banyak sekali sisi kehidupan yang berbeda di luar sana, mencoba mencari hikmah dari setiap kisah hati seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Laman
Jumat, 26 November 2010
Hujan di Mentawai
Hujan,….jiko hujan hati den ibo
(hujan, jika hujan turun hatiku lara)
Takana maso, kisah nan lamo
(mengingat suatu masa, kisah yang telah lama)
Maso sapayuang kito baduo
(masa dimana kita sepayung berdua)
alah lah jo (sudahlah bang),.. ajo indak perlu mengayuh sampan mencari ikan kalo hanya ingin lari dari masalah kita. Amak memang selalu bersikap seperti itu saat ada bujang hendak menyunting anak padusi satu-satunya ini. Bukannya amak indak setuju, hanya saja amak butuh bukti kalo ajo serius hendak memperistri anaknya.
Iyolah (iya) ,..ajo Zainal hanya menjawab singkat sebelum kemudian mendorong sampannya ke dalam air lalu menggayuhnya menjauh dariku berlalu tak perduli dengan penjelasanku.
Semenjak amak menunjukkan sikap tak suka padanya, ajo Zainal menjadi lebih sensitive dari biasanya. Sementara aku yang berada di tengah diantara amak dan ajo justru lebih tersiksa. Tak mungkin aku melawan keinginan amak, tak mungkin pula aku menghilangkan rasa cintaku pada ajo zainal. Satu-satunya hal yang ku tunggu adalah waktu, untuk menenangkan hati amak menerima ajo.
Langkahku gontai kembali ke rumah, langit penuh jingga begitu indah untuk dipandang. Gerombolan burung pulang berduyun-duyun. Sebentar lagi magrib, aku harus segera tiba di rumah untuk shalat dan murathal Qur’an. Membaca Qur’an saat perubahan kondisi terang ke gelap (ashar-magrib) atau gelap ke terang (ba’da shubuh) sangat baik untuk meningkatkan ketajaman ingatan.
################
Baru pulang ka-u Ifa??,…amak menegurku di beranda depan. Aku diam tak menjawabnya, hanya berlalu menunduk tak berani menatap mata amak.
Ba’da murathal aku mengurung diri di dalam. Terngiang semua ucapan amak tentang ajo zainal pagi tadi yang membuat sebuah pertengkaran pula antara aku dan ajo zainal.
Amak indak satuju (ibu tidak setuju), kalo ka-u mantang bahubungan samo si zainal itu (kalo kamu masih berhubungan dengan zainal), nada amak keras menentangku.
Manga Amak indak satuju (mengapa ibu tidak setuju)?? Aku mencoba mendengarkan alasan amak dalam hal ini.
Dalam pernikahan itu ado istilah “sekufu”, inyo tu kan tamat SMA (dia itu hanya tamat SMA), samantara ka-u sakolah bidan (sementara kamu seorang bidan), indak nyambung kalo kalian manikah.
Aku menarik nafas dalam. Memang sekufu (setara) dalam pernikahan islam cukup diperhatikan agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu menonjol dalam pernikahan. Istilahnya kalo yang tak terlalu banyak perbedaan saja, bisa jadi cekcok, apalagi jika perbedaannya terlalu jauh.
Malam mulai larut 21.40 menit. Aku akhirnya keluar dari kamarku. Terlihat sepi di tengah rumah, pintu kamar amak tertutup rapat, mungkin amak sudah tidur pikirku. Sebenarnya tak enak hatiku mendiamkan amak dengan cara kurang dewasa seperti ini.
Aku baru hendak melihat amak di kamarnya, ketika kudengar deritan pintu dan jendela yang berderak-derak membuatku terhuyung-huyung menjangkau pintu kamar amak.
Amak,…amak,….gampo amak(gempa bu),..bangkiek mak (bangun bu),…
Aku panik bukan kepalang, ku kejar amak yang baru terbangun dari tidurnya. Ku papah amak keluar, aku takut jika saja rumah tua kami ambruk suatu waktu karena gempa yang cukup keras ini. Amak shock dengan apa yang terjadi, dengan sekuat tenaga kugendong amak keluar. Wajahnya pucat dan lemas. Kupeluk amak erat, aku takut kehilangan amak.
Tak sampai 20 menit dari redanya gempa, kudengar gemuruh ombak seperti suara ribuan pasukan berkuda menuju ke satu titik yaitu menyerang kami. Sekarang aku lebih panik dari sebelumnya. Angin dingin menusuk tulang-tulangku, suasana mencekam menyertainya. Suara gemuruh itu semakin mendekat, seperti membuntuti kami yang sebagian masih terlena menata kembali barang-barang yang hancur di dalam rumah.
Amak,..capek amak( ibu, cepat), bia ambo gendong amak sajo (biar saya gendong saja ibu),….
Aku berlari bersama puluhan orang yang mulai menyadari sebuah bahaya besar sedang menguntit kami. Ombak raksasa yang berjalan vertical dengan kecepatan 80 km/jam itu menghalau kami tanpa memilih-milih sasarannya.
Amak diam dalam gendonganku, entah berapa kali aku terjatuh lalu sekuat tenaga bangkit lalu kembali berlari, hingga akhirnya aku seperti buih tergulung-gulung dalam lumpur ombak setinggi 3 meter itu, beberapa kali terminum olehku air asin yang mencekat leherku, beberapa kali pula aku tak mampu bernafas sejenak, hingga aku sadari amak terlepas dari gendonganku.
Aku terjepit diantara dua pohon pinus yang setengah batangnya tenggelam. Berulang kali aku membuka mataku mencari sosok amak yang hilang dari pandanganku. Aku bertahan di pohon itu membeku kedinginan bersama air mataku yang tak mampu berhenti sama sekali.
Amak, dima amak??jangan bia ambo sandiri amak,…ya Allah, dima Amak.
Aku berteriak-teriak ditengah gempa susulan dan ombak yang menggulung-gulung di hadapanku. Akhirnya aku diam, memasrahkan keselamatan amak pada Yang Kuasa.
Dua jam kemudian murka lautan itupun mereda air lautpun mulai menyusut, walaupun sesekali gempa susulan masih terasa. Kupaksakan mencari amak dengan sisa kekuatan tubuhku. Dalam tumpukan sisa bangunan yang hancur, pohon-pohon yang patah, aku mencari amak.
Mulutku tak henti mengucapkan kata amak,..ya Allah, selamatkan amak,..selamatkan amak,..selamatkan amak. Sudah hampir pagi aku mencari amak, semburat cahaya mentari sama sekali tak indah pagi ini di pagai utara, Mentawai. Wajah-wajah pucat dan kaku bergelimpangan di sekitarku.
Orang-orang tak henti mencari keluarganya. Aku hampir putus asa, hingga akhirnya kutemukan secarik sobekan baju amak di balik atap rumah yang telah hancur.
Amaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkk,…..aku berteriak histeris.
Tubuh amak telah dingin dan kaku, tangan dan kakinya membeku pucat. Berulang kali aku meraba setiap letak nadinya memastikan amak masih hidup. Aku telah menggila, ketika tak satupun nadinya yang berdenyut, tak sedikitpun kurasa hangat nafas dari hidungnya. Aku berteriak lagi, kepalaku terasa berat, mataku semakin berkunang-kunang. Tidak, aku harus kuat, aku harus kuat sugestiku pada diriku sendiri.
Amaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkk,….manga amak tingga kan ambo
(ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, mengapa ibu tinggalkan aku)
Tubuh kaku amak diangkat ke tempat pengungsian, jejeran mayat yang puluhan jumlahnya juga sebagian ditangisi oleh anggota keluarganya. Walaupun tubuhku mampu bergerak, namun pikiranku sungguh sangat kosong. Hampa kurasakan di hatiku, belum sempat aku mengucapkan maaf pada amak karena perselisihan kami kemarin, belum banyak bahagia kuberikan untuk amak, sungguh perpisahan ini teramat menyayat hatiku.
Hatiku masih tersungkur di sini, aku hanya meninggalkan mayat amak sebentar untuk wudhu dan shalat, sebelum amak dikuburkan aku hanya ingin membacakannya ayat kursi dan yasin berulang kali, setidaknya hanya itu hadiah yang bisa kuberikan saat ini untuk amak.
Aku hendak bangun mengambil wudhu ketika beberapa orang meletakkan sebuah tubuh kaku lagi tepat di samping mayat amak. Aku sempat melirik tangan mayat lelaki yang baru diletakkan itu, mataku diam menatap sebuah cincin di jari manis yang sangat ku kenal. Bagaimana tidak, cincin itu sengaja ku design saat aku ke bukit tinggi beberapa bulan lalu.
Ajo,..indak mungkin, iko ajo zainal,….
Dadaku sesak, terasa sangat sesak. Tubuhku limbung, aku terjatuh dari posisi berdiriku. Aku benar-benar berada di ambang batas kesadaranku. Mayat laki-laki di samping mayat amak adalah ajo zainal. Hah,…Kutepuk keras dadaku, Oh Rabb, terbuat dari apakah hatiku saat ini???
Rinai hujan dibawa angin ditanah mentawai yang berbau hangir, rintik hujan di hatiku juga semakin deras, membawa aliran rinduku yang semakin besar pada amak dan ajo. Hari ini hujan turun di mentawai, begitu juga dengan hatiku.
Catatan
Ajo : abang
Amak : ibu
Indak :tidak
Ka-u :kamu (perempuan)
Padusi :perempuan
Iko : ini
Sekufu :setara, contoh pernikahan syekh puji dan ulfa dibawah umur ditentang karena tidak sekufu
Langganan:
Postingan (Atom)