Laman

Jumat, 19 Maret 2010

Wanita Kedua Itu Sahabatku


aku bertanya padamu,….
Bukankah sahabat berarti berbagi, peduli dan memaafkan sahabatnya??
Tapi kau menjawabnya,…
Sahabat berarti berbagi, peduli dan mengambil orang yang dicintai sahabatnya,..


Luka tetaplah sebuah luka, walaupun telah ditelan waktu sekalipun mungkin luka itu masih tetap tersisa di hati. Dulu ku pikir meminta maaf adalah sesuatu hal yang sulit untuk di lakukan, namun ternyata berada di posisi memberi maaf tanpa menyisakan perih dan dendam jauh lebih sulit dari apapun. Namun akhirnya aku sadar itulah sejatinya perjuangan sebuah hati.

Seperti bebatuan yang jatuh tepat di ubun-ubun kepalaku laksana siksaan batu neraka yang dikirimkan Allah untuk ummat Nabi Luth. Dalam keadaan berjuang hidup dan mati, aku benar-benar tak percaya, ketika aku mendapati kenyataan bahwa wanita yang telah bertahun-tahun menjadi sahabatku menambatkan hatinya pada seorang laki-laki yang justru adalah suamiku sendiri.

--------------

Tiga tahun yang lalu saat di sebuah training pengembangan diri aku bertemu dengan Shinta. Seperti seorang gadis kecil sikapnya sangat manja, mungkin karena umur kami yang terpaut 5 tahun. Shinta memang lebih muda dariku, tapi entah mengapa antara kami hadir sebuah kecocokan hingga terjalin persahabatan itu. Mungkin karena sikapku yang berperan sebagai kakak dan shinta sebagai adik yang manis.
Shinta memang seperti malaikat, dia selalu ada di saat aku sangat membutuhkannya bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun. Bak seorang ibu peri dengan tongkat ajaibnya dia membuat anak-anakku jatuh hati padanya. Setiap pulang dari tempatnya bekerja Shinta selalu menyempatkan mampir ke rumahku hanya untuk membawakan mainan dan kroket kesukaan anak-anakku.

Apa yang harus aku katakan, wanita ini memang mampu mengalihkan perhatian semua orang karena kebaikan hatinya. Ya, Shinta bukan hanya baik tapi aku pikir Shinta juga sedikit berbeda, di saat yang lain membenarkan apa yang aku lakukan, tapi Shinta selalu menjadi sisi yang menunjukkan aku arah yang benar. Yah, aku pikir memang semestinya seorang sahabat menunjukkan sesuatu yang benar bukan selalu membenarkan apa yang kita lakukan.

Tak ada satupun yang menyangka bahwa persahabatan kami akan berakhir seperti ini. Tak terfikirkan olehku bahwa wanita yang childish itu mampu menaklukkan semuanya. Tak terfikirkan olehku bahwa wajah yang seolah-olah tanpa dosa itu mampu memporak porandakan semua pondasi hatiku. Sungguh, sama sekali tak terfikirkan olehku karena aku terlalu mempercayainya.

Aku tak pernah melihat sisi yang lain dari seorang Shinta. Selain ku akui Shinta memiliki wajah yang cantik, tubuh bak model catwalk tak kurang dari 170 cm tingginya. Mungkin di situlah letak sex appeal nya seorang Shinta sehingga membuat suamiku jatuh cinta lagi.

Aku ingat pertama kali saat aku meperkenalkan Shinta pada suamiku. Tak terbersit sedikitpun di hatiku untuk mencurigai mereka sama sekali, bahkan gelagat bahwa mereka akan mengkhianatiku di kemudian haripun tak pernah benar-benar kurasakan. Walaupun terkadang mereka asik bermain dan berbincang bersama anak-anakku di taman belakang rumah kami di saat aku sibuk di dapur dengan macaroni schuttle, aku tetap merasa bahwa kondisi itu wajar atau mungkin karena aku terlalu mempercayai mereka. Aku memang tak menaruh curiga sedikitpun sampai suatu hari itu dimulai ketika dokter memvonisku positif mengidap kanker serviks atau kanker leher rahim.

---------

Seperti wanita yang kehilangan kepercayaan diri ketika vonis itu dijatuhkan padaku. Mendadak aku ingin sendiri, merenungi apa yang harus aku lakukan setelah ini. Hidupku benar-benar hampa dengan berita itu. Kadang ku coba bangkit mengingat anak-anakku yang masih balita, siapa yang akan mengasuh mereka jika ibunya hilang semangat untuk bertahan hidup.

Dalam keadaan seperti itu Shinta hampir selalu hadir. Tak dapat kutampik aku merasakan betapa besar pengaruhnya saat itu. Dia selalu menyemangatiku untuk tetap optimis bahwa aku pasti sembuh, bahwa aku pasti kembali sehat. Dia selalu memompa semangatku tiap kali rasa lemah itu hadir. Terkadang dia hadir dengan leaflet berisikan tentang info pengobatan kanker serviks. Terkadang dia juga membawakanku obat-obatan tradisional guna mengurangi penyebaran sel kanker sebelum penanganan medis dari dokter dilakukan.

Seperti pepatah jawa Tresno jalarang suko kulino, ya cinta itu hadir karena sering bersama. Semua berawal saat kami sekeluarga ke singapura. Suamiku sengaja mengajak aku dan anak-anak jalan-jalan ke singapura untuk mengurangi stresku sebelum melakukan pembedahan sel kanker pada leher rahimku. Menurut dokter sel kanker yang menyerangku masih bersifat karsinoma in situ atau kanker yang terbatas pada lapisan serviks luarnya saja, dengan bantuan pisau bedah atau pun melalui LEEP (Loop electrosurgical excision procedure) seringkali sel kanker dapat diambil. Walaupun kemudian aku harus bolak balik kembali untuk pap smear setiap tiga bulan sekali.

Entah mengapa mungkin karena rasa percayaku pada suami dan Shinta, dengan tanpa maksud apapun aku minta ijin pada suamiku agar mengajak Shinta ikut serta ke Singapura dengan semua biaya ditanggung oleh suamiku. Sungguh itu terjadi di luar keinginanku, di luar kontrolku untuk segera mendeteksi rambu-rambu penunjuk tanda bahaya itu.

“Bukankah sebuah perselingkuhan terjadi karena adanya sebab akibat” ungkap suamiku suatu hari saat membela diri.

Ya, sebab aku terlalu mempercayai suamiku dan Shinta. Ya, sebab aku memberikan kesempatan waktu untuk mereka berdua mencurahkan signal-signal cinta yang telah hadir sejak lama. Di situkah letak kesalahanku?? Apa karena Shinta lebih muda dariku??? Apa karena Shinta lebih cantik dariku?? Apa karena Shinta selalu hadir di saat aku gundah menerima kenyataan bahwa aku mengidap kanker??

Ah, laki-laki…apa demikian mudahnya untuk jatuh cinta lagi?? Apa demikian visualnya seorang laki-laki ketika yang hadir di depan mata jauh lebih cantik dan lebih muda daripada yang sudah menemaninya berjuang hidup bersama selama 7 tahun yang lalu??,…Ah, laki-laki seperti tak pernah habis waktuku untuk menelusuri bagaimana sebenarnya cinta itu hadir begitu saja antara mereka.

Tak ada seorangpun yang menyampaikan padaku bahwa mereka mengkhianatiku. Sungguh, tak seorangpun yang khusus datang menyampaikan apa yang telah mereka lakukan di belakangku. Tapi Tuhan telah menyampaikannya padaku dengan cara Nya sendiri tentang kenyataan yang mengiris hatiku itu. Hampir aku tak bisa menerima kenyataan ketika pertama kali dalam keadaan setengah sadar pasca pembedahan dan kesakitan di ruang rawat inap, ku lihat di sudut ruangan suamiku memeluk Shinta dengan mesranya. Mereka benar-benar telah menempatkan sebuah posisi yang lebih besar untuk sesuatu yang bernama “Nafsu”.

Mereka tak menyadari dalam keadaan samar aku masih bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan. Mereka tak menyadari dalam keadaan setengah sadar sekalipun hatiku masih merasakan sesuatu yang janggal telah terjadi di sekitarku. Berulang kali aku bertanya dalam hatiku, apa mereka tak berfikir seketika sewaktu-waktu aku bisa saja terbangun atau dua orang anakku bisa saja terbangun mendapati perbuatan mereka yang sudah sangat keterlaluan.

Oh Tuhan,..sudah berapa lama mereka melakukan ini padaku. Dengan bermodalkan rasa kepercayaanku mereka benar-benar telah menghancurkan semua pengharapanku. Seketika aku ingin mati saja, dalam keadaan masih lemah, dalam keadaan masih merasakan sakit aku benar-benar memohon pada Tuhan agar nyawaku diambil saja. Aku sungguh tak mampu bertahan menerima kenyataan telah dikhianati oleh suami yang sangat kucintai dan oleh seorang sahabat yang sangat kusayangi.

Ya Rabbi,..kemana harus kutambatkan hatiku jika bukan Engkau yang menerimaku. Ya Allah, kemana kuharus mengadukan resahku jika bukan Engkau yang Maha mendengarkannya. Hamba lemah ya Allah diperlakukan seperti ini. Hamba lemah ya Allah, hamba hanya manusia biasa yang hatinya juga merasakan sakit yang teramat dalam. Kemana hamba harus membuang lara jika bukan Engkau yang menguatkan hamba.

Aku menangis dalam tanyaku pada Allah, rasa sakit itu bukan main telah menjalari sekujur tubuhku. Lebih ganas dari sel kanker yang diam-diam menggerogoti tubuhku. Lebih sakit dari bekas luka operasi yang baru saja ku jalani. Sakit, sungguh sakitnya tak terperi.

Aku hanya diam dan menyimpan semua yang telah kuketahui tentang pengkhianatan mereka padaku. Aku memilih diam dan bertahan demi anak-anakku. Anak-anakku masih terlalu kecil untuk mengerti tentang hal ini jika tiba-tiba aku melepaskan amarahku di depan mereka, namun ternyata dengan diam semakin menyiksaku, menyiksa semua pertahananku untuk tetap tenang dan berfikir. Tapi ku pikir aku harus tetap bertahan.

--------

Ternyata perjalanan ke singapura merupakan salah satu jalan ketika semua kebathilan yang tersembunyi di balik mata itu terbuka juga dengan izin Allah. Aku masih tetap diam, diamku bukan berarti aku rela dan menyerah dengan semua keadaan ini. Mereka masih tetap bersikap manis di depanku dan bercumbu di belakangku seolah-olah aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sungguh ini sebuah hal yang memuakkan.

Hari ini, mungkin menjadi suatu hari yang tak pernah terlupakan seumur hidupku. Kupaksa Shinta menemaniku makan siang di luar, tentu saja di luar kebiasaanku yang tak pernah sekalipun menemuinya di jam makan siang.

Aku menangkap mata itu resah, sikapnya serba salah. Tak seperti biasanya shinta menjadi seorang yang sangat pendiam. Dia masih mencoba tersenyum, walaupun ku tahu itu bukan sebuah senyuman dari hati seperti yang selama ini kulihat. Tiap kali kucoba menatap matanya, kembali shinta memainkan jari-jarinya untuk kesekian kalinya pula.

“ada apa, mengapa sikapmu begitu gugup Shin” ucapku basa basi

“banyak kerjaan di kantor mba” jawab Shinta mencoba mengalihkan arah pertanyaanku.

“aku ga akan lama kok Shin, aku pingin ketemu kamu untuk mengungkap suatu hal saja” jawabku santai sambil melirik ke arah Shinta. Ku lihat wajahnya berubah pucat, matanya semakin setia menekuri setiap sudut meja di hadapan kami.

“apa kau mencintai Mas Rangga??” tanyaku menantang kejujuran Shinta.

“eeehhh,..kok mba nanya nya gitu?” Shinta semakin gugup.

“jawab saja, apa kau mencintainya?? sejauh apa Shin,..apa kalian sudah melakukannya selayaknya suami istri” aku semakin memburunya, emosiku terpancing juga dengan ketidakjujuran Shinta.

“mba,..mba ngomong apa??siapa yang berusaha merusak persahabatan kita mba??” Shinta berdalih, tapi kali ini dia gagal karena aku sangat faham bagaimana sifatnya seorang Shinta.

“Kamu Shin,..kamu yang merusak persahabatan kita, sampai saat ini aku terus mencari dimana letak kesalahanku sehingga kau dan mas Rangga berani berbuat ini padaku.
Tidak ada seorangpun yang memberitahuku tentang pengkhianatan kalian, tidak,… tidak,.. seorangpun hanya Allah saja. Aku dan anak-anak mungkin tidak tahu dosa yang kalian lakukan di belakangku, tapi Tuhan, apa Dia tidur menyaksikan semua dusta yang kalian lakukan?? Shinta sama sekali tak menjawab bahkan dia sama sekali tak berani membela diri.

“mengapa diam??,..katakan, apa aku pernah sangat menyakiti hatimu Shin, kalau memang benar aku pernah menyakitimu aku bersedia minta maaf tapi bukan berarti kau boleh berbuat ini padaku..sudah sejauh apa?? Jawab pertanyaanku,..suaraku agak sedikit keras dan terkesan membentak Shinta, beribu kali ku kuatkan hatiku untuk tak setitikpun menitikkan air mata, aku tak ingin Shinta melihat aku begitu lemah dengan peristiwa ini.

“maafkan aku mba, aku sungguh tak ingin membuatmu terluka. aku tak sengaja jatuh cinta pada mas Rangga, mas Rangga juga demikian semua terjadi begitu saja” shinta menitikkan air mata berusaha menjangkau jemariku di atas meja mencoba untuk meyakinkanku.

“itu pembelaanmu Shin,..kau benar-benar telah menyakitiku dengan mengambil semua rasa kepercayaanku padamu, katakan padaku jika kau berada di posisiku apa kau akan memaafkan kesalahan seperti ini??” apa kau tidak terluka dikhianati Shinta,..jawab aku apa kau masih punya hati untuk merasakan apa yang aku rasakan sekarang?? Coba Shinta,..coba kau rasakan detak amarah yang terus mengalir di setiap jantungku”kutarik dengan paksa tangan Shinta untuk merasakan detak di dadaku.

Shinta semakin sesenggukan dengan semua pertanyaanku. Hatiku sangat hancur bahkan ku tak mampu menangis lagi di depan wanita yang telah menghancurkanku dan rumah tanggaku. Katakan, apa aku salah telah menghakimi Shinta, aku tak bisa menafikan bahwa semuanya terjadi karena ada yang menawarkan dan ada yang menerimanya. Mungkin suamiku yang memulai dan shinta menerimanya, atau bisa saja shinta yang memulai lalu suamiku mengabulkannya.

“katakan,..aku harus bagaimana sekarang??, apa kau pikir luka ini bisa hilang secepat ketika kau menorehkannya?? Entahlah,..antara kita berdua harus ada yang mengakhiri ini. Jika bukan kau tentu aku”…kutarik nafas dalam-dalam, percuma aku menguras energy untuk tetap marah pada shinta. Aku berlalu meninggalkannya dengan amarah yang meluap-luap di dadaku. Terlalu lelah untuk menata hatiku jika terus berhadapan dengannya, bagaimanapun aku ingin lebih bijaksana dalam menyikapi ini.

-------------

Aku bahkan tak punya tenaga lagi saat kudapati suami yang sangat kubanggakan malah menyalahkanku atas semua kejadian ini, menyalahkanku karena beberapa kelemahanku, menyalahkanku untuk alasan yang kurang relevan dan tak berhubungan dengan kehadiran Shinta di hatinya. Mas Rangga sama sekali tak ingin disalahkan, lalu siapa yang salah?? Aku kah yang salah karena tidak mengerti cinta mereka. Oh,..ini sungguh terlalu.

“mengapa kau harus menghakimi Shinta?? Bukankah aku juga bagian dari masalah ini” kata-kata mas Rangga begitu menyayat hatiku, kata-kata itu menghujam tepat pada jantungku. Mas Rangga membela Shinta, mas Rangga telah melupakan cinta antara kami berdua demi wanita yang lebih muda lima tahun dari umurku. Kenyataan yang begitu menyakitkanku.

“aku tak hanya kecewa padanya tapi juga padamu, suami yang selalu ku utamakan dari apapun di dunia ini ternyata malah menjadikan aku orang lain di hatinya demi wanita lain. Apa kalian punya alasan untuk membela diri, seolah-olah aku tak boleh menghakimimu dan Shinta??” aku kembali bertanya.

“jika benar kami salah menurutmu, tapi kau tak perlu memarahi Shinta seperti itu. Bukankah kau juga telah membuat dia semakin merasa bersalah dan sakit??” mas Rangga mengucapkan kata-kata yang seolah-olah tak membuatku kaget setengah mati mendengarnya.

Apa??? Sakit??? Sakit hatikah Shinta karena perlakuanku ketika aku meminta pengakuannya?? Sakit hatikah Shinta karena seorang sahabat bertanya bagaimana teganya dia menyakiti perasaan sahabatnya sendiri??,…sakit, siapakah yang lebih sakit saat seperti ini. Shinta wanita yang datang dalam hari-harimu belakangan ini selalu menjadi indah dibanding istrimu yang terkadang terlihat kelemahannya karena telah bertahun-tahun bersamamu. Lalu siapa yang lebih sakit??? Shinta atau Aku????,….

Aku berteriak-teriak bersama linangan airmataku. Bukankah aku yang paling sakit saat ini, bukankah aku yang paling menyedihkan saat ini. Bagaimana mereka masih menganggap aku tidak sakit hati, bagaimana mereka bisa memaksaku untuk menerima semua cinta yang hadir antara mereka, bagaimana bisa mereka berlaku demikian kejam padaku. Bahkan yang membuat aku semakin ingin mati ketika mas Rangga dengan entengnya memintaku untuk menandatangi surat izin mas Rangga untuk menikahi Shinta.

“Gila,…lelucon macam apa ini?? aku bukan hanya disakiti dengan perselingkuhan suami dan sahabatku, tapi aku juga dipaksa merelakan dan memberikan legitimasi atas cinta mereka. Ini bukan hanya terlalu, tapi sungguh sangat keterlaluan.

“shinta,..aku pernah bilang semua ini harus berakhir, jika bukan kau orangnya berarti akulah yang akan mengakhirinya”…tak ingin kulihat wajah Shinta lagi. Bukan karena aku merasa kalah, tapi aku merasa benci itu semakin besar hadir atas sikap dua orang yang sama sekali tak ku kenal lagi, semua berubah karena cinta yang menggebu-gebu antara mereka. Sungguh mereka telah dibutakan cinta untuk memahami perasaanku.

“Mas Rangga, Sekarang aku mohon dengan sangat, jika kau laki-laki sejati ceraikan aku” tangisanku akhirnya meledak juga.

Dua kalimat itu terasa tercekat di leherku. Memikirkan kalimat itu saja hampir tak pernah sekalipun dalam hidupku, membayangkan hidup tanpa suami dan membesarkan anak seorang diri adalah hal yang paling menyedihkan bagiku. tapi sekarang aku telah memintanya dengan lantang karena merasa harga diriku yang telah diinjak-injak demikian hinanya di mata suamiku, dan yang paling menyedihkan karena aku kalah oleh kenyataan bahwa suamiku jatuh cinta lagi pada wanita yang jauh lebih cantik dan menarik dari istri yang tak berharga lagi di matanya.

Terkadang aku pernah bertanya dalam hati. Bukankah tak ada seorangpun di dunia ini yang tampak sempurna selain Rasulullah??,..bukankah kekurangan seorang istri atau suami akan senantiasa tampak ketika kita melihat yang lain “bukankah rumput tetangga selalu lebih hijau dari milik kita sendiri”. Sama halnya seperti yang aku alami dulu, ketika sebelum menikah semuanya seolah-olah akulah yang nomor satu di mata mas Rangga. Namun ketika dia mengenal Shinta segalanya tentang aku hanyalah sebuah cerita picisan belaka. Aku tak tahu apakah ini akan berlaku pada Shinta juga kelak.

Kulihat mimik wajah Shinta yang terkejut dengan permintaan ceraiku. Aku tak ingin mempertimbangkan apapun lagi, bukankah memang itu yang mereka inginkan dariku. Pergi dari kehidupan mereka dan berjalan jauh sebagai seorang yang kalah. Mungkin aku kalah karena tak mampu mempertahankan pernikahanku, tapi aku menang membela hak-hakku sebagai seorang wanita yang benci atas nama pengkhianatan.

-----------

Perceraian,..tak ada seorangpun wanita di bumi ini ingin bercerai, perceraian dulu bagiku selalu menjadi momok yang menakutkan. Namun ternyata semua hal itu menjadi berat ataupun ringan hanya ada di pikiran kita saja. Harus ku hadapi kenyataan saat ini walau seberat apapun itu harus ku jalani. Untungnya aku selalu siap untuk menjadi mandiri karena bagiku seorang istri harus tegar dalam kondisi apapun. Mungkin karena aku terbiasa melakukan banyak hal seorang sendiri walaupun mas Rangga masih bersamaku dulu.

Bersama dua anak-anakku aku menjalani hari yang sungguh sangat berbeda dari yang sebelumnya. Shinta menikah dengan mas Rangga dan aku memilih menjauh, jauh dalam segala hal yang berhubungan dengan mereka. Apalagi ku ketahui mas Rangga sedang menikmati waktunya menjadi ayah, anak yang dilahirkan Shinta. Sungguh,.. aku belum mampu memaafkan mereka. Walaupun beberapa kali Shinta mengirimiku surat, email, pesan singkat bahkan telpon untuk memohon maafku, tapi hatiku tetap tak bergeming.

Berulang kali kucoba menghilangkan dendam dan benci di hati ini, tapi selalu tanpa hasil. Semakin ku coba, aku semakin terperangkap dalam kubangan kebencian yang teramat dalam. Apakah benar hatiku telah membeku untuk memberikan kata maaf yang bisa saja terucapkan oleh lidah tapi sulit diamini oleh hati. Entahlah mungkin suatu saat nanti, mungkin Allah akan menghilangkan kebencian itu dari hatiku. Sama halnya ketika Allah menghadirkan kebencian itu di hatiku.

Berdasarkan Kisah seorang sahabat,..
“apakah benar salah satu hubungan yang tak terputus itu
adalah sebuah persahabatan??”

Jakarta, 16 Maret 2010
Aida m. Affandi
www.warnawarnisisihati.blogspot.com

3 komentar:

  1. "Sama halnya ketika Allah menghadirkan kebencian itu di hatiku." Apakah benar, Allah menghadirkan kebencian di hati manusia? atau, itu ahanya tipu daya syaitan?

    BalasHapus
  2. jika hal yang dibenci adalah hal yang dibenci Allah sepertinya itu tepat. perselingkuhan dalam lingkungan pernikahan adalah hal yang dibenci Allah,..tapi jika dendam dan tak memberi maaf hal ini tepatnya berasal dari syaithan.

    BalasHapus
  3. Ah...serasa nafas sedikit tertahan membacanya...Berusaha untuk memaafkan adalah pilihan yg terbaik. Berusaha menghilangkan kebencian, meskipun sulit, juga harus menjadi pilihan. Mengenai caranya...kembali kepada kita...

    BalasHapus