Laman

Kamis, 11 Februari 2010

Dan Aisyah Pun Cemburu


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk!tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
(Chairil Anwar)

“Wanita itu memang rentan dengan bagian vitalnya ya bu, kanker servikslah, kanker rahimlah, kanker payudaralah, saya mah ngeri denger banyak penyakit kayak begituan. Makanya teh adit harus pinter-pinter melayani suami jangan hanya karena ga bisa ngasih keturunan, lalu bisa seenaknya saja ninggalin teh adit” tante Neni melirik ke arahku yang baru menyediakan minuman untuknya. Komentar tante Neni teman arisan ibuku begitu menusuk hatiku, entah apa yang dia fikirkan saat begitu lancar mengeluarkan kata-kata yang begitu tajam melukai hati hingga jantungku. Pantas saja jantungku tiba-tiba berdetak kencang setelah dihujani dengan sederetan kata-kata tajamnya tante neni. Oh Tuhan berapa banyak lagi manusia yang akan berbicara seperti ini kepadaku.

Aku bergegas meninggalkan halaman rumahku. Ibu menatapku tanpa kata, ibu sangat tahu bagaimana perasaanku saat berada dalam tema “perempuan mandul” itu tema yang sangat ku benci. Aku yakin saat aku tak berkata sepatah katapun dan berlalu, empat mata itu memunggungiku dengan penuh tanya. Aku yakin tak akan ada jawaban yang tepat untuk orang yang belum mampu memahami perasaan oranglain.
----------

“Ketika ALLAH menciptakan seorang wanita, ia diharuskan untuk menjadi seorang yang istimewa. ALLAH membuat bahunya cukup kuat untuk menopang dunia, namun, harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan.

Aku mematung di kamarku, selalu seperti ini. Terkadang aku lelah dengan sikap orang-orang di sekitarku yang selalu ingin tahu namun tak pernah mengerti apa perasaanku yang sebenarnya. Bagaimana mungkin mereka menilaiku seolah-olah aku terdakwa yang senantiasa menerima segala bentuk kecaman. Namun apa pula hak ku untuk meminta mereka mengerti, ini tentang perasaanku dan itulah menurut mereka lagi-lagi hanya apa yang mereka pikirkan.

“Siapa bilang dia mandul” dokter saja tak pernah memberikan vonis seperti itu pada anakku. Ibu mendadak berang tiba-tiba tepat di wajah Aby, laki-laki yang telah dua tahun ini menikahiku. Aku pikir sikap ibu sangat wajar memerdekakan tuduhan yang ditujukan pada anak perempuannya. Jangan-jangan itu hanya sebuah alasan untuk memperoleh legalitas tujuan yang lain.

“bagaimana mungkin nak Aby bisa berlaku tidak adil pada Aditha, yang ibu tahu selama ini hanya nak Aby yang sangat dia hormati dan dicintai atau apa karena cintanya aditha yang terlalu dalam malah membuat nak Aby meminta permohonan seperti ini hingga kiranya tak akan ada penolakan dari aditha. Menurut ibu ini sungguh terlalu, cinta aditha lebih mahal dari permohonan nak Aby. Tolong nak,..kalau memang nak Aby masih mencintai aditha jangan hancurkan hatinya dan membiarkan dia menanggung ketakmampuan cinta yang telah terlalu dalam buat nak Aby.

Tiap ku ingat hari penuh dengan buraian amarah dan air mata itu, tiap kali itu pula aku diam seribu kata menguatkan hatiku yang berulang kali didera resah tanpa cinta, tiap kali itu pula merasa hampa dengan status baruku yang berjudul “janda” setelah 2 tahun lebih menjalani cinta bersama laki-laki bernama Aby. Terkadang aku memendam dalam heningnya kamarku, terkadang aku duduk di barisan terdepan menonton seorang diri di bioskop. Hari- hari itu sungguh menyita perasaan dan waktuku.
-------------
“ALLAH memberinya kekerasan untuk membuatnya tetap tegar ketika orang lain menyerah, dan mengasuh keluarganya dengan penderitaan dan kelelahan tanpa mengeluh”
Kataku hidup itu indah, tapi tiada yang sanggup merubah apapun kecuali yang Maha memiliki hidup. Walaupun hanya berjalan 2 tahun lebih namun aku pernah merasakan kobaran cinta itu. Walaupun pada akhirnya aku tak tahu perbedaan antara benci dan cinta itu lagi karena benci dan cinta sama-sama memberikan kobaran-kobaran dalam hal yang kecil sekalipun apalagi dalam hal yang besar pula.

Jika ku katakan Aby berubah mungkin aku salah. Tak ada yang berubah dari diri Aby, tak ada bahkan perhatiannya masih sama saat pertama kali mengucapkan permohonannya. Jika ku jauh darinya dia tetap menelponku dengan kata-kata cintanya. Sungguh tak ada sedikitpun yang berubah dari suamiku yang tampan itu.

Pernah dua kali aku dinyatakan hamil oleh dokter, namun dua kalinya pula aku mengalami kehilangan lagi. Aby tak pernah marah dengan kehilangan calon bayi kami, Aby juga tak pernah membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihanku. “semua telah diatur oleh Yang Maha Pencipta, bersabarlah,… mungkin belum saat ini, mungkin waktunya belum tepat. Allah selalu punya skenario yang lain mungkin jauh lebih baik ketika doa kita belum juga diijabahNya. Itu kata-kata Aby saat aku merasakan kekecewaan yang tiada tara, kata-kata itu seperti oase di tengah padang tandus. Sungguh sangat menyejukkan yang mendengarkannya.

Lalu apa aku salah bila tak memenuhi permohonan Aby??,…berminggu-minggu ku minta izin menjauh darinya, memikirkan sendiri keputusan apa yang harus aku berikan pada laki-laki yang sangat mendamaikan duniaku ini. Dia tak pernah memaksa, namun dia telah meminta dengan mata beningnya, dengan belaian tangannya. Aku tak mampu berkata apapun menatap sinar permohonan dari balik mata yang penuh cinta itu.
-----------
“ALLAH memberikan kebijaksanaan pada wanita untuk mengetahui bahwa seorang suami yang baik takkan pernah sakiti isterinya, tetapi kadang menguji kekuatannya dan ketetapan hatinya untuk berada disisi suaminya tanpa ragu.”

Hidup itu ibarat sepatu yang harus dipakai berjalan setiap waktu, bukankah ini hal yang menyedihkan yang dialami seorang wanita. Sudah menjadi korban dari ketakberpihakan waktu untuk menunjukkan bahwa aku seorang wanita normal, bahwa aku juga mampu melahirkan. Namun malahan menjadi bahan gunjingan mulut-mulut yang tak bertanggung jawab. Oh, alangkah naifnya menilai seseorang dari pandangan pertama saja, padahal pandangan pertama tak selamanya menunjukkan kebenaran.

“Aditha,..aku mohon pertimbangkan permintaanku ini, aku bahkan berani meminta bukan melakukannya di belakangmu, aku bahkan memohon tanpa melakukan pemaksaan padamu, tolong fikirkanlah dengan sematang-matangnya”, Aby mengucapkan kata-kata ini lagi untuk kedua kalinya. Sehingga membuat aku merasa bahwa hatinya telah berubah padaku. Apa seorang wanita harus luluh dengan kalimat seperti ini?? Aby, lagi-lagi bukan orang yang pantas untuk menyakiti hatiku.

Tapi kali ini dia telah melakukannya, bahkan sangat dalam. Aku sedang membayangkan bagaimana perasaan wanita-wanita yang diam-diam telah diduakan suaminya, atau bagaimana perasaan para istri ketika suami tercinta telah menyelingkuhinya. Oh, aku juga tak mampu membayangkan bagaimana perasaan ibu Fatmawati selepas melahirkan Guntur Soekarno Putra, dalam keadaan masih nifas, bung Karno telah meminta untuk menikah lagi. Tak ada hakku untuk membandingkan diriku yang tak layak dibandingkan dengan wanita-wanita hebat itu, namun aku hanya yakin di balik permintaan polygami selalu ada airmata yang mengalir deras, selalu ada kekecewaan. Walaupun tidak semua hal itu terjadi. Aku hanya mencari kesamaan sisi yang mirip dengan kisahku.

Jika kondisiku tak seperti ini, aku tak tahu apakah akan terjadi hal ini. Kami baru menikah 2 tahun yang lalu dan dalam dua tahun itu pula aku pernah merasakan detak jantung janin dalam rahimku, memang tak bertahan lebih dari lima bulan, lagi-lagi aku tanpa anak. Apa keadaan ini semua permintaanku?? Aku tak pernah meminta mempunyai rahim yang lemah, sungguh aku tak pernah meminta. Bukankah seharusnya ini menjadi bahasan bersama sepasang suami istri. Tapi apa yang terjadi, aku justru seorang yang menanggungnya.

Aku tak pernah membenci polygami karena Allah punya ayat untuk itu. Aku tak pernah menghujat polygami atau mengagung-agungkannya di tengah pro dan kontra tentang hal yang satu ini. Aku selalu berfikir bahwa tak mungkin ayat itu turun jika tak ada laki-laki yang tak mampu melakukannya. Pasti ada walaupun hanya 1 dari sejuta orang laki-laki. Tapi lagi-lagi kupikir hal ini sebuah tugas yang sangat berat, jika sedetik saja salah melangkah apa jadinya ganjaran dari Allah yang maha pedih didapatkan.

Aku tak yakin jika kondisi yang aku dan aby alami kali ini merupakan situasi diperbolehkan untuk izin dan memberikan izin untuk menikah lagi menurut aturan agama ataupun undang-undang tentang perkawinan sekalipun. Aku lebih melihat bahwa Aby telah jatuh hati lagi pada wanita yang lain, entah siapa wanita yang membuat Aby berani meminta hal ini padaku. Mendengarkannya saja berasa bergidik apalagi meluluskan permintaan Aby. Aku pikir kondisiku yang belum juga memberikannya keturunan hanya sebagai alasan saja yang dipaksakan.

“Apa kau masih mencintai aku by?? Mataku mulai berkaca-kaca juga..”Aku pikir cinta kita lebih besar dari hal apapun, tak sepantasnya kau berucap cinta tapi justru melakukan hal yang menyakitkan aku sebagai istrimu. Apa tak ada alasan yang lain mengapa kamu memilih untuk menikah lagi by??” sekiranya kamu rela mengatakan bahwa hatimu telah tertaut pada wanita yang lain. Mungkin aku lebih tidak menyesali keadaan diriku saat ini. Aku sesenggukan menahan tangisku yang meledak tak terkendali.

Apa kau tak berfikir label baru yang akan disematkan di dadaku jika kau menikah lagi?? Bukannya sebuah penghargaan, tapi justru sebaliknya. Setiap orang akan berbisik-bisik mengatakan bahwa itulah si Aditha istri tuanya Aby, dia membiarkan suaminya mengambil madu lagi untuknya. Istilah apa lagi ini, istri tua, istri muda. Labelisasi yang dibentuk sedemikian rupa oleh masyarakat kita. Aku pernah mendengar istilah itu dalam beberapa pertemuan di kantor dan acara-acara lainnya. Apa kau tak kasihan padaku dengan label baruku nanti. Itu menyakitkan buatku Aby.

Aby tak bergeming, jangan kan membalas semua pernyataanku, menatapku saja tak berani seperti berhadapan dalam persidangan sebagai terdakwa yang divonis bersalah menunggu dibacakan hukumannya. Hilang semua rayuannya yang mendayu-dayu itu, hilang semua kata-kata untuk membuatku yakin. Sebelum beranjak dariku dia masih sempat mengucapkan kata-kata yang sangat mengejutkan hati wanitaku.

“kalau kau merasa berat membiarkanku menikah lagi, apa bercerai juga akan terasa berat?” mendadak semua bukit-bukit pengharapanku hancur dihadapanku seketika. Bisa jadi polygami dihalalkan Allah tapi banyak wanita yang kurang berkenan berbagi hati dengan wanita lain. Begitu juga dengan perceraian merupakan hal yang aku takutkan dalam sebuah pernikahan, walaupun Allah telah menghalalkannya tapi juga merupakan hal yang sangat dibenciNya.

Aku belum siap harus berbagi hati pada wanita yang lain, apalagi ku temui sekarang cinta Aby yang telah menggebu-gebu pada wanita lain itu. Aku hanya wanita biasa bukan Ummul mukminin Aisyah r.a istri Rasulullah, betapa cintanya Rasulullah padanya, tapi Aisyah pun cemburu pada istri-istri Rasul yang lainnya. Lalu bagaimana dengan aku, sungguh aku tak ingin setengah mati jika setiap harinya menanggung cemburu mengharap cinta aby yang telah berkurang padaku.

Pilihan macam apa ini? Tapi permintaan aby kali ini telah menunjukkan kejelasan dalam hatiku, ternyata hatinya memang telah terpaut pada wanita yang lain itu. Jika ditimbang timbanganku kalah berat dengan wanita yang lain itu. Betapa malangnya kondisiku kali ini, berulang kali aku menangisi keadaanku yang telah dihancurkan oleh suami yang sangat kucintai dan kuhormati selama ini.

Apa aku telah berdosa tak memenuhi permintaan Aby sebagai suami?? Pernikahan kami masih seumur jagung dan aku masih sehat, masih mampu melayani Aby, jika diberi kesempatan mungkin aku akan diberikan anugrah seorang anak atau lebih. Tapi cinta Aby pada wanita yang lain itu tak pernah memberikanku izin untuk mendampingi Aby sampai saat itu tiba. Sehingga tercetus juga keinginannya untuk mengambil istri lagi walaupun itu sangat jelas menyakitiku. Biarlah kuraih syurga dengan jalan yang berbeda, jika kupaksakan mengatakan iya dengan penuh amarah yang membara hanya mendatangkan dosa yang berlipat pula padaku.

Semenjak kata-kata itu keluar dari mulut Aby, aku tahu bahwa semua akan berubah seketika dan secepat itu pula. Tak perlu menyesali diri pikirku, mungkin hidupku akan lebih hancur pula ketika ku pertahankan pernikahan yang telah sepihak tanpa cinta itu.

------------
Allah yang Maha mendengarkan,…
Kuatkan aku lebih dari yang mereka fikirkan,…

Palu pak Hakim telah diketuk keras, menyentakkan kesadaranku akan status baru yang kusandang mulai hari ini. Seperti memikul tas ransel yang berisi batu-batuan kekecewaan dan malu. Apa mau dikata aku harus menyandangnya juga. Tak ada pilihan untuk meletakkannya sejenak saja rasanya tak mungkin, kuharap aku akan melewatinya karena terbiasa.

Walau sakit harus kuterima, aku tahu seminggu ke depan Aby akan menikah lagi. Mungkin ia menertawakan aku yang menyepi dalam ketakberdayaanku. Namun ada satu yang semakin kuat bercokol di hatiku bahwa aku bahagia karena mampu mengambil keputusan untuk hatiku sendiri ditengah pro dan kontra tentang polygami.

Aku memang menangis, karena Allah telah menciptakan itu untuk wanita sebagai cara untuk mencurahkan perasaannya. Aku memang menangis tapi bukan berarti aku akan lemah menatap kehidupanku. Pasti, semua akan berlalu berganti hari yang lebih cerah.

Jakarta, 28 January 2010
Aida_affandi
******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar