Laman

Senin, 22 Februari 2010

Kuijinkan Kau menikahinya


Wahai yang maha memiliki hati,..
Ikhlaskah aku membagi pujaan jiwaku pada yang lain,..
Wahai yang maha penyemat cinta,..
Ajarkan aku tentang keikhlasan,..


Kulepaskan mukena lebarku yang berwarna putih terang, sembari menatap sajadah coklat yang bergambar abstrak yang masih terbentang lebar di depanku. Pikiranku menerawang pada wajah suamiku tercinta. Wajahnya teduh, tatapannya sangat menyejukkan. Wajahnya tampan, hidungnya mancung, wajahnya putih bersih. Di sepanjang dagunya tumbuh lebat bulu-bulu halus yang semakin menambah ketampanannya. Suamiku sudah tidak muda lagi, umurnya pun sudah 40 tahun lebih. Namun kharisma dan ketenangannya mampu mengalihkan perhatian seorang wanita muda sekalipun.

Hari ini suamiku pujaan jiwaku menikah untuk kedua kalinya. Menikah dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dari usiaku. Terkadang sedih menyelinap pelan-pelan di sudut hati dan pikiranku. Mungkin keikhlasan itu begitu sulit saat berhubungan dengan kata cinta. Namun kemaren aku telah menetapkan hati membagi cinta antara aku, suamiku dan wanita yang lain.

-----------------

Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-nisa’ ; 03)

Suamiku Furqan, dia seorang Guru Pengajian di lingkungan tempat kami tinggal, kegiatan sehari-harinya mengajar di pondok pesantren khusus untuk bapak-bapak dan ibu-ibu yang kebanyakan pensiunan dan sudah lansia. Terkadang Furqan juga sering mengisi pengajian di beberapa tempat bahkan hingga keluar kota. Sebagai seorang istri, kegiatanku juga tak jauh berbeda dengan suamiku. Mengajarkan anak-anak usia sekolah mengaji dan belajar agama di rumah. Sesekali juga ikut mengisi pengajian ibu-ibu di komplek perumahan kami.

Tahun ini kami telah bersama dalam ikatan pernikahan selama 18 tahun. Tak ada yang kurang dalam pernikahan kami, semua indah dan terasa begitu menyenangkan hidup bersama Furqan dan kelima putra putri kami. Furqan sangat lembut dan santun. Tak sekalipun dia berucap kata-kata kasar bahkan menyakiti hatiku, malah dia memanggilku Cinta sebagai panggilan kesayangannya untukku. Sebagai seorang Ayah, Furqan juga selalu menanamkan nilai-nilai yang santun pada anak-anak kami. Furqan memang seorang
Imam yang bertanggung jawab dalam keluarga kami.

Di hari pertama kami menikah Furqan mengatakan sesuatu yang sangat membahagiakanku. Membawaku melambung tinggi dalam genggaman cinta yang meluap-luap antara kami. Memberikanku sebuah keyakinan bahwa kami hanya satu dan tak ada yang lain.

/” Sayangku, hari ini aku menikahimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Ijinkan aku menegurmu jika kau berbuat keliru, kuijinkan kau menegurku jika aku berbuat keliru pula. Jadilah pujaan hatiku, sekaligus istri dan sahabat untukku. Karena aku tlah berjanji dalam hatiku bagiku kau satu selama hidupku di dunia ini”/

Malam pertama kami begitu indah, Furqan selalu berwudhu terlebih dahulu sebelum mendekatiku. Berbisik membacakan doa di ubun-ubun kepalaku sebelum memberikanku kecupan yang lembut. Janji Furqan di malam itu begitu nyata dalam hidupku. Begitu damai terasa hingga di usia pernikahan kami yang ke 18 tahun.

Furqan sering pulang hampir tengah malam untuk mengisi beberapa pengajian di beberapa tempat. Terkadang dia menggendongku ke kamar karena aku ketiduran menunggunya pulang. Furqan sungguh suami yang romantis, sangat pengertian. Di tengah malam dia sering membangunkanku untuk tahajjud. Terkadang tak sungkan dia sudah menyiapkan sarapan buat kami saat aku merasa kelelahan. Pernah suatu saat dia membelai tanganku yang penuh luka karena alergi dengan zat kimia yang terdapat dalam deterjen, lalu keesokan harinya dia memberikanku hadiah mesin cuci. Terlalu banyak hal yang membuatku begitu bangga pada sosok suamiku.

Suatu Juma’t sore seperti biasa aku mengisi pengajian di pengajian mingguan komplek.
Dalam pengajian itu sudah berkumpul banyak sekali perempuan-perempuan yang masih remaja, dewasa bahkan sudah nenek-nenek. Aku hanya bisa mengingat wajah dan nama mereka yang agak familiar di mataku dan selalu rutin datang di pengajian. Selebihnya aku tak begitu ingat karena sering terlihat absen di pengajian. Setelah pengajian usai dan mulai sepi, kulihat salah seorang dari ibu-ibu pengajian menghampiriku.

/”Ustadzah Furqan, boleh kita berbicara empat mata untuk sesuatu hal yang saya rasa agak penting untuk ustadz Furqan”/ wajah wanita itu begitu serius menatapku. Wanita itu adalah Ummi Syathira, dia istri dari Ustadz Ridwan yang juga bersahabat dengan suamiku Furqan. Penuh tanya hatiku ingin mengetahui apa sebenarnya yang ingin dibicarakan Ummi Syathira.

/”saya baru tahu dari suami saya yang ikut mengisi pengajian dengan ustadz Furqan tempo hari di depok. Katanya ini sudah berlangsung beberapa bulan terakhir ini, hingga salah seorang ibu dari anggota jama’ah pengajian menyampaikan hal ini kepada suami saya”/

Ummi Syathira begitu hati-hati menjelaskan seluk beluk cerita yang akan dia sampaikan kepadaku, malah terkesan jangan sampai ada yang ketinggalan, dikurangi dan dilebih-lebihkan. Ummi Syathira faham benar bagaimana ajaran agama islam mengajarkan ketika menyampaikan amanah sebaiknya tidak mengurangi dan tidak melebihkan isi dari amanah orang lain. Sehingga tidak ada hal-hal yang dapat merusak sebuah amanah. Aku diam sejenak dan memperhatikan arah pembicaraan Ummi Syathira yang belum aku fahami sama sekali.

/”Maafkan saya Ustadzah,..saya tidak tahu apakah seharusnya menyampaikan hal ini pada ustadzah, karena beberapa orang jama’ah pengajian yang di depok juga sudah mengetahui tentang hal ini, saya khawatir jika sekiranya sampai ke telinga ustadzah akan banyak suara-suara yang kurang baik nantinya”/

/”katakanlah Ummi,..Insya Allah saya siap mendengarkan berita apapun dari Jama’ah di depok”/ ucapku dengan penuh ketenangan walaupun wajahku tak mampu menyembunyikan gurat penuh tanya di hati.

-------------

Pikiranku benar-benar tak bisa tenang setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Ummi Syathira sore tadi, aku mulai bingung harus seperti apa menghadapi situasi seperti ini. Baru kali ini hatiku begitu gundah memikirkan suamiku Furqan, baru kali ini aku begitu resah menghadapi permasalahan hidupku. Dan masalah itu berhubungan dengan Furqan. Kata-kata ummi Syathira kembali terngiang-ngiang di telingaku, seperti kalimat yang terus menghantuiku.

Ustadzah,..wanita itu salah satu Jama’ah rutinnya ustadz Furqan, sudah hampir 1 tahun dia ikut pengajiannya ustadz Furqan di depok, sebagian besar jama’ah rutin depok melihat sudah banyak perubahan yang terjadi dalam diri wanita itu semenjak ikut pengajian dengan Ustadz, dia telah menggunakan kerudung dan menutup auratnya dengan baik, bukan hanya itu sikapnya dan cara berfikirnya juga jauh dari kata glamour. Sungguh perubahan yang sangat luar biasa. Menurut cerita dari pimpinan pengajian di sana, awalnya dia hanya mengagumi saja kewibawaan ustadz Furqan, Hingga sesuatu hal yang memprihatinkankan terjadi, beberapa bulan yang lalu wanita itu baru menyadari bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta pada ustadz Furqan.

Sampai di situ hatiku tiba-tiba berdegup kencang, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tak mampu menampik pesona yang dimiliki seorang Furqan. Furqan memang tipe laki-laki shaleh yang sangat Nice Guy sekaligus juga Womanizer, wajar saja banyak wanita bahkan ibu-ibu begitu menyukainya. Begitu juga dengan kasus wanita muda ini, Tentu saja mungkin aku tak perlu banyak memikirkan tentangnya jika dia hanya sekedar menaruh simpati dan jatuh cinta pada suamiku. Namun kata-kata Ummi Syathira selanjutnya begitu menyayat hatiku sebagai seorang wanita yang dinikahi oleh Furqan.

/”Ustadzah,..wanita itu sudah hampir 1 bulan ini sakit berat, semenjak terakhir kali bertemu ustadz Furqan di pengajian bulanan kemaren. Ternyata cinta telah sangat menyiksa dirinya, dia berusaha menahan perasaan cintanya karena dia tahu perasaannya salah dan tidak halal karena jatuh hati pada seorang pria yang sudah beristri, ternyata bukan hanya itu saja yang menyebabkan sakitnya semakin menjadi, pengharapannya terlalu besar untuk dapat menikah dengan ustadz Furqan. Tapi dia sangat kecewa ketika mengetahui bahwa ustadz Furqan tidak bersedia berpoligami, karena begitulah janji ustadz Furqan pada istrinya.

Jiwa wanita itu hancur seketika, jantungnya menjadi lemah dan tak berdaya untuk bekerja. Paru-parunya tersendat-sendat memberikan pasokan oksigen untuk tubuhnya. Pikirannya dipenuhi tentang ustadz Furqan, beberapa minggu yang lalu sebelum sakitnya semakin parah, ibunya menemukan beberapa amplop berwarna peach yang ditujukan kepada ustadz Furqan. Ternyata dia ingin sekali menyampaikan kata hatinya selama ini. Surat itu akhirnya tak pernah ia sampaikan, dia hanya menyimpan harapan, semoga suatu saat nanti Allah memberikan kesempatan padanya untuk berdampingan hidup di samping ustadz Furqan.

/“Ya Allah yang Maha Pengasih, apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin menyakiti orang lain, namun aku juga tak ingin kehilangan Furqan suamiku, apalagi jika harus berbagi cinta dengan wanita lain. Wahai Rabbi, hatiku begitu resah, ketakutanku semakin menjadi, pikiranku penuh kegalauan. Tolong tunjuki hamba jalan menuju pintu kebijaksanaan itu ya Rabb...

------------

Dua hari hatiku terus gundah gulana, kusimpan semua galau itu dipundakku. Tak ingin kuberi cemas di hati Furqan akan kegalauanku ini. Apalagi Furqan tak pernah berbicara apapun prihal seorang wanita yang jatuh hati padanya itu. Menurut ummi syathira, Furqan memang tidak mengetahui tentang kejadian yang ikut membawa namanya itu. Berulang kali aku menengadahkan tangan memohon petunjukNya, Aku ingin tenang dan setenang mungkin menghadapi kondisi sulit seperti ini. Entah mengapa aku memutuskan mengambil langkah ini semoga menjadi awal yang baik bagiku dan Furqan. Ku dial nomer telpon rumah Ummi Syathira.

/”Assalamua’laikum ummi,..

/”Wa’alaikumsalam ustadzah,..ada yang bisa saya bantu??

/“Ummi, tolong antarkan saya untuk melihat kondisi wanita itu. Saya pikir saya perlu bertemu dengannya untuk melihat keadaannya”/ ucapku lemah kepada ummi Syathira.

/”Baiklah,Insya Allah nanti sore saya jemput ustadzah, kita sama-sama melihat keadaan wanita itu”/

Aku memberitahukan Furqan untuk melihat teman pengajian yang sakit di depok. Aku menuju ke rumah wanita itu ditemani ummi syathira. Bersama pengurus pengajian di depok kami langsung melihat keadaan wanita itu. Sepanjang jalan aku hanya diam, sesekali ummi syathira mengajakku bercakap-cakap tentang Fiqh Wanita. Pengurus pengajian menceritakan kepada ummi syathira bagaimana wanita itu bisa sakit hingga sedemikian beratnya dengan panjang lebar, andai dia tahu bahwa yang datang bersama ummi syathira adalah istri dari ustadz Furqan mungkin dia akan memilih untuk diam saja demi menjaga perasaanku sebagai seorang istri Furqan. Tapi kupikir lebih baik begini, jadi aku bisa mendapatkan informasi yang objektif dan tanpa ada yang ditutup-tutupi.

------------

Kutatap wajah wanita itu, Masya Allah wajah wanita itu sungguh sangat menawan hati.
Kulitnya putih bersih, kornea matanya berwarna coklat, begitu dalam namun terlihat pilu, lingkaran hitam di kantung matanya terlihat sangat jelas, hidungnya tidak terlalu mancung namun serasi dengan bibirnya yang penuh. Tubuhnya mulai mengurus dan terlihat ringkih. Bibirnya begitu kering, dehidrasi akut menimpanya. Wanita itu hanya diam tak bergerak sedikitpun, hanya matanya yang sesekali berkedip lalu mengalir tetes demi tetes airmata di pipinya.

Seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya, wanita itu segera menyambut kedatangan kami. Tangannya gemetar saat menggenggam tanganku, dingin seperti es. Matanya menatapku penuh cemas. Perlahan dengan setengah berbisik dia mengucapkan salam dan memperkenalkan dirinya pada kami. Ternyata dia adalah ibunda dari wanita muda ini.

/“ini anak saya Maria Ulfa”/ namanya Maria Ulfa, umurnya baru 28 tahun, berbeda sangat jauh denganku kira-kira hampir 12 tahun.

/”mengapa bisa seperti ini”/ Ummi syathira memulai pembicaraan dengan keluarga Ulfa.
Aku tak pernah mengerti mengapa ada cinta yang mampu membuat jiwa menjadi begitu menderita. Begitu hebatkah kekuatan cinta sehingga membuat seseorang merana.

Biasanya aku hanya membaca dan mendengarnya dalam kisah cinta yang tragis dalam Qais dan Laila, Romeo dan Juliet, atau kisah historis tentang bertekuk lututnya seorang si jenius Julius Cesar pada Cleopatra. Namun hari ini tepat di hadapanku, aku menjumpai keadaan yang tak mampu dipikirkan oleh akal sehatku. Tak mampu dianalisis oleh persamaan matematika apapun.

Memang benar jika bicara cinta maka yang ada hanya hati dan perasaan yang berkata, segala macam analisis otak kiri tak mampu memberikan rumusan untuk jawaban penyakit cinta. Cinta mampu menguatkan yang lemah dan melemahkan yang kuat. Dan cinta yang dirasakan Ulfa sungguh perasaan yang telah membuat pikirannya tak mampu memikirkan hal yang lain lagi kecuali cintanya pada suamiku Furqan.

Ulfa memendam perasaan kepada suamiku sudah berbulan-bulan. Segala hal tentang suamiku selalu membuatnya ingin tahu. Kegelisahannya semakin parah saat mengetahui bahwa Furqan telah memiliki anak dan istri. Dan lebih menyakitkan lagi baginya karena Furqan tak ingin berpoligami. Betapa malangnya gadis muda ini, ia tak pernah meminta untuk jatuh cinta pada suamiku. Namun hatinya sungguh tak berdaya melawan perasaan yang semakin dilawan semakin mencoba memberontak sehingga menghancurkan tubuhnya.

Suatu hal yang amat menyakitkan jika cinta kita bertepuk sebelah tangan, namun lebih menyakitkan lagi saat kita tak mampu mengungkapkan perasaan cinta yang kita rasakan kepada orang yang kita cintai (Kahlil Gibran) mungkin itulah yang terjadi pada Ulfa. Hingga dia jatuh tak berdaya dalam penderitaan yang dalam. Sungguh suatu kondisi yang sangat menyiksa bagi orang yang pernah merasakannya.

Analisa dokterpun tak mampu menjawab segala teka teki derita Ulfa. Dia masih sangat muda untuk menderita, entah mengapa rasa iba itu tiba-tiba muncul dari dalam hatiku namun sisi hatiku yang lain bertanya mengapa dia membiarkan hatinya terluka dan tubuhnya menderita karena cinta, mengapa dia tak mencoba untuk tegar, mengapa harus aku yang harus memikirkan semua kondisi ini. Oh, ini sungguh tidak adil bagi hatiku.
Cintaku pada Furqan juga segalanya dalam hidupku, Bergejolak dan semakin dalam setiap harinya. Tak kuasa ku menahan pergolakan batin yang begitu menyiksaku ini.

Aku tak sanggup melawan sisi hatiku yang lain, aku tak mampu pula menafikan hati seorang Ulfa. Aku tak ingin menjadi orang yang tak mampu melakukan apapun, tak mampu memberikan pertolongan apapun, sementara di hadapanku telah berbaring tubuh yang setengah mati memohon pertolonganku. Aku tak mungkin diam saja, Walaupun hatiku sangat sadar, bahwa sebenarnya akulah yang paling menderita saat ini.

Airmataku tak sanggup terbendung lagi. Entah kekuatan darimana tiba-tiba merasukiku, ku beranikan memperkenalkan diri setelah menguatkan hati berulang kali. Ku lihat wajah ummi Syathira yang mulai mengkhawatirkanku. Kembali ku kuatkan hatiku untuk katakan bahwa aku kuat dan mampu menghadapi ini semua.

/”Perkenalkan Bunda, saya Alifa istrinya ustadz Furqan”/ mimik wajah ibu Ulfa mendadak tegang terlihat jelas bahwa dia sangat terkejut dengan ucapanku barusan, semua orang yang ada di ruangan itu juga terkejut dengan pernyataanku, lalu mereka diam menunggu kata-kata apa yang akan aku sampaikan.

/”saya minta maaf tidak sedari tadi memperkenalkan diri bahwa saya istri ustadz Furqan, saya memang sengaja memilih diam, saya ingin lebih mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Saya ingin mengetahui bagaimana keadaan wanita yang menderita karena cintanya kepada suami saya yang telah membuatnya seperti setengah mati”/ ku dekati tubuh Ulfa, ku genggam lembut jari jemarinya.

/”Ulfa, saya datang kemari sama sekali bukan untuk menghakimimu, atau membuat dirimu semakin tersiksa. Saya kemari ingin melihat kamu kembali sehat dan tersenyum seperti sebelum kamu bertemu dengan suami saya dan jatuh cinta padanya. Saya ingin kamu kembali ceria seperti sebelumnya, namun Saya hanya meminta, tolong berikan saya dan anak-anak saya waktu untuk lebih siap menerima keadaan ini”/

Ibunda Ulfa memandangku heran ia terlihat bingung dengan pernyataanku, semua yang ada di dalam ruangan itu termasuk ummi Syathira juga tak kalah bingung dengan kata-kata yang aku ucapkan barusan. Setengah berbisik mereka mendengar aku melafazkan kalimat bismillahirrahmaa nirrahhiiimm.

/”saya akan meminta suami saya untuk menikahimu Ulfa”/berat sekali kalimat itu terucap dari bibirku, lidahku terasa begitu kaku, airmataku tak mampu menetes.

Setelah itu tenggorokanku terasa tercekat tak mampu berkata yang lain. Kutarik nafas dalam dalam menenangkan dan mengontrol diriku. Ku perhatikan jari jemari Ulfa bergerak- gerak perlahan, airmatanya menetes perlahan. Namun dia masih tetap diam tak bicara sepatah katapun.

Ibunda Ulfa bergegas menghampiriku. tiba-tiba ia sujud di kedua kakiku diiringi tangisannya yang tumpah di sela-sela gamis hijau yang kupakai saat ini. Wanita paruh baya itu tak bergeser sedikitpun dari kakiku, memeluk erat kakiku seperti seseorang yang sedang memohon pengampunan.

/”jangan menyakiti hati anda sendiri ustadzah, anak sayalah yang salah telah membiarkan hatinya dipenuhi oleh cinta dan rindu kepada ustadz Furqan, saya dan anak sayalah yang seharusnya tahu diri karena telah menyakiti perasaan anda dan menyakiti diri kami sendiri. Maafkanlah anak saya yang telah lancang menyimpan cinta kepada suami anda, sungguh saya tak berkuasa melakukan apapun agar perasaan cinta Ulfa kepada suami anda hilang, sungguh saya tiada berdaya membantu Ulfa. Tolong maafkanlah kami ustadzah”/ Ibunda Ulfa samasekali tak melepaskan kakiku dari rangkulannya.

Hatiku semakin pilu berada dalam situasi seperti ini, apalagi mendengar permohonan maaf dari mulut wanita paruh baya itu. Airmataku terus berjatuhan tak mampu ku menahan kesedihan yang luar biasa menghantam ketegaranku selama ini. Hatiku sungguh sakit berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam berfikir. Hatiku sakit karena aku harus bertaruh dengan hatiku sendiri. Aku tak tahu apakah moment ini menjadi jalan untukku belajar lebih dalam tentang makna keikhlasan.

----------------

Sebaik-baik istri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu senang, jika kamu perintah dia menaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan menjaga untukmu harta dan dirinya. (HR. ibnu Jabir)

Perjalanan dari Depok ke rumah terasa begitu lama. Mataku masih terlihat sembab saat kami berpamitan pulang. Oh, betapa aku merindukan wajah Furqan, betapa aku galau ingin bertemu dengannya. Betapa besar pengharapan dan cinta yang kami pupuk selama ini. Namun harus diuji oleh seonggok hati Ulfa yang merana. Ya Allah Engkau yang menumbuhkan cinta antara kami, Engkau pula yang menghadirkan cinta di hati Ulfa. Hamba yakin hanya engkau pula tempat hamba memohon petunjuk untuk semua ketentuanmu ini ya Rabb….

Aku tak bisa mengatakan tidak, walaupun berulang kali aku coba untuk katakan tidak namun tetap saja sisi kemanusiaanku yang lain mengatakan bantulah Ulfa dan bagilah cinta ini dengannya. Kenyamanan percintaan yang aku rasakan selama ini bersama Furqan telah membuat aku tak sanggup memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan menguji cinta kami. Oh begitu berat perjalanan ini kurasa,…

Furqan duduk di sampingku yang menangis tersedu, tangan lembutnya menghapus airmataku yang berjatuhan, perlahan dia mencium keningku dan memelukku erat sekali. Menenangkan hatiku yang sedang gundah gulana, sejenak kemudian dia melepaskan pelukannya lalu menggenggam tanganku erat-erat.

/”Cinta,..katakanlah apa yang sedang mengganggu hatimu hingga tersenyum pun terlihat sulit bagimu sayang”/ Furqan membelai jari jemariku lembut sambil tersenyum menunggu jawabanku.

/”Sayang,…apa kamu sudah tahu tentang keadaan Maria Ulfa?? Aku menatap sedih wajah Furqan dalam keadaan sesenggukan. Kulihat Furqan mengangguk perlahan, ternyata dia telah mengetahui tentang kisah cinta ini.

/”lalu Apakah kau mau menikahinya??”/ Furqan mendadak kaget lalu melepaskan genggaman tangannya dariku. Wajahnya berubah pucat pasi dan tegang. Tapi hanya sejenak ku lihat perubahan di wajahnya, dia kembali tersenyum dan memandangku dalam.

/”Cinta,.. apa kau ingat, apa yang aku katakan di malam pertama kita dulu?? Aku tak akan memiliki yang lain lagi selama aku hidup di dunia ini, cukup hanya dirimu saja yang memenuhi seluruh relung jiwaku. Aku mohon biarkanlah aku hanya menikah sekali dan itu hanya denganmu cintaku”/

Tangisku semakin menjadi mendengarkan jawaban Furqan. Wajah Ulfa yang sedang sekarat kembali terlintas di kepalaku. Bagaimana mungkin aku begitu egois membiarkan seseorang begitu menderita karena aku dan suamiku?? Aku tak ingin menyesal membiarkan Ulfa pergi karena penderitaan bathin yang begitu hebat.

/”Sayang,…ku mohon, nikahilah ia untukku. Aku tak sanggup melihat tubuhnya yang mulai sekarat karena menanggung rindunya yang belum halal untukmu, Nikahilah ia untukku,..aku tak ingin menyiksa seseorang karena keegoisanku. Ku mohon sayangku,…”/
Furqan terlihat berkaca-kaca mendengarkan permohonanku padanya. Tak pernah ku lihat ia begitu muram di depan mataku, tapi kali ini cintaku menjadi galau karena permintaanku yang sebenarnya tak pernah sanggup ia penuhi. Permintaan yang sungguh bertentangan dengan hatinya.

/”cinta,…aku memilihmu karena begitu mulianya hatimu, tapi jujur ini hal yang sangat berat bagiku. Membagi hatiku kepada wanita yang lain, aku sungguh tak ingin menyakitimu…aku tak yakin akan mampu bersikap adil padamu dan padanya. Bukankah jika aku tak mampu adil maka sama halnya aku telah menganiaya dirimu dan dia?? Sungguh lemah hatiku menerima permintaanmu yang begitu berat untuk ku lakukan”/.

/”sayang,…apa kau tak melihat perubahan pada dirinya semenjak mengikuti pengajian denganmu. Dia berubah menjadi gadis muda yang shaleh, baik pula akhlaknya. Aku sangat yakin dia masih sangat membutuhkan bimbingan darimu. Percayalah sayangku, dia wanita yang baik, dia juga akan melayanimu dengan baik pula. Aku yakin kau mampu berbuat adil, karena ilmu agama yang baik telah kau miliki suamiku, waktu kita tidak banyak cinta, ku mohon lakukanlah ini untukku”/ berulang kali ku mantapkan hati Furqan, termasuk menguatkan hatiku sendiri. Ku lihat Furqan diam sejenak, mungkin mencerna maksud dari kata-kataku.

/”Baiklah sayang,..aku akan menikahinya lillahi taa’la”/ sebuah senyuman mengembang di bibir Furqan walaupun aku bisa menangkap sorot mata yang gundah menghantui pikiran Furqan.

Furqan menyudahi pembicaraan antara kami, entah mengapa aku masih tetap menangis ketika berada di belakang Furqan sebagai makmum shalat isya malam ini. Aku tidak yakin akan banyak waktu untuk bisa menghabiskannya bersama Furqan di saat dia hanya menjadi milikku seorang. Sudut hati kecil ku terus bertanya setelah ini apa aku akan ikhlas, seikhlas-ikhlasnya.

---------------

Aku dan Furqan duduk bersisian, di depan kami telah berkumpul anak-anak kami tercinta. Mereka adalah bagian terpenting dalam hidup kami. Mungkin kami harus memilih kata-kata yang tepat untuk membicarakan tentang hal ini pada mereka. Nayla anak pertamaku yang berusia 15 tahun tentu sudah mulai faham tentang arah pembicaraan kami. Nayla gadis yang sangat bijaksana dan ceria.

/”tentu kita bahagia dengan memiliki ummi yang baru, bukankah membuat orang lain bahagia adalah hal yang disukai Allah, apalagi hal itu juga merupakan kebahagiaan buat kita semua anak-anak abi dan ummi”/ aku menatap mata Nayla, aku merasakan sesuatu hal yang berbeda darinya. Nayla mencoba memahami perasaan kami sebagai orangtuanya, dan Nayla mencoba berada di posisi seorang anak sulung yang menjadi panutan buat adik-adiknya. Memberikan ketenangan bukan kegusaran atas keputusan orangtuanya. Betapa beruntungnya aku memilikinya.

--------------

Hari ini Furqan akan menikah, tadi pagi aku menyiapkan baju gamis dan kopiah terbaiknya, diberi haruman bunga Jasmine yang lembut. Furqan terlihat gagah saat mengenakan pakaian itu, ia rapi dan wangi. Kalung mas yang telah kubelikan dua hari yang lalu sebagai mas kawin untuk Ulfa juga tak lupa kupersiapkan bersama beberapa perlengkapan shalat dan pakaian muslimah yang sudah dibungkus rapi.

/“Cinta,..aku sangat mencintaimu”/Furqan memelukku erat, perasaan sedih yang luar biasa tiba-tiba merayapiku. Aku masih memeluk pujaan hatiku. Rasanya sulit sekali untuk ku lepaskan. Namun mendengar keadaan Ulfa yang berangsur-angsur menjadi lebih baik saat mendengar Furqan melamarnya dan akan menikahinya segera, telah memberikanku kekuatan untuk lebih tenang daripada sebelumnya.

/”pergilah,..aku menunggumu di sini, semoga berbahagia”/ berat sekali kata-kata itu terucap dari bibirku. Berat sekali kubendung airmata yang sedari tadi ku tahan. Berat sekali ku ikuti langkah hatiku untuk siap dan tegar, ikhlas menerima keputusan yang telah ku buat sendiri. Bagaimanapun aku tetap seorang wanita yang juga memiliki rasa cemburu ketika suamiku akan menikah lagi walaupun itu atas permintaanku sendiri.

Aku melepaskan kepergian Furqan di depan pintu, Furqan berangkat bersama rombongan yang berjumlah 10 orang untuk ikut menemani acara akad nikah dan merayakan Walimatul ‘Urs. Tak seorangpun dari rombongan itu berkata-kata atau menegurku, semua terlihat muram dan berduka. Aku tahu semenjak mereka mengetahui rencana pernikahan Furqan dan Ulfa atas permintaanku dua hari yang lalu, mereka terlihat sangat perhatian padaku, beberapa kali aku mendapati mereka membicarakan tentangku dan Furqan di pengajian.

Lima jam sudah berlalu, tentu akad nikah dan walimatul ‘urs berjalan sukses. Sementara aku menghabiskan waktuku dengan membaca Quran dan berzikir sambil menunggu pergantian jam shalat. Sementara waktu anak-anak ku titipkan di rumah adikku. Entah mengapa aku hanya ingin sendiri saat ini, mengadu pada sang penitip cinta di hati, sesenggukan mengharapkan diberi ketegaran dan keikhlasan.

Dua hari aku tak melihat mata teduh Furqan, aku sangat merindukannya. Terkadang malam ku habiskan di atas sajadah hingga lutut ku terasa kaku dan bengkak. Terkadang malam rasa cemburuku datang membayangkan Furqan bersama wanita yang lain. Aku sedang memahami dan belajar tentang proses mengikhlaskan hati. Bahwa apa yang aku lakukan bukan karena mengharapkan pujian dari oranglain yang menganggapku tegar, atau mengharapkan penghormatan dari keluarga Ulfa dan Ulfa sendiri karena telah menolong derita jiwanya, namun ini semua kulakukan semata-mata karena inginkan Ridha Yang Maha Kuasa.

-----------

Hari ini Furqan pulang, dia pulang bersama rombongan yang juga ikut pengajian di depok. Aku telah siap menunggunya di depan pintu. Hari ini aku ingin sekali terlihat cantik di depan Furqan. Ku pakai gamis biru muda yang bermotif polkadot putih, di ujung lengan baju dan ujung gamis diberi renda warna senada, dilengkapi pula kerudung biru muda. Aku tak lupa memakai wewangian khusus untuk Furqan. Bibirku disapu lipstik merah muda yang lembut. Aku merasa begitu cantik hari ini bertemu Furqan.

/”apa kabar sayang, aku sangat merindukanmu”/ tubuh Furqan ku peluk erat, masih di depan rombongan pengajian. Furqan juga memelukku erat seolah tak ingin berpisah denganku lagi. /”Aku juga sangat merindukanmu cintaku”/. Aku tahu rombongan pengajian terus menatap pertemuan kami yang sangat mengharukan ini. Ku lihat sebagian mereka mengusap airmata dengan sapu tangan, sebagian yang lain melangkah agak menjauh dari tempat aku dan Furqan berdiri. Namun mata mereka masih tetap menatapi kami tanpa sepatah katapun.

Dalam dekapan Furqan perlahan kulafalkan ayat 10 dari surah Al-hasyr lalu di sambung dengan ayat 159 dari surah ali imran. Ayat-ayat itu begitu ajaib memenuhi relung hatiku. Membuang segala benci dan amarah yang terkadang datang saat cemburu itu datang menggodaku. Mulai hari ini dan selanjutnya aku akan terus belajar ikhlas. Ikhlas dengan keputusan yang telah kubuat sendiri. Ya Rabb,..teruslah bimbing hambaMu ini.

To be continued
Buat wanita yang perkasa,..
Hatiku tak sekuat hatimu,..

1 komentar: