang selalu berupaya melindungi anaknya.
Tak jarang yang merasa bahwa anaknya tetaplah seperti anak kecil di mata seorang ibu, padahal si anak sudah beranjak dewasa, sudah memiliki tanggung jawab atas anak dan istrinya pula. Namun tetap saja pikiran seorang ibu ingin mengayomi anaknya, takut kehilangan anaknya. Sehingga segala sesuatu seorang ibu cendrung ingin diikut sertakan dalam kehidupan anaknya bahkan terkadang keinginan itu melebar ke segala hal yang semestinya tidak perlu dijangkau oleh seorang orangtua.

Ingin sekali aku melepaskan beban bathinku yang terus saja kupendam. Hidup dengan segala kecukupan di rumah mertua tak serta merta membuat hatiku tenang. Jika boleh memilih tinggal di rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar sajapun bukan masalah buatku, apalagi aku bukan berasal dari keluarga yang kaya raya. Jadi bersusah-susah bukanlah hal yang aku hindari dalam hidup ini. Hal ini sangat kontras dengan suamiku yang sudah terbiasa dimanjakan oleh kedua orangtuanya. Bagaimanapun aku pun tak bisa menyalahkannya, aku hanya bisa berulang kali meyakinkannya bahwa suatu saat kami mampu mandiri.

Setahun, dua tahun, tiga tahun telah berlalu namun tak ada yang berubah. Aku kembali menahan perasaanku hampir tanpa keluhan, ibu mertuaku tetap ikut campur dari hal-hal yang kecil tentang rumah tangga kami bahkan hingga ke urusan pengaturan keuangan. Aku semakin tertekan dengan sikap suami ku yang sangat sensitif setiap kali mengajaknya membicarakan tentang rencana mengontrak rumah.

Situasi seperti ini terus saja berjalan tanpa penyelesaian. Aku sadar kondisi seperti ini semakin memperparah hubungan kami. Kondisi seperti ini jika semakin dipupuk tentu semakin menimbulkan penyakit, laksana bisul yang semakin lama semakin membesar dan siap meledak.

“Bersabarlah,..sebagai anak tentu harus lebih sabar dari orangtuanya” hanya itu yang dikatakan suamiku tiap kali aku merasa kurang nyaman dengan sikap mertuaku, ya bersabar hanya itu yang aku lakukan. Berulang kali aku membaca surah Al-Hasyr ayat 10 dan surah Ali Imran ayat 159 ketika rasa kesal itu semakin hadir di hatiku. Berulang kali aku membacanya sehingga aku sudah hafal dengan artinya bahkan. Namun bagaimanapun penyakit tetap harus dicari obatnya, tidak mendiamkannya tanpa ada penanganan, seperti sel kanker yang tak terdeteksi perlahan-lahan namun pasti membayangi nyawa manusia.
Apakah hanya itu masalah dalam rumah tanggaku?? Tidak,..bukan hanya itu. Aku menyadari ada yang salah dalam komunikasi kami yang hampir hanya berlangsung lewat telpon saja.

Kebiasaan suamiku yang menjadi sosok pendiam ketika sudah tiba di rumah sehingga membuat hubungan kami hanya sebatas mengucapkan hai dan hello. Suamiku sering pulang di atas jam 9 malam bahkan lebih, dia lebih senang menghabiskan waktunya dengan makan dan menonton telivisi berjam-jam. Aku merasa ketika di rumah dia enggan bercerita banyak, lalu membiarkan aku dan anaknya tidur. Keesokan harinya dia kembali bekerja dan begitu lagi dan begitu lagi.

Aku tak ingin membenarkan apa yang aku lakukan. Karena bagaimanapun perselingkuhan tetap haram dalam sebuah pernikahan. aku membagi resahku dengan laki-laki lain bukan suamiku setelah mencoba membicarakan segala hal dengannya tanpa mendapatkan solusi yang tepat dan baik untuk kami semua. Seharusnya aku tidak lelah untuk membina komunikasi tapi aku terlanjur lelah sehingga perselingkuhan itu terjadi.

Belum selesai masalah komunikasi antara kami, lagi-lagi kesedihan hatiku ditambah dengan perlakuan suamiku yang sama sekali berubah. Suamiku tak pernah memberikan nafkah batin untukku lagi semenjak kehamilan anak pertamaku. Aku tak pernah menyadari ketika tanpa kebutuhan biologis antara kami benar-benar memberikan perubahan dan akibat yang sangat hebat dalam rumah tangga kami. Aku yakin semua telinga yang mendengar hal ini akan menyatakan hal yang sama, ada apakah gerangan di balik semua ini???

Dalam Fiqh Islam hal ini bisa dikategorikan dengan ILA’ atau sengketa batin adalah ketika seorang suami yang bersumpah tak akan menggauli istrinya dalam waktu yang tidak ditentukan. Sumpah ini bisa diucapkan di depan banyak orang ataupun tidak diucapkan tapi dilakukan secara diam-diam kepada istrinya. Ya, suamiku tak pernah memberikanku nafkah batin selama setahun semenjak aku hamil anak pertama kami, kemudian setelah anak kami lahir kondisi itu juga tidak berubah. Dia menggauliku hanya di saat dia ingin menggauliku saja, terkadang 5 bulan sekali, terkadang 3 bulan sekali.
Kondisi ini semakin memperparah kejiwaanku. Aku berubah menjadi pendiam dan tegang.

Rasanya hilang sudah rasa maluku untuk meminta digauli selayaknya seorang istri. Tak jarang aku menutup wajahku dengan bantal menahan tangisku saat dia berkali-kali menolak mencumbuiku. Ku lebur hasratku dengan berpuasa sunnah untuk menahan hal-hal yang tak diinginkan karena kebutuhan biologisku yang tak kunjung dipenuhi. Sungguh tersiksa rasanya ketika intuisiku sebagai istri mengatakan suamiku tak pernah menginginkanku lagi. Seperti boneka usang yang tak terlalu menarik lagi untuk diajak bermain, akhirnya aku hanya dipajang, jika suatu kali bosan dengan boneka yang lain maka dia akan mengajakku kembali untuk bersenda gurau.

Tidak,..aku tidak tahu apakah suamiku mendua hati di luar sana. Aku juga tak pernah mencari tahu walaupun terkadang terbaca olehku kata-kata cinta dari seorang wanita. Tapi lagi-lagi aku tak ingin memikirkannya, walaupun aku sempat merasakan cemburu dan rasa sakit yang menjalar sejenak di hatiku. Kembali aku ingat kata-kata suamiku seperti sebuah sugesti tertanam tepat dalam memory ingatanku “aku mencintai anakku, berarti aku juga mencintai ibunya, apapun yang terjadi aku tak akan menyakiti istri dan anakku”.

Ku akui kata-kata itu seperti sebuah hipnotis untukku agar selalu percaya padanya. Aku tak pernah berfikir bahwa dia berlaku aneh di belakangku, atau dia menyelingkuhiku atau bahkan telah menikah di belakangku dengan cara nikah sirri. Sama sekali aku tak ingin memikirkannya walaupun dia tak kunjung memberikanku nafkah batin. Aku masih berusaha untuk sabar.

Suatu hari aku bertanya pada seorang ustadz. Apa sebenarnya hukum jika suami tak pernah menggauli istrinya lagi?? Dengan panjang lebar pak ustadz menjelaskannya padaku. ILA’ hanya boleh dilakukan oleh suami apabila istri melakukan kesalahan, tapi dalam waktu 4 bulan harus kembali berbaikan jika si istri sudah berubah menjadi baik atau jika tidak bisa dilanjutkan dengan perceraian. Yang kedua jika ILA’ terjadi karena suami tidak mau menggauli istri atau dalam kondisi tidak mampu menggauli maka boleh diajukan permohonan cerai atau si istri bisa bersabar dengan sebenar-benarnya.

Terdiam aku mendengar penjelasan pak ustadz. Bercerai?? Ah, tidak boleh sejauh itu. Mungkin saja suamiku kelelahan jawab hatiku karena begitulah selalu jawaban yang ku peroleh tiap kali aku bertanya mengapa dia tak menggauliku lagi, tapi mengapa kelelahan terus saja berbulan-bulan??timpal hatiku yang lain pula. Bukankah aku juga lelah mengurusi rumah dan anak seorang diri tanpa pembantu pula?? Tapi aku tetap ingin melaksanakan tugasku sebagai istri yang melayaninya dengan baik.

Pernah kutemukan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dikatakan bahwa jika seorang istri menolak digauli oleh suaminya maka wanita itu akan dilaknat Allah. Ingin sekali aku memperoleh keterangan jika kondisinya dibalikkan. Bagaimana jika suami yang menolak ajakan istrinya, apakah si suami juga akan dilaknat Allah??...namun aku tak pernah menemukan satupun hadist yang menggambarkan kondisi sebaliknya. Akhirnya aku hanya menenangkan hatiku dengan mengatakan bahwa suami yang terbaik adalah yang memperlakukan istrinya dengan sebaik-baiknya.

Ku buang jauh-jauh setiap tanya dan kemungkinan dalam hatiku. Walaupun akhirnya aku merasa bahwa suamiku seperti tak tertarik lagi padaku atau bahkan tak menginginkanku lagi. Hanya lelahkah?? Dulu bagiku jawaban itu sudah cukup, suamiku lelah maka aku harus mengerti. Aku terlalu malu meminta lagi ketika setiap kali ditolaknya, akhirnya aku hanya diam dan pasrah menunggu kapan dia akan mendekatiku lagi.

Seiring waktu tahun keempat sudah pernikahan kami, aku mulai merasakan kejenuhan itu.
Tanpa ada kemesraan, tanpa komunikasi dua arah. Tak ada kondisi saling berbagi cerita lagi, semua itu hilang entah kemana seperti asap yang mengepul ke atas hilang bersama partikel-partikel udara. Tapi aku tak mau kalah dengan keadaan ini, aku tetap ingin mempertahankan pernikahanku sampai seseorang yang berada di masalaluku kembali hadir lagi menghiasi hari-hariku.

---------

Laki-laki itu mantan pacarku, dulu kami pernah hampir menikah. Aku memperoleh nomer telponnya lewat jejaring pertemanan di internet dari seorang sahabat lama kami. Semua berawal dari sebuah pesan singkat lalu berlanjut di telpon. Akhirnya komunikasi itu semakin lancar ketika kami berdua sama-sama mencurahkan isi hati dari masalah-masalah dalam rumah tangga kami.

Lagi-lagi aku tak ingin menyatakan ini benar. Bagaimanapun masalah rumahtangga cukuplah hanya diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Aku sadar aku salah, tapi nafsu terlalu memasung hasratku untuk melangkah dalam jalur yang tidak benar. Kehadiran laki-laki itu seperti menutupi kesedihan yang kurasakan selama menjadi istri yang tersia-siakan.

Hubungan kami hanya berlangsung lewat telpon. Tak pernah sekalipun aku bertemu dengannya, semua pembicaraan kami selalu disampaikan via telpon atau email. Ketika masalah hadir aku cepat-cepat mencarinya untuk berbagi. Awal-awalnya semua biasa saja, tapi lama kelamaan sisa-sisa cinta di masalalu antara kami akhirnya berkuncup juga bahkan mulai mekar seolah-olah tak perduli di antara kami ada terlalu banyak alasan untuk mengakhiri semua kisah lalu itu.

Perselingkuhan via telpon itu berlangsung enam bulan sudah. Perasaanku padanya semakin menggebu-gebu di tengah hubunganku dengan suami yang semakin rumit. Aku tahu, ini bukan alasan atas legalisasi perselingkuhan. Bagaimanapun semua ini harus diakhiri ucapku dalam hati. Kupaksakan hatiku untuk mengakhiri semuanya, kembali ku ingat romantisme saat pertama kali menjadi pengantin baru. Kembali ku buka foto-foto ku dan suami saat masih pacaran dulu, ku coba mengingat kembali bahwa kami juga pernah merasakan bahagia itu dulu.

“aku tak ingin hubungan ini terlalu jauh, aku harap kau mengerti. Walaupun ada yang salah dengan pernikahan kita masing-masing, tapi aku sangat sadar hubungan lain yang terajut di tengah badai rumah tangga juga merupakan kesalahan terbesar” ku akhiri emailku buat sang mantan kekasihku dulu. Semua harus berakhir, sekarang juga tekadku di hati. Memang sejak saat itu tak ada komunikasi apapun antara kami.

Dulu bagiku setiap permasalahan apapun itu pasti ada jalan keluarnya. Tapi perselingkuhan memiliki tingkat penanganan yang lebih serius, ketika berselingkuh akan ada perbandingan antara pria idaman lain dengan suami sendiri. Terkadang nafsu dan syaitan terlalu pandai memainkan perasaan manusia, padahal belum tentu apa yang kita inginkan akan indah seperti yang kita bayangkan.

“Apa ini….” Suamiku melemparkan handphoneku di atas kasur sebelum aku beranjak tidur.
Aku hanya diam saat matanya melotot menahan marah yang menyelubungi setiap sendi tubuhnya.

“Sekarang juga,…bereskan pakaianmu, keluar dari rumahku” aku menatap tak percaya atas apa yang dia lakukan, ini sudah jam 11 malam, aku harus kemana dengan tanpa uang dan tanpa saudara seorangpun di kota ini. Bukankah dalam kelam malam selalu ada kejahatan yang tersembunyi, lalu bagaimana dia tega mengusirku di tengah malam seperti ini.

Aku sujud tersungkur di kaki laki-laki yang dulu pernah membahagiakanku. Sekarang tanpa bertanya banyak, tanpa meminta penjelasan dariku dia mengusirku dengan cara yang sangat hina. Mungkin benar aku tak pernah pantas mendapatkan kata maaf, tapi seburuk apapun yang telah aku lakukan, bukan berarti dia boleh bentindak semena-mena padaku. Bukankah dulu dia mengambilku dari kedua tangan orangtuaku dengan cara yang baik, lalu mengapa dia ingin mengembalikanku tanpa mengantarkannya kembali dengan cara yang baik pula??

Apakah dengungan cinta yang membahana ruang hati kami dahulu telah sirna atau mungkin suamiku merasa terhina atas perselingkuhanku. Entahlah apapun alasannya, aku merasa perlakuannya kali ini lebih menyakitkan daripada alphanya dia memberikanku nafkah bathin. Masih beruraian air mata, perlahan kumasukkan beberapa baju ke dalam tas besar lalu memasukkan juga beberapa baju anakku.

“Tidak,…baju Wiena tidak boleh dibawa, dia akan tetap di sini bersamaku bukan bersama ibu yang tak tahu diri seperti dirimu”

Kata-kata suamiku begitu tajam kurasakan menyayat hatiku. Apakah aku harus membela diri dengan mengatakan aku menyesal dan aku telah mengakhiri hubungan dengan mantan pacarku karena ingin mempertahankan pernikahan kami??? Apakah dia masih mau mendengarkan ketika cinta yang menyatukan kami telah lenyap dalam pekatnya amarah..., Tuhan mungkin punya rencana yang lain, suamiku menendangku dari ikatan yang menyatukan kami. Bahkan dengan teganya dia memisahkan aku dari anak yang sangat kusayangi.

Aku tak ingin membela diriku, karena mungkin aku tak punya hak untuk membela diri.
Dengan segala keresahanku ku tampung semua duka hatiku ketika kukuatkan hati bahwa aku telah diceraikan dengan cara yang sangat menyakitkan. Apakah dia akan mendengarkan bahwa aku tersiksa dengan semua perlakuannya selama ini????... Apakah dia mau tahu penyebab dari semua ini???..ingin sekali aku meneriakkan di wajahnya dimana janjinya yang ingin membawaku ke syurga?? Dimana janjinya untuk selalu bisa menjadi imam dalam shalat jama’ah kami, dimana janjinya untuk bisa membangunkanku tahajjud bersama??...aku hanya diam ketika dia mengusirku dengan segala ketakberdayaanku.

Kulangkahkan kakiku bersama hancurnya tiap keping jiwaku, kukecup lembut kening anak semata wayangku yang masih tertidur pulas.

“Maafkan bunda sayang,…bunda bertahan untukmu, tapi bunda tak berdaya untuk membawamu serta,..bunda Cinta Wiena”

Malam itu aku benar-benar bisa merasakan bagaimana rasanya tanpa arti lagi. Langkah gontaiku di pekat malam semakin membuat kesendirian ini begitu terasa. Aku istri yang tak berbudi, aku ibu yang tak bertanggung jawab. Semua kata-kata itu seperti bayangan gelap mencekam yang membuntuti setiap langkahku. Aku telah tercampakkan, sangat dalam.

Masih kutatap bayanganku dalam redup lampu-lampu rumah yang menerangi mata kakiku untuk melangkah. Langit hitam, tanpa bintang dan bulan. Tak seorang pun yang menahanku untuk pergi. Semua diam, hanya isak tangisku saja yang kudengar hingga menembus kepekatan malam yang lengang.

Bagaimana ku tatap duniaku lagi yang memandangku penuh benci ketika hembusan perselingkuhan itu menjadi topik utama dalam sidang perceraian kami. Semua melihat akibatnya tanpa mencari penyebabnya. Harus ku kemanakan hatiku jika bukan karena iman aku sudah meminta Allah mencabut nyawaku. Karena isu perselingkuhan itu pula, hak asuh anak semata wayangku jatuh pada suamiku. Serasa dunia kiamat di depanku, serasa beribu gunung yang runtuh di depanku seketika.

Seburuk apapun aku akan bangkit, sekeras apapun terjangan itu aku harus kuat. Terakhir kali suamiku menggauliku ternyata membuahkan seorang janin di kandunganku. Tapi lagi-lagi aku harus dua kali lebih sabar dan kuat ketika anak yang ku kandung dianggap menjadi insan yang tak diinginkan ayahnya karena menurut suamiku janin yang kukandung bukan anaknya.

Lengkap sudah penderitaanku, ku kepakkan sayap lemahku demi anak yang dititipkan Allah padaku. Aku hanya ingin menjadi ibu yang shaleh. Aku hanya ingin membahagiakan anakku, walaupun mati-matian ku kumpulkan setiap pundi-pundi ketegaranku. Bagaimanapun aku hanya manusia biasa, wanita biasa yang terkadang lemah jika diterjang dari segala arah, terkadang sayapku juga terasa sakit akibat patah kena hantaman kehidupan. Tapi aku harus bangkit, tak ada gunanya meratapi yang lalu hanya akan menyisakan perih yang tak pernah usai.

------

Aurora masih terisak dalam pelukanku, aku bisa merasakan beban berat yang dia pikul sendiri saat ini. Tubuhnya berguncang hebat menahan air mata yang mengalir. Ku tatap ada sorot mata penyesalan, tapi aku juga melihat ada sorot kelegaan. Antara menyesal telah melakukan sebuah kesalahan dengan kelegaan terlepas dari beban bathin yang telah menghadangnya selama berumah tangga.

“Mira,…menurutmu apa aku ibu yang baik??

Ku anggukkan kepalaku sambil memberikan sapu tangan pada Rora. Sebersit aku menatap kagum pada wanita satu ini. Beban hidupnya begitu berat, kenyataan hidupnya begitu pahit untuk dipikul sendiri. Bukankah Allah Maha Pengampun atas setiap dosa yang dilakukan?? Bukankah Allah Maha Penyayang sehingga Rora mampu menjalani ini semua.

Tapi setiap hati memiliki cara merasakan masing-masing pada setiap masalah. Mungkin Rora salah telah berselingkuh lewat dunia maya, tapi bukan berarti suaminya juga suami yang baik untuk seorang Rora. Tak ada seorangpun yang tahu bagaimana aib itu tersingkap dan tersimpan dengan baik.

Diam aku menatap sajadah panjangku setelah menghabiskan bacaan surah Ar-rahman. Wahai yang Maha Sayang,..sayangilah hamba dan suami hamba untuk selalu berjuang mempertahankan pernikahan kami dalam kasih dan sayang. Wahai yang Maha Pengasih Kasihilah wanita-wanita yang teraniaya hatinya, ampunilah khilafnya dalam sebuah tabir penyesalan,..Amiennn

Untuk Wanita yang menghampiriku
Dengan genangan air mata
Ahris Nafsaka anittadbir (Ringankanlah dirimu atas apa yang menjadi kehendakNya)

Jakarta, 28 Maret 2010
Aida affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com
www.scribd.com/aida_affandi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar